Menyelaraskan mismatch tenaga kerja kita



KONTAN.CO.ID - Lembaga riset McKinsey Global Institute memprediksi Indonesia akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terbesar ketujuh di dunia pada tahun 2030 mendatang. Pertumbuhan ekonomi yang luar biasa ini mensyaratkan tersedianya tenaga kerja terampil dan semi terampil sebanyak 113 juta orang.

Saat ini, Indonesia baru memiliki sekitar 55 juta sampai 60 juta tenaga kerja terampil dan perlu mengejar tambahan 53 juta sampai 58 juta orang lagi dalam kurun waktu kurang lebih satu dekade jika ingin menikmati bonus demografi secara optimal.

Untuk menuju ke arah itu, tentu saja pemerintah harus menyiapkan strategi pembangunan yang relevan, utamanya pembangunan sumber daya manusia. Masih rendahnya jumlah tenaga kerja Indonesia yang memiliki kualifikasi pendidikan tinggi dibanding dengan Malaysia (Indonesia sekitar 10%, sementara Malaysia sudah 26%) dan juga masih terdapatnya mismatch antara kompetensi lulusan dengan kompetensi yang dibutuhkan dunia kerja, menjadikan percepatan untuk meningkatkan kualifikasi tenaga kerja menjadi amat mendesak.


Hal ini menjadi semakin penting karena kemajuan industri dalam era 4.0 tidak terelakkan. Industri menjadi lekat dengan tren otomasi dan pertukaran data terkini dalam teknologi manufaktur. Industri 4.0 terasosiasi lekat dengan sistem siber, internet untuk segala (internet of things), komputasi awan (cloud computing) dan komputasi kognisi seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence, augmented reality dan sebagainya). 

Pendidikan tinggi vokasi yang terbuka, fleksibel dan berkelanjutan dianggap sebagai jawaban tepat atas kebutuhan tersebut. Ia menjadi ujung tombak dalam mendorong pertumbuhan ekonomi secara nyata karena sifat pendidikannya yang aplikatif, siap kerja, tepat waktu dan inovatif.

Kita perlu mengapresiasi langkah cerdas Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Yang  merespon situasi itu dengan cara memberikan kesempatan yang lebih luas bagi lulusan pendidikan vokasi untuk dapat melanjutkan pendidikan tingginya melalui cara yang fleksibel namun sekaligus berkelanjutan.

Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) menjadi salah satu program pemerintah untuk mengakui capaian pembelajaran yang telah diperoleh seseorang pada pendidikan non-formal, informal, atau pengalaman kerja ke dalam capaian pembelajaran pada pendidikan formal. Dengan demikian, untuk melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi, mereka tidak perlu menempuh seluruh mata kuliah yang ditawarkan dalam suatu program studi.

Mereka cukup menempuh mata kuliah mata kuliah yang kompetensinya belum diperoleh sebelumnya. Dan mereka dapat menikmati manfaat hematnya waktu serta biaya. Tentu saja penyelenggaraan RPL ini harus dibarengi dengan peningkatan mutu dan jumlah perguruan tinggi yang sesuai kebutuhan dunia kerja.

Terobosan tersebut tentu menjadi bukti sistem pendidikan yang terbuka. Ini sejalan dengan konsep belajar sepanjang hayat. Sekaligus berpotensi besar menjadi salah satu solusi bagi percepatan pertumbuhan jumlah tenaga kerja terampil Indonesia yang berbekal pendidikan tinggi.

RPL juga memungkinkan profesional industri untuk menyeberang ke dunia akademis dan menyumbangkan pengetahuan, keterampilan dan pengalamannya sebagai dosen di institusi pendidikan vokasi. Tentu dengan mempertimbangkan bobot karir dan kepakaran di dunia kerja. 

Sertifikasi kompetensi

Bank Pembangunan Asia (2016) dalam Analysis of Trends and Challenges in the Indonesian Labor Market, memberikan gambaran masih tingginya mismatch antara ketersediaan dengan kebutuhan tenaga kerja. Diperkirakan sekitar 51,5% tenaga kerja memiliki kualifikasi yang lebih rendah dari kualifikasi yang dibutuhkan dunia kerja, dimana porsi mismatch untuk kualifikasi pekerjaan yang membutuhkan lulusan pendidikan tinggi masih cukup besar. Hal ini menunjukkan masih besarnya tantangan untuk dapat meningkatkan mutu institusi perguruan tinggi.

Langkah inovatif yang diambil Indonesia untuk menyiasati hal ini adalah merapikan skema dan mekanisme sertifikasi kompetensi lulusan pendidikan vokasi dan pekerja terampil yang sudah berada di pasar kerja.

Hal ini diakselerasi melalui Proyek Pengembangan Pendidikan Politeknik (PEDP) yang dalam kurun waktu kurang lebih lima tahun berhasil membentuk 25 Lembaga Sertifikasi Profesi Pihak Pertama (LSP-P1) yang diakreditasi oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Ini menjadikan institusi pendidikan politeknik sebagai bagian dari 132 Tempat Uji Kompetisi (TUK)  dengan jumlah peralatan praktik yang cukup dan staf (asesor) yang kompeten.

Selain mendapatkan ijasah, para lulusan kini juga bisa mendapatkan bekal sertifikat kompetensi berskala nasional atau bahkan internasional untuk jenis keahlian tertentu.

Tidak hanya itu, perlu dilakukan penyempurnaan kurikulum mengacu kepada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia agar kemampuan lulusan sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Terkait dengan hal ini, pemerintah sudah mulai merevitalisasi peralatan laboratorium dengan teknologi terkini. Kemudian meningkatkan kemampuan pengetahuan dan keterampilan staf pengajar dan teknisi melalui pendidikan lanjut maupun pelatihan di dalam dan di luar negeri. Serta melengkapi bahan ajar dengan media ajar yang sesuai kebutuhan.

Pemerintah dan elemen industri juga perlu menaruh perhatian lebih besar pada pendidikan vokasi, termasuk politeknik. Jika ingin mempercepat peningkatan kualifikasi dan menyelaraskan kompetensi tenaga kerja Indonesia sesuai kebutuhan industri.

Pendidikan vokasi, tidak seperti jenis pendidikan tinggi lainnya, memiliki ciri berdasarkan caranya memperoleh pengetahuan (ways of knowing), cara dan tempat belajar (ways and place of learning), dan jenis pengetahuan yang dipelajari (fields of knowledge). Yakni by doing, practicing dan experiencing, bukan sekedar knowing, theory dan reasoning. Pendidikan vokasi secara khas berorientasi pada pelatihan untuk tugas dan pengetahuan prosedural. Pendidikan ini sarat dengan observasi, imitasi dan koreksi personal bukan dengan cara pelaksanaan preposisi di ruang kelas atau dengan buku teks.

Peran dosen untuk mentransformasikan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dengan demikian menjadi sentral. Dosen perlu memiliki pengalaman praktis yang mumpuni dan memiliki sertifikat kompetensi pada bidang keahliannya agar mahasiswa yang diluluskan memiliki kompetensi kerja yang dibutuhkan industri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hasbi Maulana