Menyadari hoaks



Kasus kebohongan Ratna Sarumpaet yang menghebohkan pekan lalu mungkin akan lama dikenang oleh masyarakat Indonesia, paling tidak sebagai guyonan. Padahal, banyak orang juga mengaku "dipukuli" setelah jatuh dari sepeda motor, keseleo di jalan, atau kecelakaan saat berolah raga. Namun, tentu, orang-orang yang berbohong dan yang dibohongi sama-sama tahu bahwa pengakuan dipukuli semacam itu sekadar guyonan.

Kasus kebohongan Ratna menjadi kebablasan dan berbeda dari kebanyakan pengakuan guyonan serupa karena beberapa faktor. Selain lantaran dia seorang figur publik, pengakuan yang semula dia niatkan sekadar sebagai alasan sambil lalu (sesuai dengan pengakuannya) itu teranjur "meledak" viral, tersebar luas dalam waktu cepat bak penyebaran virus.

Eskalasi penyebaran kebohongan itu semakin tak terbendung manakala sebagian kalangan politisi dan para pendukungnya mengkapitalisir kebohongan itu, sebagian besar di antara mereka tentu meyakininya sebagai kebenaran, untuk kepentingan kontestasi politik tahun 2019 mendatang. Mungkin karena itu pula, kepolisian sigap untuk mengungkap kejadian sesungguhnya, dan hasilnya segera menyebar viral serta berhasil "memojokkan" Ratna mengakui kebohongannya.


Peristiwa pekan lalu itu semestinya bisa semakin menyadarkan kita betapa beragam kabar yang berseliweran di internet melalui situs media maupun media sosial tidak selalu bisa dipercaya begitu saja. Kecerobohan mempercayai kabar hoaks yang disangka benar bisa berakhir merugikan.

Sekadar menanggung rasa malu akibat mempercayai hoaks belum seberapa sebenarnya. Beberapa hoaks pernah memakan korban berupa nyawa. Juli lalu, belasan nyawa melayang di India menjadi korban main hakim sendiri. Para pembunuhnya adalah masyarakat yang termakan kabar bohong soal penculikan anak. Pemerintah India sampai mendesak WhatsApp menghapus fitur forward agar kabar hoaks atau bukan, tidak mudah viral.

Masalah hoaks juga menjadi catatan kelabu Pemilu 2016 Amerika Serikat (AS). Buntut kasus ini, Facebook menghadapi tuntutan pembenahan sistem pengamanan yang memakan biaya luar biasa besar sehingga menekan saham media sosial paling terkenal ini jatuh dalam.

Tentu kini banyak orang menyadari tentang bahaya menelan informasi digital mentah-mentah. Semoga semakin banyak pula orang yang sadar untuk tak ikut menyebarkannya, sengaja tak sengaja.•

Hasbi Maulana

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi