Menutup celah



Kiprah SNP Finance belakangan ini memang mengagetkan. Nasibnya merosot drastis dari gagal melunasi utang yang jatuh tempo, masuk ke proses penundaan kewajiban pelunasan utang (PKPU), hingga disidik polisi dalam tuduhan pembobolan bank.

Nilai kredit yang diduga polisi dibobol SNP Finance dengan memanfaatkan piutang fiktif pun tak tanggung-tanggung, Rp 14 triliun. Angka itu hampir 10 kali lipat daripada nilai utang SNP Finance yang tercatat dalam proses PKPU.

Terlepas dari kasus SNP Finance, kemungkinan lembaga keuangan atau bank tersandung belakangan ini sejatinya tidak mengagetkan. Negeri ini seakan memasuki siklus paceklik likuiditas sekali dalam 10 tahun, sejak 1998.


Patut dicatat, tulisan ini hanya menyamakan gejala merosotnya likuiditas di negeri ini setiap satu dasawarsa, dan bukan menyamakan apa yang menjadi penyebab likuiditas menyurut.

Adanya pemain di industri keuangan yang tersedak setiap kali likuiditas surut menunjukkan bahwa pekerjaan menperdalam pasar finansial belum tiba di garis finis.

Memang, apa yang sudah dilakukan Bank Indonesia (BI) dan pemerintah untuk menguatkan industri keuangan patut diapresiasi. Ini terlihat dari terbatasnya pebisnis keuangan yang tersandung di saat likuiditas menjadi barang langka.

Korban dari krisis likuiditas di 2008 yang paling kita ingat tentunya Bank Century. Dan saat likuiditas kembali ketat tahun ini, yang sudah tersandung adalah SNP Finance.

Jika kita mencari-cari persamaan di antara Bank Century dan SNP Finance, maka keduanya sama-sama patut mendapat nilai minus dalam pengelolaan bisnis. Keduanya sama-sama memelihara aset yang tidak berkualitas. Jika menggunakan tuduhan terbaru polisi sebagai rujukan, kita bahkan perlu ragu berapa nilai aset SNP yang riil.

Kesamaan di antara pemain keuangan yang tersandung dalam dua krisis likuiditas terakhir bisa kita baca bahwa upaya financial sector deepening sedikit banyak sudah membuahkan hasil. Hanya, pagar yang dipasang regulator finansial masih menyisakan celah untuk berbuat curang.

Pengawasan atas industri keuangan memang tak boleh kendur di musim apa pun. Dan di masa kini, regulator sudah seharusnya tidak hanya mengawasi institusi keuangan konvensional, tetapi juga pemain berbasis digital, seperti penyedia peer-to-peer lending yang kini aktif menggarap pembiayaan mikro.•

Thomas Hadiwinata

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi