Batik merupakan ciri khas asli budaya Indonesia yang telah diakui dunia. Banyak keunggulan batik khas Indonesia. Salah satunya batik tulis. Tapi sayang, keberadaan batik tulis kini mulai kalah bersaing dengan batik printing. Banyak kendala yang dihadapi para perajin batik tulis ini. Selain maraknya batik cap, produksi batik tulis terganggu karena terkendala ketersediaan minyak tanah untuk proses produksi. Minyak tanah itu dipakai untuk memasak lilin batik atau yang biasa disebut malam. Rata-rata, seorang pembatik membutuhkan sekitar satu liter minyak tanah per hari. Kalau pun ada, harga minyak tanah sudah sangat mahal.
Belakangan banyak pembatik beralih menggunakan kompor listrik. Tapi itu tidak lantas menyelesaikan persoalan. Sebab, kompor listrik ini membuat biaya tagihan listrik membengkak. Tak hanya itu, lilin batik atau malam yang mencair di dalam canting sering menetes ke kompor sehingga membuat konsleting listrik dan mengakibatkan kecelakaan kerja. Akhirnya, banyak pengrajin kini kembali menggunakan minyak tanah. Ada tiga jenis lilin batik yang biasa digunakan, yaitu malam tembokan, klowong, dan parafin. Permasalahan para pengrajin batik tulis itu menginspirasi Rizky Hadi Oktiavenny bersama teman-temannya menciptakan kompor batik listrik otomatis bernama Auto- Electric Stove for Batik alias “Astutik”. Kompor ini diklaim aman dan hemat listrik. Rizky dan ketiga temannya, yaitu Andreas Wijaya, Aris Setyawan, Nova Suparmanto merupakan lulusan Universitas Negeri Yogyakarta. Mereka melakukan riset dan menemukan bahwa kompor batik listrik yang digunakan pembatik selama ini belum dilengkapi dengan pengatur suhu otomatis untuk mencegah terjadinya panas lebih. Padahal, untuk mencairkan lilin batik, misalnya lilin jenis klowong, diperlukan suhu maksimal 90 derajat. Lebih dari itu, lilin yang dicairkan akan gosong dan tidak bisa digunakan lagi. "Selain terjadi pemborasan, daya listrik yang diperlukan cukup besar," terang Rizky. Rizky menjelaskan, kompor Astutik merupakan kompor listrik ramah lingkungan untuk para pembatik dan pecinta batik dengan memanfaatkan sistem PID (Proportional Integral Derivative) Controller untuk mengatur panas pada elemen pemanas, sehingga bisa memberikan suhu yang tepat pada malam yang digunakan. Produk ini memiliki keunggulan bisa mendeteksi jenis lilin batik yang dipakai, sehingga otomatis mengatur suhu yang diperlukan untuk mencairkan lilin batik. Jadi, setelah malam atau lilin batik itu mencair, pembatik tak perlu mengecilkan pemanas secara manual. Selain bisa mengatur secara otomatis suhu yang diperlukan, Kompor Astutik juga memiliki daya 30-50 watt sehingga sangat hemat energi. Sementara kompor listrik pada umumnya memiliki daya minimal 300 watt. "Saat menggunakan kompor listrik biasa pembatik akan mengeluarkan Rp 300.000 untuk listrik setiap bulan, sementara dengan kompor Astutik hanya membutuhkan biaya listrik Rp 40.000," terang Rizky. Untuk menghasilkan Kompor Astutik, gadis lulusan pendidikan elektro itu telah melakukan riset sejak tahun 2012 bersama ketiga temannya kala masih duduk di bangku kuliah. Rizky bilang, selama penelitian, kompor Astutik digunakan lebih dari 8 jam sehari dan ternyata kompor tidak pernah rusak meski di-gunakan setiap hari. Mulai produksi Setelah yakin akan kualitas kompor tersebut, mereka pun mulai memproduksi kompor Astutik sejak pertengahan 2013. Rizky mengungkapkan, modal awal untuk merintis usaha ini sebesar Rp 5 juta. Uang itu mereka dapatkan dari hasil menang kompetisi inovasi Iptek yang digelar Kementerian Pemuda dan Olahraga. "Kalau dari uang kami sendiri itu tidak akan mungkin bisa karena kami dari keluarga menengah ke bawah," tutur Rizky. Ada dua jenis kompor yang diproduksi yaitu kompor tanah liat dan aluminium. Kedua perangkat kompor tersebut hampir sama, perbedaaannya hanya terletak pada bahan tungku. Proses produksi dilakukan melalui beberapa tahapan. Mulai dari perencanaan bahan baku, pencetakan rangkaian, perakitan komponen, pengujian alat, perakitan alat dengan bodi kompor, finishing hingga packaging. Hingga Januari 2014, Rizki telah memproduksi 150 Kompor Astutik di bawah payung PT Putra Multi Tenikindo. Satu set Kompor tanah liat dibanderol dengan harga Rp 400.000 yang terdiri dari satu buah kompor, tiga jenis canting dan tiga jenis malam. Sedangkan satu set kompor aluminium dijual dengan harga Rp 450.000. Kompor Astutik dipasarkan melalui internet dan ke sekolah-sekolah sebagai alat praktek mata pelajaran membatik. "Di Yogja ada muatan lokal membatik. Ada ribuan sekolah swasta dan negeri yang jadi target pasar produk kami," ungkap Rizky. Di internet, Rizky berjualan lewat Facebook dan website: spirit-group.com. Untuk menumbuhkan kepercayaan konsumen, ia memberikan layanan garansi produk selama enam bulan. Jika terjadi kerusakan selama masa garansi, konsumen bisa mengembalikan barang untuk diperbaiki kembali. Menurut Rizky, layanan garansi ini menjadi kelebihan kompor Astutik dibanding kompor listrik lain yang dijual di pasaran. " Kalau kompor di pasar, kadang baru beli saja sudah rusak namun tidak ada garansinya," kata gadis kelahiran 11 Oktober 1991 ini. Dengan dibantu oleh 12 karyawan, Rizky dan kawan-kawannya rata-rata mampu memproduksi lima buah kompor per hari. Sejak awal merintis usaha pada pertengahan 2013 lalu, Rizky telah memproduksi kompor sebanyak 150 kompor sampai Januari 2014. Jika dihitung, mereka mengantongi omzet sekitar Rp 60 jutaan sampai saat ini. Kendati usahanya kini mulai menghasilkan, jalan yang dilalui Rizky dan teman-teman untuk mengembangkan Kompor Astutik tidak mudah. Di masa-masa awal merintis usaha, produk mereka sama sekali tidak ada yang melirik.
Namun, mereka tak putus asa dan terus berusaha memperkenalkan kompor Astutik ke pengrajin batik. Bahkan, mereka nekat membawa produk tersebut ke ajang kompetisi Hasilnya, mereka pun sukses menyabet berbagai penghargaan. Antara lain meraih juara dua dalam lomba yang diselenggarakan Mandiri Young Technopreneur 2013 kategori Non-IT. Penghargaan diberikan karena kompor buatan mereka mampu menghemat listrik hingga 65%. Selain itu, ada juga penghargaan dan uang pembinaan sebagai Best Project Cluster Green Technology dalam International Youth Green Summit (IYGS) oleh UI dan Dompet Dhuafa. Mereka juga memperoleh pendanaan dari Recognition and Mentoring Program-Institut Pertanian Bogor. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Havid Vebri