Medio Maret 2018, Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde secara tegas menyatakan akan meruntuhkan kedigdayaan bitcoin dengan teknologi asasnya, yakni blockchain. Ibarat memadamkan kebakaran hutan, Lagarde merasa api yang buas harus dipadamkan dengan api. Fight fire with fire. Lagarde bilang caranya begini: semua otoritas negara di dunia disarankan memanfaatkan keandalan bitcoin untuk meregulasi dan mengontrol terkait kripto. Kontrol yang dimaksud adalah mencegah perkembangannya menjadi surga bagi aktivitas ilegal, seperti pendanaan terorisme dan aksi pencucian uang. Saya menafsirkan IMF sungguh menelisik dan menyalin batin kripto itu, khususnya bitcoin dan blockchain. Di dalam blog resmi IMF, Lagarde mengungkapkan, pengembangan kripto benar-benar canggih, yang dapat merevolusi layanan keuangan dunia dengan biaya rendah, bahkan mampu memperluas akses keuangan
Menyebut bitcoin sebagai entitas batin, karena ia memiliki jiwa dan semangat untuk mengubah status quo. Sang pencipta, dengan nama samaran Satoshi Nakamoto tahu benar masalah terdalam ekonomi modern, termasuk sistem uang fiat yang praktis inflatif, yang purchasing power-nya menurun seiring waktu. Bagi Satoshi, alih-alih membuat sistem transfer uang fiat, ia sekalian saja membuat uangnya dalam wujud virtual tanpa campur tangan bank dan negara. Dalam sistem blockchain, bitcoin adalah elemen imbalan, karena partisipan di dalamnya berjasa dalam menjaga keamanan sistem. Jumlahnya pun dibatasi maksimal 21 juta bitcoin, dengan penerbitan bitcoin baru ke dalam sistem setiap 10 menit. Setiap 10 menit terbit 12,5 bitcoin yang baru dan setiap empat tahun sekali akan berkurang setengahnya. Berdasarkan data di coinmarketcap.com, hingga artikel ini ditulis, sirkulasi bitcoin secara global mencapai 17.078.225 bitcoin. Di satu sisi bitcoin mencoba memvirtualkan aktivitas produksi emas. Pembatasan suplai uang dalam sistem uang fiat memang bisa dilakukan oleh bank sentral dan pihak terkait. Namun, karena pelaku sistemnya sejumlah elite manusia, sistem dan regulasi itu rentan runtuh sekejap mata. Jadi, dalam dunia bitcoin, trust diserahkan kepada sistem komputer, tak sekadar manusia pelaksana sistem. Motif dasar dari bitcoin dengan blockchain-nya adalah mengurangi porsi peran perantara dalam sistem transaksi keuangan dan dilakukan dalam waktu yang cepat mengandalkan internet. Dalam sistem perbankan modern, mentransfer uang antara negara dan antar bank yang berbeda perlu 2-3 hari dan bianya tidak murah. Transfer uang via PayPal dan WesternUnion lebih cepat, tetapi biayanya pun tidak murah. Dalam satu balutan, itu bersistem sentralistik, bukan distributif. Kekacauan sistem sentralistik dalam sistem keuangan baru-baru ini terjadi pada Visa 1 Juni 2018. Itu membuat jutaan orang Eropa tak dapat bertransaksi, baik menggunakan kartu debit maupun kartu kredit selama lebih dari 6 jam. Dalam ranah blockchain bitcoin yang distributif, itu mustahil terjadi, karena setiap simpul jaringan berperan sebagai pusat, menyimpan data yang serupa dan memberikan sumber dayanya masing-masing untuk keamanan transaksi. Semakin banyak simpul (komputer), semakin aman dan cepat. Ketika satu atau sejumlah simpul tidak aktif, simpul lainnya secara otomatis menormalkan sistem, karena setiap simpul menjalankan protokol yang serupa. Ini disebut sistem peer-to-peer. Riwayat transaksi, secara kronologis diamankan dengan sistem kriptografi yang canggih ke dalam blok transaksi. Setiap blok memiliki penggalan informasi dari blok sebelumnya. Jadi semua blok saling terkait dan mengikat. Dari segi keamanan, mustahil peretas bisa membobol transaksi itu, karena ia harus merusak data di ribuan simpul yang ada, termasuk setiap blok transaksi dari awal hingga terkini pada saat yang bersamaan. Hijrah sekarang? Namun, bukan berarti semua bidang bisnis saat ini juga layak hijrah ke blockhain. Perlu penelaahan dan pensigian lebih dalam, karena banyak pilihan blockchain di luar sana. Lagipula, penerapan blockchain harus sesuai dengan tingkat kerumitan business process sebuah perusahaan. Blockchain yang masih belia, menghadapi masalah skalabilitas. Blockchain bitcoin saat ini misalnya, hanya mampu menangani 3-4 transaksi per detik (TPD). Sebelumnya bisa menangani hingga 7 TPD. Ethereum, terbatas hanya 20 TPD. NEO dan Achain mengklaim bisa menangani hingga 1.000 TPD. Jikalau dibandingkan dengan Visa dan Paypal, blockchain saat ini tentu kalah jauh. Visa mampu memproses rata-rata 1.667 TPD dan Paypal rata-rata 193 TPD. Karena kendala itulah transaksi di blockchain bitcoin dan ethereum bisa sangat lama diproses, karena secara protokol, fee transaksi yang terbesarlah yang diproses oleh miner. Ratusan pengembang blockchain berusaha memecahkan masalah itu. Komunitas bitcoin misalnya berpikir untuk meningkatkan kapasitas blok untuk menyimpan sejumlah transaksi atau membuat lapis tambahan di atas blockchain sebelum direkam ke rantai blok. Masalahnya, karena bitcoin memerlukan kesepakatan mayoritas (sekitar 80%) terhadap suatu perubahan di dalam sistem, sulit menerapkannya secara cepat. Fitrah bitcoin itu adalah egalitarian, bahwa setiap simpul di jaringan memiliki peran fungsi yang setara dengan simpul lain. Sementara ethereum kian giat menaiktarafkan (upgrade) kemampuan agar bisa memproses satu juta transaksi, melebihi Visa. Achain mencoba mendekati isu skalabilitas itu dengan forking-theory. Forking adalah cara membuat blockchain transaksi sendiri (sub-chain), disesuaikan dengan kebutuhan pengembang. Tapi masih bagian integral dari blockchain utama (main-chain) achain tersebut. Jadi, kepadatan transaksi di blockchain utama tidak akan mengganggu beberapa sub-chain lainnya, dan sebaliknya. Mirip dengan teknologi blockchain publik di atas, Linux Foundation bermitra dengan IBM dan ratusan perusahaan TI kelas dunia, membesut hyperledger sebagai distributed ledger technology (DLT). Kalau yang satu ini dikelompokkan sebagai permissioned blockchain, yang memerlukan syarat khusus lainnya, walaupun kodenya bersifat open source. Dengan hyperledger, tidak diharuskan membuat token atau koin digital sebagai sistem insentif, seperti Ethereum. Oracle dan Amazon pun bermain di bidang ini.
Blockchain juga sedang menghadapi kendala interoperabilitas, yakni kemampuan berinteraksi dan berfungsi terhadap produk atau sistem blockchain lain tanpa batasan akses atau implementasi. Itu yang belum tercapai, tetapi tidak sedikit berusaha menuju itu, di antaranya ethereum, ardor, dan achain. Pengembang lainnya mencoba membuat blockchain yang sistemnya mampu meniru aturan kebijakan inflasi atau penargetan harga. Supaya harga uang berwujud kripto bisa stabil layaknya uang fiat. Jadi, dunia masih menantikan kedigdayaan lain dari teknologi blockchain, baik yang dibesut oleh korporasi besar, startup atau mungkin oleh negara sendiri.n
Vinsensius Sitepu Pendiri Mahapala Multimedia Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi