KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sebagian besar masyarakat Indonesia mungkin sudah tak asing dengan frasa berbahasa latin mens sana in corpore sano atau yang memiliki arti pikiran yang sehat ada di dalam tubuh yang sehat. Tubuh seorang manusia sejatinya adalah unit terkecil yang akan menentukan kualitas dari suatu bangsa. Dengan tubuh sehat yang sejalan dengan pikirannya, individu-individu tersebut akan menjadi penentu kelanjutan dari kualitas masyarakat tempat mereka bertumbuh. Ini berlaku juga untuk Indonesia, yang sudah jauh-jauh hari menggembar-gemborkan mengenai target Indonesia Emas 2045, bertepatan dengan perhitungan satu abad negara ini berdiri. Sebelum mencapai ulang tahun ke seratus itu, di tahun 2030 Indonesia juga akan dihadiahi bonus demografi, di mana jumlah penduduk produktif usia 15 hingga 60 tahun akan berada pada angka tertinggi. Agar tidak melewatkan bonus demografi dan target menuju negara maju di tahun 2045, kualitas hidup masyarakat Indonesia juga harus serius diperbaiki mulai dari sekarang. Baca Juga: Perusahaan Brasil Akan Pasok 100.000 Ekor Sapi Perah ke Indonesia Peran Gizi dalam Peningkatan Kualitas Hidup Masyarakat Komponen dari kualitas hidup yang baik dapat dilihat salah satunya dari kualitas gizi yang baik pula. Karena gizi yang baik akan berpengaruh pada tumbuh kembang dan kesehatan pada masa depan. Salah satu zat penting untuk mendukung tumbuh kembang yang baik adalah protein. Zat ini adalah senyawa kimia yang terdiri atas asam-asam amino yang berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur bagi tubuh. Prof. Dr. drg. Sandra Fikawati, MPH dari Pusat Kajian Gizi & Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) mengatakan tubuh manusia membutuhkan sebanyak 20 jenis asam amino. Sembilan di antaranya adalah asam amino esensial (AAE) yang harus didapatkan dari makanan dan sisanya adalah asam amino non esensial. "Protein hewani memiliki AAE yang lebih lengkap dan lebih banyak dibandingkan protein nabati. Selain itu pangan hewani juga memiliki kandungan vitamin dan mineral yang beragam dan kaya serta kualitasnya lebih baik dibandingkan pangan nabati," ungkap Sandra kepada Kontan, Kamis (08/08). Meski protein hewani sangat dibutuhkan tubuh, sayangnya di Indonesia konsumsi protein hewani ini masih rendah. Mengutip dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) di tahun 2022, konsumsi protein per kapita masyarakat Indonesia sudah berada di atas standar kecukupan konsumsi protein nasional yaitu 62,21 gram. Namun masih cukup rendah untuk protein sumber hewani yaitu kelompok ikan/udang/cumi/kerang 9,58 gram, daging 4,79 gram, telur dan susu 3,37 gram. Padahal, sebagai zat penting pembentuk tubuh konsumsi protein hewani dapat mencegah stunting yang menjadi program percepatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan juga Presiden dan Wakil Presiden terpilih saat ini yaitu Prabowo Subianto dan Gibran Rakabumingraka. Kelompok masyarakat yang masih sangat kurang dalam mengonsumsi protein di Indonesia adalah kelompok menengah ke bawah. Padahal menurut Sandra justru masyarakat ekonomi ke bawah inilah yang lebih rentan mengalami stunting atau masalah kesehatan lainnya karena kurang asupan protein. "Ini juga yang dibicarakan di Indonesia, kita bicara mengenai stunting tapi kita tidak pernah berbicara mengenai makanan. Baru sekarang kita baru bicara, jadi isu stunting itu sudah agak telat karena kita tidak pernah bahas mengenai pentingan makanan khususnya protein hewani," ungkapnya. Mengutip data dari OECD, konsumsi protein hewani contohnya daging ayam di Indonesia masih tergolong rendah diantara negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Vietnam dan Filipina. Pertahun konsumsi daging ayam di Indonesia hanya sebesar 8,37 kilogram/kapita/tahun. Baca Juga: BI dan The Fed Kompak Pangkas Suku Bunga, Emiten Poultry Makin Berkokok Padahal 70% konsumsi protein masyarakat Indonesia berasal dari unggas. Terutama daging ayam ras dan telur ayam ras. Alasan rasionalnya adalah harga telur ayam ras dan daging ayam ras yang lebih murah dibandingkan sumber protein lainnya, seperti daging sapi, daging kambing hingga ayam kampung. "Jadi harga per kilonya dibandingkan dengan daging sapi itu jauh lebih rendah. Tetapi kandungan proteinnya itu hampir sama dengan daging sapi. Per 100 gram, protein daging ayam ras itu 18,2 gram dan telurnya 12,4 gram," katanya. Meski masih rendah jika dibandingkan negara lain, konsumsi Indonesia mengalami peningkatan dalam lima tahun terakhir. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian (Kementan) misalnya, konsumsi daging ayam ras di Indonesia pada tahun 2022 mencapai 11,6 kg per kapita per tahun, lebih tinggi dibandingkan konsumsi tahun 2021 yang berada di angka 10,9 kg per kapita per tahun. Sedangkan konsumsi telur ayam ras pada tahun 2022 mencapai 19,32 kg per kapita per tahun, lebih tinggi dibandingkan konsumsi tahun 2021 yang sebesar 18,52 kg per kapita per tahun. Menurut Sandra konsumsi protein ini harusnya bisa ditingkatkan lagi, mengingat pendapatan per kapita Indonesia tahun 2023 mencapai Rp 75 juta per kapita atau US$ 4.919,7 per kapita dibandingkan dengan tahun 2022 yang senilai Rp71,03 juta atau US$4.783,9. Ia juga mengatakan, efek kekurangan protein bisa bersifat jangka panjang. Berdampak pula pada kesehatan dan kesejahteraan masing-masing individu yang mengalaminya. "Protein yang tidak mencukupi dapat menyebabkan stunting, anemia, kelemahan fisik, edema, disfungsi pembuluh darah, hingga gangguan imunitas," katanya. Sebagai negara yang kaya, Sandra bilang masyarakat Indonesia memiliki kebebasan untuk memilih diversifikasi sumber protein harian mereka yang bisa disesuikan dengan preferensi dan anggaran yang dimiliki. "Ada banyak sumber protein hewani, seperti daging, ikan, telur, dan produk susu, yang memungkinkan untuk diversifikasi dan pilihan sesuai dengan preferensi dan anggaran," ungkapnya. Baca Juga: Dukung Program Makan Bergizi, Kementan Bakal Impor 1 Juta Ekor Sapi Perah Produk Hilirisasi Peternakan, Mengikuti Perkembangan Zaman Di zaman yang serba cepat, pola atau perilaku konsumsi termasuk konsumsi protein Indonesia menyesuaikan dengan faktor kemudahan dan kepraktisan. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2022 misalnya, rata-rata pengeluaran masyarakat Indonesia menurut kelompok komoditas makanan yang terbanyak adalah pengeluaran untuk jenis makanan-minuman jadi, sebesar 31%, ditambah dengan pengeluaran untuk jenis makanan lainnya sebesar 24% dan pengeluaran untuk produk tembakau serta turunannya sebesar 12%. Data ini menunjukan bahwa dalam beberapa tahun terakhir masyarakat Indonesia menghabiskan hampir 2/3 uangnya digunakan untuk membeli produk makanan-minuman jadi. Pola konsumsi ini menurut Melvany Kasih, Head of JAPFA Food Solutions dari PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JAPFA) adalah celah untuk menemukan inovasi baru dalam mengkonsumsi protein hewani. "Dari data spending masyarakat Indonesia ini, kalau kita lihat yang paling tinggi dan menonjol itu adalah untuk makanan minuman jadi. Tapi harus ada balance, artinya sumber protein bisa didapat dari makanan yang dimasak di rumah maupun yang dibeli di luar," ungkapnya dalam konferensi pers yang dilaksanakan Kamis (08/08). Melihat perilaku konsumsi tersebut, Melvany bilang agar konsumsi protein hewani dapat lebih ideal, harus didukung juga oleh akses yang mudah dan harga yang terjangkau. "Jadi memang harus meningkatkan dan memberikan protein hewaninya yang accessible serta affordable bagi masyarakat," tambahnya.
Menyambut Indonesia Emas 2045 dengan Produk Hilirisasi Peternakan
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sebagian besar masyarakat Indonesia mungkin sudah tak asing dengan frasa berbahasa latin mens sana in corpore sano atau yang memiliki arti pikiran yang sehat ada di dalam tubuh yang sehat. Tubuh seorang manusia sejatinya adalah unit terkecil yang akan menentukan kualitas dari suatu bangsa. Dengan tubuh sehat yang sejalan dengan pikirannya, individu-individu tersebut akan menjadi penentu kelanjutan dari kualitas masyarakat tempat mereka bertumbuh. Ini berlaku juga untuk Indonesia, yang sudah jauh-jauh hari menggembar-gemborkan mengenai target Indonesia Emas 2045, bertepatan dengan perhitungan satu abad negara ini berdiri. Sebelum mencapai ulang tahun ke seratus itu, di tahun 2030 Indonesia juga akan dihadiahi bonus demografi, di mana jumlah penduduk produktif usia 15 hingga 60 tahun akan berada pada angka tertinggi. Agar tidak melewatkan bonus demografi dan target menuju negara maju di tahun 2045, kualitas hidup masyarakat Indonesia juga harus serius diperbaiki mulai dari sekarang. Baca Juga: Perusahaan Brasil Akan Pasok 100.000 Ekor Sapi Perah ke Indonesia Peran Gizi dalam Peningkatan Kualitas Hidup Masyarakat Komponen dari kualitas hidup yang baik dapat dilihat salah satunya dari kualitas gizi yang baik pula. Karena gizi yang baik akan berpengaruh pada tumbuh kembang dan kesehatan pada masa depan. Salah satu zat penting untuk mendukung tumbuh kembang yang baik adalah protein. Zat ini adalah senyawa kimia yang terdiri atas asam-asam amino yang berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur bagi tubuh. Prof. Dr. drg. Sandra Fikawati, MPH dari Pusat Kajian Gizi & Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) mengatakan tubuh manusia membutuhkan sebanyak 20 jenis asam amino. Sembilan di antaranya adalah asam amino esensial (AAE) yang harus didapatkan dari makanan dan sisanya adalah asam amino non esensial. "Protein hewani memiliki AAE yang lebih lengkap dan lebih banyak dibandingkan protein nabati. Selain itu pangan hewani juga memiliki kandungan vitamin dan mineral yang beragam dan kaya serta kualitasnya lebih baik dibandingkan pangan nabati," ungkap Sandra kepada Kontan, Kamis (08/08). Meski protein hewani sangat dibutuhkan tubuh, sayangnya di Indonesia konsumsi protein hewani ini masih rendah. Mengutip dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) di tahun 2022, konsumsi protein per kapita masyarakat Indonesia sudah berada di atas standar kecukupan konsumsi protein nasional yaitu 62,21 gram. Namun masih cukup rendah untuk protein sumber hewani yaitu kelompok ikan/udang/cumi/kerang 9,58 gram, daging 4,79 gram, telur dan susu 3,37 gram. Padahal, sebagai zat penting pembentuk tubuh konsumsi protein hewani dapat mencegah stunting yang menjadi program percepatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan juga Presiden dan Wakil Presiden terpilih saat ini yaitu Prabowo Subianto dan Gibran Rakabumingraka. Kelompok masyarakat yang masih sangat kurang dalam mengonsumsi protein di Indonesia adalah kelompok menengah ke bawah. Padahal menurut Sandra justru masyarakat ekonomi ke bawah inilah yang lebih rentan mengalami stunting atau masalah kesehatan lainnya karena kurang asupan protein. "Ini juga yang dibicarakan di Indonesia, kita bicara mengenai stunting tapi kita tidak pernah berbicara mengenai makanan. Baru sekarang kita baru bicara, jadi isu stunting itu sudah agak telat karena kita tidak pernah bahas mengenai pentingan makanan khususnya protein hewani," ungkapnya. Mengutip data dari OECD, konsumsi protein hewani contohnya daging ayam di Indonesia masih tergolong rendah diantara negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Vietnam dan Filipina. Pertahun konsumsi daging ayam di Indonesia hanya sebesar 8,37 kilogram/kapita/tahun. Baca Juga: BI dan The Fed Kompak Pangkas Suku Bunga, Emiten Poultry Makin Berkokok Padahal 70% konsumsi protein masyarakat Indonesia berasal dari unggas. Terutama daging ayam ras dan telur ayam ras. Alasan rasionalnya adalah harga telur ayam ras dan daging ayam ras yang lebih murah dibandingkan sumber protein lainnya, seperti daging sapi, daging kambing hingga ayam kampung. "Jadi harga per kilonya dibandingkan dengan daging sapi itu jauh lebih rendah. Tetapi kandungan proteinnya itu hampir sama dengan daging sapi. Per 100 gram, protein daging ayam ras itu 18,2 gram dan telurnya 12,4 gram," katanya. Meski masih rendah jika dibandingkan negara lain, konsumsi Indonesia mengalami peningkatan dalam lima tahun terakhir. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian (Kementan) misalnya, konsumsi daging ayam ras di Indonesia pada tahun 2022 mencapai 11,6 kg per kapita per tahun, lebih tinggi dibandingkan konsumsi tahun 2021 yang berada di angka 10,9 kg per kapita per tahun. Sedangkan konsumsi telur ayam ras pada tahun 2022 mencapai 19,32 kg per kapita per tahun, lebih tinggi dibandingkan konsumsi tahun 2021 yang sebesar 18,52 kg per kapita per tahun. Menurut Sandra konsumsi protein ini harusnya bisa ditingkatkan lagi, mengingat pendapatan per kapita Indonesia tahun 2023 mencapai Rp 75 juta per kapita atau US$ 4.919,7 per kapita dibandingkan dengan tahun 2022 yang senilai Rp71,03 juta atau US$4.783,9. Ia juga mengatakan, efek kekurangan protein bisa bersifat jangka panjang. Berdampak pula pada kesehatan dan kesejahteraan masing-masing individu yang mengalaminya. "Protein yang tidak mencukupi dapat menyebabkan stunting, anemia, kelemahan fisik, edema, disfungsi pembuluh darah, hingga gangguan imunitas," katanya. Sebagai negara yang kaya, Sandra bilang masyarakat Indonesia memiliki kebebasan untuk memilih diversifikasi sumber protein harian mereka yang bisa disesuikan dengan preferensi dan anggaran yang dimiliki. "Ada banyak sumber protein hewani, seperti daging, ikan, telur, dan produk susu, yang memungkinkan untuk diversifikasi dan pilihan sesuai dengan preferensi dan anggaran," ungkapnya. Baca Juga: Dukung Program Makan Bergizi, Kementan Bakal Impor 1 Juta Ekor Sapi Perah Produk Hilirisasi Peternakan, Mengikuti Perkembangan Zaman Di zaman yang serba cepat, pola atau perilaku konsumsi termasuk konsumsi protein Indonesia menyesuaikan dengan faktor kemudahan dan kepraktisan. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2022 misalnya, rata-rata pengeluaran masyarakat Indonesia menurut kelompok komoditas makanan yang terbanyak adalah pengeluaran untuk jenis makanan-minuman jadi, sebesar 31%, ditambah dengan pengeluaran untuk jenis makanan lainnya sebesar 24% dan pengeluaran untuk produk tembakau serta turunannya sebesar 12%. Data ini menunjukan bahwa dalam beberapa tahun terakhir masyarakat Indonesia menghabiskan hampir 2/3 uangnya digunakan untuk membeli produk makanan-minuman jadi. Pola konsumsi ini menurut Melvany Kasih, Head of JAPFA Food Solutions dari PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JAPFA) adalah celah untuk menemukan inovasi baru dalam mengkonsumsi protein hewani. "Dari data spending masyarakat Indonesia ini, kalau kita lihat yang paling tinggi dan menonjol itu adalah untuk makanan minuman jadi. Tapi harus ada balance, artinya sumber protein bisa didapat dari makanan yang dimasak di rumah maupun yang dibeli di luar," ungkapnya dalam konferensi pers yang dilaksanakan Kamis (08/08). Melihat perilaku konsumsi tersebut, Melvany bilang agar konsumsi protein hewani dapat lebih ideal, harus didukung juga oleh akses yang mudah dan harga yang terjangkau. "Jadi memang harus meningkatkan dan memberikan protein hewaninya yang accessible serta affordable bagi masyarakat," tambahnya.
TAG: