Pada pertemuan Keluarga Besar Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama) beberapa hari lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) bercanda tentang penampilan Elek Yo Band. Saat menonton "Elek Yo Band" tampil live di layar televisi, Jokowi dengan sedikit guyon merasa sakit perut. Jokowi menyarankan personel Elek Yo Band agar terus berlatih sehingga kinerjanya meningkat. Namun Jokowi memahami betul kalau penampilan buruk Elek Yo Band karena kurangnya latihan mengingat mereka lebih sibuk bekerja sebagai menteri. Tentu saja saran Presiden tidak bermaksud agar "Elek Yo Band" menjadi kelompok musik yang profesional. Sebaliknya, gaya bahasa kontradiktif yang dipakai Jokowi sejatinya ditujukan agar para pembantunya tetap bekerja profesional sebagai menteri.
Apapun motivasinya, Elek Yo Band menarik untuk disimak eksistensinya. Secara harfiah, Elek Yo Band berasal dari jargon Jawa "Elek Yo Ben". Kata Band dan Ben berpengucapan sama (homofon). Elek Yo Ben berarti "biarkanlah ini buruk". Filosofinya adalah sikap untuk tidak peduli sama sekali tentang apa yang orang katakan sejauh yang dia merasa nyaman. Ide dasar Elek Yo Ben dan plesetannya "Elek Yo Band sepertinya cocok untuk menjelaskan situasi perekonomian nasional dewasa ini. Tensi ketidakpastian ekonomi dunia meningkat tajam setelah genderang perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China ditabuh pada awal Juli tahun ini. Belakangan AS memperluas target ke negara berkembang yang selama ini menikmati sistem preferensi umum (Generalized System of Preferences atau GSP) termasuk Indonesia. Pencabutan fasilitas GSP akan mengerek harga ekspor. Konsekuensinya, daya saing produk ekspor Indonesia ke AS akan tertekan sehingga menghambat aliran masuk devisa. Sayangnya, aliran modal keluar (capital outflows) diprediksi secara masif menuju ke AS terkait prospek kenaikan suku bunga acuan AS satu kali lagi di akhir tahun. Akibatnya adalah kelangkaan likuiditas yang kemudian memicu fluktuasi nilai tukar rupiah. Alhasil, defisit kembar (neraca barang dan neraca jasa) adalah kendala utama bagi otoritas moneter dalam upaya menstabilkan nilai tukar rupiah. Tesis di atas tampaknya mendekati kenyataan. Tiongkok adalah negara tujuan ekspor terbesar sebesar US$ 1,81 miliar dan AS berada di posisi ketiga, US $1,43 miliar di belakang Uni Eropa sebesar US$ 1,71. Pemasok terbesar impor nonmigas adalah Tiongkok. Peringkat kedua adalah Jepang dengan US$ 1,65 miliar atau 11% dari total nilai perdagangan luar negeri. Sementara, AS tidak termasuk dalam tiga pemasok impor teratas ke Indonesia. Dalam konteks ini, dampak proteksi AS terhadap produk Indonesia bisa langsung bekerja. Beberapa jenis produk ekspor Indonesia sudah terkoneksi ke dalam rantai pasok global. Oleh karenanya, dampak jangka pendek lebih dominan adalah gejolak di pasar finansial, seperti yang terjadi pada beberapa bulan terakhir. Proteksi yang lebih murah Dalam jangka panjang, dampak perang dagang antara AS dan Tiongkok menghadirkan risiko yang jauh lebih berat. Permintaan bahan baku Tiongkok ke Indonesia potensial akan turun. Sebaliknya, Indonesia akan semakin dibanjiri produk Tiongkok karena pengalihan produk ekspor dari AS menuju ke Indonesia. Tendensinya, defisit neraca perdagangan dengan Tiongkok semakin besar sementara surplus dagang dengan AS kian menipis. Imbasnya, lagi-lagi, bermuara pada ketersediaan pasokan valuta asing dan nilai tukar rupiah. Dalam skala yang lebih luas, isunya bergerak menuju pertumbuhan, stabilitas, dan pemerataan ekonomi. Alhasil, pengenaan penerapan pajak pendapatan (PPh) impor yang lebih tinggi pada 1.147 komoditas bisa jadi justru yang diharapkan AS. Indonesia masuk ke dalam perangkap AS yang selanjutnya akan menggunakan isu pengenaan PPh untuk perang dagang di sektor lainnya. Terseretnya pengembangan Gerbang Pembayaran Nasional ke dalam negosiasi GSP seolah menjadi indikasi awal. Per definisi, PPh impor semestinya didedikasikan untuk kepentingan nasional, yakni melindungi industri sejenis di dalam negeri, alih-alih balas dendam atau mencari tambahan penerimaan negara. Di sisi lain, dengan berlatih seperti yang disarankan Jokowi kepada "Elek Yo Band", industri nasional yang berorientasi ekspor ke AS bisa mandiri tanpa mengandalkan semata-mata pada fasilitas GSP. Dengan skema problematika di atas, Indonesia harus dapat pula memanfaatkan peluang yang tersembunyi dari fenomena perang dagang ini. Momentumnya pun tepat. Insentif fiskal tax allowance, tax holiday, dan semacamnya harus menjadi nilai jual untuk menarik investasi langsung khususnya relokasi pabrik dari Tiongkok atau AS ke Indonesia. Sejalan dengan itu, optimalisasi 16 paket kebijakan ekonomi niscaya menjadi daya dorong bagi peningkatan kapasitas produksi industri yang dalam beberapa waktu terakhir menurun kontribusinya terhadap pembentukan produk domestik bruto. Perhatian khusus patut diberikan kepada industri yang berorientasi ekspor dan substitusi impor. Peningkatan kapasitas produksi tentu saja memerlukan ekspansi pasar. Perluasan pasar ekspor layak diarahkan ke banyak negara agar ekspor tidak terjebak pada negara yang selama ini secara tradisional telah eksis. Kawasan Afrika Utara, Timur Tengah, dan Amerika Latin terbuka luas menjadi pasar potensial. Pada akhirnya, penguatan pasar domestik menjadi jalan keluar yang paling aman dari ancaman perang dagang ala Trump. Perlindungan terhadap konsumen domestik perlu dilakukan agar daya belinya tetap kuat sehingga mampu menyerap produksi dalam negeri. Sebagaimana prinsip Elek Yo Ben, biarpun jelek tetapi ini karya anak bangsa yang patut diapresiasi.
Proteksi semacam ini jauh lebih murah, sah, dan tidak mengundang konfrontasi dengan negara lain. Meskipun Indonesia memiliki hak untuk menerapkan prinsip resiprokal, tindakan balasan berupa pengenaan PPh yang lebih tinggi bagi produk AS niscaya akan menjadi kontraproduktif. Tanpa kapabilitas mengubah (untuk sementara waktu) orientasi ke dalam, tekanan eksternal akan senantiasa mengharubiru perekonomian domestik. Sejujurnya, bukankah strategi perang dagang AS pada prinsipnya ditujukan untuk memperkuat perekonomian dalam negeri dengan memberi peluang yang lebih besar kepada pemain lokal?•
Haryo Kuncoro Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi