Menyebarluaskan aksi kampanye damai



Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggelar deklarasi kampanye damai bertepatan dengan hari pertama kampanye Pemilu 2019 pada Minggu (23/9). Deklarasi yang berlangsung di kawasan Monas, Jakarta, itu tak hanya dihadiri pasangan capres-cawapres tapi juga para pimpinan parpol.

Mereka kompak menggunakan baju adat dari berbagai daerah. Joko Widodo (Jokowi) menggunakan pakaian adat Bali dengan baju dan celana hitam dipadupadankan dengan penutup kepala khas Bali. Sementara Prabowo mengenakan pakaian khas Jawa surjan polos berwarna krem dengan blangkon hitam.

Momentum deklarasi tersebut merupakan orkestra politik yang apik bagi dimulainya perhelatan kampanye Pemilu 2019 (23 September 2018-13 April 2019). Ekspektasi semua rakyat Indonesia tentu saja agar kampanye sebagai ajang sosialisasi dan edukasi politik publik tersebut mampu menyuguhkan spirit rivalitas gagasan yang penuh etis dan damai, jauh dari kekerasan. Sebuah ajang mempromosikan argumen cerdas, visioner dan berkeadaban terutama dari tiap-tiap calon presiden yang akan berkompetisi memperebutkan panggung simpatik dan hati rakyat.


Pemilu 2019 merupakan pesta demokrasi yang berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya karena pemilu legislatif dilakukan serentak dengan pilpres. Ini berkonsekuensi pada tingginya intensitas bertemunya berbagai agenda dan kepentingan politik baik secara individual maupun kelompok. Tiap anggota calon legislatif dituntut tidak hanya mengejar kepentingan elektoral dirinya semata tapi juga ikut berkontribusi bagi pemenangan parpol yang mengusungnya. Parpol juga, selain berlomba-lomba mengkampanyekan dirinya agar meraih suara signifikan di Pemilu 2019, juga berupaya sekeras mungkin untuk memenangkan capres-cawapres yang mereka usung.

Sukses integral politik ini mau tak mau menghasilkan singgungan dan gesekan politik yang jika tak dikelola secara bijak dewasa justru akan memercikkan potensi konflik dan benturan sosial baik di level elite maupun di aras grass root (masyarakat akar rumput). Sebagaimana kontestasi politik sebelumnya, Pemilu 2019 masih akan dihantui oleh percikan-percikan api konflik mulai dari aras wacana hingga aksi. Kita harus akui bahwa pemilu tahun depan masih diwarnai residu Pemilu 2014 dan Pilkada 2017 yang cukup memengaruhi penggunaan metode dan strategi dalam berkampanye terutama di media sosial.

Menurut Centre for Strategic International Studies (CSIS), sedikitnya ada empat media sosial terpopuler yang kerap digunakan kaum milenial yakni Facebook, Twitter, Instagram dan yang sebentar lagi tutup, Path. Pola percakapan anonimitas dan narasi kampanye yang terbangun di medsos sejauh ini cukup memprihatinkan banyak pihak. Penggunaan simbol identitas dan kapitalisasi bahasa provokatif yang menimbulkan benih-benih ketidakpahaman, kebencian dan kecurigaan membuat tampilan medsos atau dunia maya lebih didominasi oleh irasionalitas berpikir.

Mabes Polri mencatat ada 3.500 konten hoaks atau bohong di medsos. Konten berisi ujaran kebencian merupakan jenis tindak pidana yang paling banyak diadukan masyarakat ke polisi, terutama menjelang pemilu. Pada tahun 2015 misalnya jumlah laporan yang masuk berkaitan dengan ujaran kebencian mencapai 671 laporan. Jumlah ini sama dengan tahun 2016, bahkan jumlah laporan yang tertinggi adalah hate speech soal SARA, meliputi pencemaran nama baik, pelecehan, fitnah, provokasi dan ancaman.

Kesepakatan para elite politik menggalakkan kampanye damai niscaya akan semakin memperbesar investasi demokrasi dan memudahkan masyarakat untuk menemukan wujud pemilu yang bermanfaat. Tak cukup sampai di situ. Sikap elok elite politik yang guyub dan ramah itu harus diamplifikasi (disebarkan) pula di dunia maya termasuk medsos dan aras bawah. Tanpa itu, susah bagi kita mengkondisikan terciptanya kampanye sebagai ajang edukasi mendidik dan mencerahkan.

Selama ini sudah sering elite-elite politik menggaungkan pentingnya politik gagasan dan damai di media massa maupun televisi, namun serentak itu, realitasnya, politik provokasi dan kebencian yang mengusung politik identitas tidak pernah berhenti menyemarakkan dunia medsos dan kehidupan sehari-hari rakyat. Ini terjadi karena ketiadaan komitmen yang sungguh dari elite-elite politik untuk melakukan persuasi para basis kelompok pendukungnya agar lebih mengutamakan persaudaraan dan keutuhan NKRI ketimbang sibuk menggali lubang-lubang perbedaan politik.

Konten positif

Karena itu elite politik dan parpol perlu proaktif turun ke rakyat untuk mempromosikan gagasan adilihung kampanye damai tersebut sebagai budaya dan identitas percakapan baru masyarakat. Konten kebencian yang memenuhi linimassa harus dilawan dengan konten positif dan konstruktif. Ini bisa diinisiasi oleh parpol itu sendiri, pers, perguruan tinggi, LSM, institusi keagamaan dan unsur lainnya yang peduli dalam membangun politik dan demokrasi yang beradab. Ini misalnya dapat digarap untuk kaum pemilih pemula yang memiliki antusiasme terhadap testimoni dan informasi sensasional yang bersifat baru.

Studi yang dilakukan Boston Consulting Group (BCG) bersama University of Barkley (2011) dengan tema American Millennials: Deshipering the Enigma Generation, mengungkapkan bahwa generasi milenial memiliki ciri-ciri: 1) lebih mempercayai testimoni ketimbang advertensi satu arah, 2) memiliki akun sosial media sebagai alat komunikasi, 3) tren penurunan minat membaca media konvensional, 4) ternyata lebih menyukai ponsel ketimbang televisi.

Riset Maarif Institute di empat kota Jakarta Bandung, Surabaya dan Semarang, menemukan fakta bahwa keinginan pelajar untuk memproduksi konten positif untuk melawan konten negatif di medsos sangatlah besar. Ada sekitar 83% pelajar yang mengikuti survei mengaku berkeinginan untuk membuat konten positif setelah melakukan pelatihan membuat konten positif, sedangkan sebelum dilakukan pelatihan, hanya 17% yang telah membuat konten positif.

Ini menunjukkan kaum pemilih muda dan masyarakat kita sejatinya punya potensi yang kuat untuk memproduksi konten positif jika mereka diberikan edukasi secara kontinu dan berkelanjutan. Tinggal sekarang yang dibutuhkan adalah soal kesediaan seluruh komponen dalam masyarakat untuk bersama-sama mendukung upaya tersebut. Sehingga nantinya literasi politik bagi masyarakat dalam pemilu bisa terwujud.

Umbu TW Pariangu Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi