Pelemahan nilai rupiah atas dollar Amerika Serikat (AS) pada hari Selasa (4/9) mencapai Rp 14.897, membutuhkan perubahan signifikan pola berwisata warga Indonesia. Ada 6,2 juta orang Indonesia yang melancong ke luar negeri pada tahun 2010, melonjak drastis pada tahun 2016 menjadi 8,4 juta orang dan 9,1 juta orang pada tahun 2017 lalu. Tujuan perubahan pola berwisata ke lokal untuk menghemat devisa dollar AS. Di sisi lain, momentum ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan mancanegara untuk datang ke sini. Kunjungan turis asing year on year pada Juni lalu melonjak 15,21%, dari 1,14 juta kunjungan menjadi 1,32 juta. Jika dilihat month to month, ada lonjakan sebesar 6,07% pada semester I tahun ini dibandingkan semester I tahun lalu. Melihat hal tersebut ada ungkapan dari Albert Einstein yang relevan untuk digemakan di benak wisatawan domestik:
imagination is more important than knowledge. Banyak warga negara yang memimpikan melakukan perjalanan wisata menyusuri berbagai belahan dunia, dari negara ke negara lain, dari suatu benua ke yang lain. Tak ayal, mimpi dan imajinasi petualangan ke seluruh Nusantara juga seharusnya tersimpan dan menyeruak ke berbagai batin anak bangsa yang saat ini dibutuhkan untuk memperkuat nilai rupiah.
Menjaga keberlanjutan mimpi berpetualang ke banyak daerah di negeri yang kaya ini menjadi perjuangan dan obsesi tersendiri. Lebih-lebih ketika perjalanan berpetualang ke negara-negara lain (Asia khususnya) semakin menawarkan kemudahan, ada daya tarik dan tentu saja efisiensi biaya. Dengan modal Rp 2 juta misalnya, sudah dapat berkeliling ke tempat wisata pilihan di Thailand, Singapura atau Malaysia. Kesemarakan liburan Lebaran lalu misalnya, menyisakan suatu pesan. Seandainya biaya perjalanan (transportasi) dalam negeri murah, niscaya semakin banyak perjalanan wisata domestik ke berbagai tempat di tanah air. Namun, ambisi meningkatkan perjalanan dan pengeluaran wisatawan domestik kerap kali dihadang dengan berbagai kesulitan di sektor transportasi. Baik dari segi harga, aksesbilitas, kelayakan moda transportasi, serta keamanan dan kenyamanan selama di perjalanan tersebut. Program mendorong perjalanan wisata di dalam negeri pernah diupayakan pada masa kepemimpinan sebelumnya. Dirjen Pengembangan Destinasi Wisata, Kementerian Pariwisata saat itu, Firmansyah menyatakan, karena pola liburan masih terfokus pada destinasi Bali, Yogyakarta, Bandung, Jakarta, maka perlu mengembangkan pola penyebaran wisatawan ke destinasi lain di luar tempat favorit tersebut. Pemerintah sendiri tengah mengembangkan patron perjalanan atau travel pattern sebagai dasar pembuatan paket wisata, mendorong agar wisatawan memiliki alternatif tujuan wisata lain yang baru. Di antaranya, akan mengembangkan 10 destinasi wisata alternatif untuk melengkapi destinasi favorit yang banyak diminati masyarakat saat ini, yakni Jakarta, Yogyakarta, dan Bali serta Bandung, Surakarta, Surabaya, Medan, Batam, Padang & Bukittinggi, Makassar dan Manado. Di samping itu, pengembangan destinasi wisata minat khusus dilakukan menggunakan pendekatan pada market attractiveness dan pushing product (budpar.go.id). Kini, program tersebut bertransformasi menjadi 10 Bali Baru. Pernyataan tersebut eksplisit menunjukkan adanya kepekaan sekaligus dorongan kebijakan di pihak pemerintah guna mengatasi hal klasik yang bisa disetarakan sebagai suatu persoalan. Mengapa demikian? Kita melihat, jika ditelaah lebih mendalam, kekuatan ekonomi turis lokal selain tersebar di kantong-kantong wisata mainstream Tanah Air, sebetulnya lebih banyak ongkos yang dikeluarkan untuk perjalanan wisata ke luar negeri. Pemikat awal dari semua itu adalah sensasi dan gengsi berwisata ke luar negeri. Pendorongnya adalah kemudahan dan biaya murah dalam merencanakan perjalanan wisata. Non-Bali dan Jawa Air Asia, misalnya, maskapai penerbangan yang berbasis di Malaysia itu meluncurkan airasiago.com. Portal tersebut tidak hanya menjual tiket secara online, melainkan juga pemesanan hotel dan beragam event kegiatan secara mudah. Ilustrasinya, satu koper besar digunakan untuk berbagai kepentingan. Mulai tiket pesawat, hotel, pemesanan taksi, hingga paket tur serta hiburan lainnya. Bahkan, dengan mengkombinasikan berbagai pembelian - tiket pesawat, hotel, paket perjalanan wisata, dan sebagainya - harganya lebih murah antara 20%–30% dibandingkan pemesanan terpisah. Situs seperti itu kini mulai bertambah banyak yang menawarkan ragam layanan wisata. Ini menjadi tantangan bagi setiap pihak terkait kepariwisataan untuk mendongkrak perjalanan wisatawan domestik ke berbagai tempat-tempat wisata di Indonesia. Khususnya adalah daerah-daerah wisata eksotis yang ada di luar Jawa dan Bali. Program pengembangan destinasi yang berfokus pada pushing product misalnya, akan meliputi sejumlah daya tarik seperti Tanjung Lesung (Banten), Raja Ampat (Papua Barat), Weh-Sabang (Nanggroe Aceh Darussalam), Togean-Tomini (Sulawesi Tenggara), Wakatobi (Sulawesi Utara), Banda (Maluku), Tanjung Putting (Kalimantan Tengah) dan Derawan (Kalimantan Timur).
Sedangkan pengembangan destinasi dengan fokus pada market attractiveneness di 14 provinsi antara lain Bromo-Tengger-Semeru (Jawa Timur), Danau Batur (Bali), Toba-Nias (Sumatera Utara), Komodo-Kelimutu (Nusa Tenggara Timur) serta Kepulauan Seribu-Kota Tua (DKI Jakarta). Mimpi melakukan perjalanan wisata ke seluruh Tanah Air kini menjadi impian mulia yang setara dengan cita-cita profesi mulia di masa kanak-kanak. Semoga semakin banyak anak bangsa yang menyatukan mimpi terkait hal ini. Dan semakin banyak pula instansi kepariwisataan di elemen pemerintahan dan swasta yang mampu melakukan terobosan demi terciptanya mimpi perjalanan wisata yang murah dan menyenangkan di seluruh Nusantara. Dengan demikian, perjalanan wisata di dalam negeri akan menghemat devisa negara, membantu memulihkan nilai rupiah.•
Dewa Gde Satrya Dosen Bisnis Hotel dan Wisata Fakultas Pariwisata Universitas Ciputra Surabaya Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi