SUASANA alam yang asri dan kesan adat Minang sangat kuat terasa ketika memasuki Nagari Sumpur. Berada di sebelah utara Danau Singkarak, pengunjung akan mudah menemui rumah gadang yang terletak di beberapa sudut desa. Desa yang berlokasi di Desa Nagari Sumpur Kecamatan Batipuh Selatan, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat, ini memang sarat akan budaya asli. Inilah yang mengantarkan Nagari Sumpur menjadi satu dari 50 Desa Terbaik pada ajang Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2021. Sebagai catatan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga menjadikan Nagari Sumpur sebagai
pilot project program Ekosistem Keuangan Inklusif (EKI) pedesaan dengan sejumlah pertimbangan. Salah satunya, tingkat literasi keuangan desa ini masih di bawah standar nasional, serta potensinya sebagai desa wisata.
"
Pilot project ini butuh waktu cepat karena desa ini yang paling memenuhi berbagai aspek. Pertimbangan kami ke Nagari Sumpur salah satunya karena indeks inklusi keuangan desa ini berada di bawah rata-rata nasional," kata Aman Santoso, Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan dan Komunikasi OJK, beberapa waktu lalu.
Nah, sebagai desa wisata, wisatawan bisa menikmati berbagai wisata budaya di sini. Selain bisa melihat rumah gadang, desa ini juga menawarkan pengalaman bertani dan memperkenalkan budaya makan bersama, atau dalam bahasa Minang disebut bajambak. Tentu saja, Nagari Sumpur tidak begitu saja jadi desa wisata. Adalah Kamrita, salah satu wanita dan tokoh masyarakat di Nagari Sumpur yang memulai perubahan di desa alias nagari ini. Kamrita menjadi inisiator berdirinya komunitas pemerhati dan penggiat wisata di desa tersebut. Sekitar lebih dari satu dekade silam, Kamrita menyadari rumah gadang yang ada di nagari ini makin susut jumlahnya, akibat banyak masyarakat yang memilih membangun rumah modern. Dulu, ada sekitar 250 rumah gadang di desa ini. Namun di 2011, rumah gadang yang tersisa cuma 70 rumah. Tahun 2012, Kamrita membentuk Yayasan Kampung Minang. Komunitas atau organisasi ini diisi oleh pemuda pemudi di Nagari Sumpur yang sadar akan pentingnya melestarikan rumah gadang. Kamrita juga menyulap rumah gadang peninggalan orangtuanya menjadi
homestay agar membantu melestarikan rumah gadang. Kamrita mengajak pemilik rumah gadang lain melakukan hal yang sama. Tentu saja, ide ini tidak lantas diterima penduduk. Meski demikian, Kamrita tak berputus asa. Ia bersama para penggiat wisata di Yayasan Kampung Minang kemudian menyusun inisiasi-inisiasi baru untuk menjadikan rumah gadang dapat lestari dan jumlahnya tidak susut.
Kemalangan belum berhenti. Pada 2013, kebakaran melalap habis dua rumah gadang yang dijadikan
homestay. Lantaran membangun rumah gadang perlu biaya sangat besar, Kamrita bersama Yayasan Kampung Minang kemudian mengajukan proposal bantuan kepada pihak swasta, Tirto Utomo Foundation. Tirto Utomo bersedia memberi bantuan sebesar Rp 1,3 miliar untuk membangun kembali rumah gadang. Pembangunan tersebut pun rampung pada tahun 2015. Yayasan Kampung Minang juga kemudian membentuk Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis). Kelompok inilah yang mengelola program desa wisata sejak 2016. Pokdarwis membuat paket wisata, hingga rincian biaya dan bagi hasil untuk masyarakat yang dilibatkan. Tapi, Ketua Pokdarwis Zu Herman sadar, ketika itu sumber daya manusia (SDM) di Nagari Sumpur belum benar-benar siap menyelenggarakan desa wisata. "Nagari lain lebih dulu viral ketimbang Sumpur banyak tidak bisa bertahan karena SDM belum mampu menerima dan menjalankan pengembangan desa wisata, jadi kami berpikir SDM perlu diperkuat," kisah Herman. Apalagi, paket wisata Nagari Sumpur adalah paket wisata minat khusus. Wisatawan dapat merasakan bagaimana tinggal di rumah gadang dan menjalankan adat istiadat Minang, seperti
makan bajambak atau makan bersama-sama dan merasakan kuliner khas Minang, seperti rendang. Wisatawan juga bisa merasakan bagaimana masyarakat bertani di sawah dan menangkap ikan bilih di Danau Singkarak, atau dalam bahasa setempat disebut
manjalo. Pengembangan SDM yang dilakukan Pokdarwis membuahkan hasil positif. Buktinya, Nagari Sumpur sukses meraih penghargaan di ADWI pada tahun 2021. Banyak sekolah dan instansi yang menjadi langganan paket wisata minat khusus ini. Misalnya Jakarta Internasional School (JIS). Tiap tahun JIS membawa murid-muridnya untuk merasakan pengalaman budaya dan aktivitas masyarakat di kampung Minang Nagari Sumpur.
Pokdarwis bisa meraup omzet sekitar Rp 50 juta per tahun jika ada ada kunjungan jumlah besar. Pendapatan yang masuk ini kemudian dibagi dengan masyarakat yang dilibatkan dalam kegiatan wisata tersebut, seperti petani yang sawahnya digunakan, nelayan yang perahunya dipinjam untuk wisata serta pemilik rumah gadang yang jadi
homestay. "Jadi kami melibatkan semua masyarakat, jika ada wisatawan yang pesan rendang atau ikan bilih untuk disajikan, Pokdarwis akan melibatkan para UMKM yang ada di Nagari Sumpur," kata Herman. Herman menyampaikan, hingga saat ini Pokdarwis masih berdiri sendiri tanpa melibatkan bantuan dana dari pemerintah desa. Pokdarwis sendiri baru dilegalkan pemerintah pada 2019 atas permintaan dari para pemuda-pemudi masyarakat Nagari Sumpur yang tergabung dalam organisasi tersebut. Sejak program desa wisata berjalan, masyarakat Nagari Sumpur makin sadar akan potensi ekonomi di desa itu. Pemilik rumah gadang mulai membuka diri dan merelakan rumahnya dijadikan
homestay. "Sejumlah warga yang memiliki rumah gadang mulai mendatangi Pokdarwis dan mengajukan untuk dijadikan
homestay juga," kata Herman.
Belum optimal Kendati begitu, Herman mengakui masih ada sejumlah kendala dalam mengelola potensi wisata di Nagari Sumpur. Misal, fasillitas
homestay masih terbatas. Selain itu, perawatan rumah gadang membutuhkan biaya cukup besar. Herman menyebutkan, Pokdarwis sebelum ini sempat mengajukan pembiayaan ke Sarana Multigriya Finansial (SMF) senilai Rp 30 juta. "Kami tidak berani mengajukan pinjaman besar karena wisatawan tidak selalu ramai, ada waktu-waktu tertentu," terang Herman. Promosi desa wisata Nagari Sumpur juga belum terlalu optimal. Promosi sejauh ini hanya berjalan dari mulut ke mulut. Nama Nagari Sumpur sebagai desa wisata mulai terangkat ke permukaan setelah mendapat penghargaan sebagai salah satu desa wisata terbaik.
Baca Juga: OJK dan Lembaga Keuangan Ramai-Ramai Turun Membangun Desa Herman menyebut, ini karena pihaknya tidak memprioritaskan
branding. "Konsep awal adalah mengejar kesiapan SDM untuk menjadi desa wisata terlebih dulu, jadi memperbaiki masyarakat untuk dapat menerima wisatawan yang datang," terang dia. Herman juga menyebutkan pemerintah desa belum bisa mendukung pendanaan Pokdarwis. Bahkan sejauh ini Pokdarwis dan pemerintah Nagari Sumpur masih belum memiliki kerjasama. Wali Nagari Sumpur Ade Hendrico mengamini hal tersebut. Ia menyebut BUMDes hingga saat ini belum bisa bangkit dan hanya jalan di tempat, bahkan mengalami kemunduran sejak dibentuk tahun 2018. BUMDes bahkan membukukan lebih banyak pengeluaran ketimbang pemasukan. Menurut Ade, pendapatan BUMDes tidak lebih dari Rp 10 juta per tahun. BUMDes hanya fokus pada usaha pembuatan pupuk, menjalankan usaha fotokopi dan menjual alat tulis kantor (ATK). Meski demikian Ade manyampaikan, pihaknya telah memiliki lima program yang sukses dilaksanakan, seiring dengan pengembangan pariwisata di Nagari Sumpur. Salah satunya adalah pengembangan UMKM dengan memanfaatkan hasil alam, yakni sawo manila, yang kemudian diolah jadi produk yang lebih bernilai jual, seperti dodol sawo. Di sisi lain, banyak pelaku usaha di Nagari Sumpur kesulitan memperbesar bisnisnya. Sebab, banyak pelaku UMKM yang belum berani mengajukan pembiayaan atau kredit ke bank, mengingat kurangnya edukasi. Ini menyebabkan masyarakat lebih memilih berutang ke rentenir saat kebutuh dana cepat.
Baca Juga: Lewat Program Konservasi dan Pelestarian Bambu, CIMB Niaga Tanamkan Literasi Keuangan Meliana, Ketua Kelompok UMKM Bilih Saiyo yang beranggotakan 16 orang, juga mengakui belum berani mengajukan pinjaman ke bank untuk pengembangan usaha. "Kami tidak berani karena ada jaminannya," tutur dia.
Kelompok UMKM yang menjajakan produk olahan ikan bilih ini hanya berani mengajukan pinjaman jumlah kecil. Meliana berkisah, sebelum ini ia pernah meminjam Rp 5 juta untuk modal usaha dari Permodalan Nasional Madani Mentari. Masalah lain yang dihadapi Nagari Sumpur sebagai desa wisata adalah kebersihan Danau Singkarak. Ade menyebut perlu ada solusi agar Danau Singkarak tidak tercemar. Maklum, Nagari Sumpur adalah area terakhir yang dialiri oleh aliran sungai dari nagari-nagari lainnya. Hal ini bisa mencemari ekosistem yang ada di Danau Singkarak. Permasalahan lain yang menyulitkan wisatawan adalah sinyal telepon yang masih tersendat. "Katanya Nagari Sumpur ini punya
dark spot yang susah ditembus jaringan, ini juga kelemahan," kata Ade. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Syamsul Azhar