Menyesap legit pasar cokelat premium lokal



KONTAN.CO.ID - Selain menjadi penghasil kopi, Indonesia juga terkenal dengan komoditas biji kakao. Inilah yang membuat para pengusaha tertantang berbisnis olahan cokelat.

Kini, pemain cokelat lokal kian banyak bermunculan. Sejumlah produk pun dibikin premium dan menjadi buah tangan dari masing-masing lokasi produsen.

Seperti Cokelat Ndalem yang menjadi salah satu pilihan oleh-oleh Yogyakarta. Asal tahu saja, usaha cokelat lokal ini dibesut oleh pasangan suami istri Meika Hazim dan Wednes Yuda pada tahun 2013 lalu.


Dia menilai potensi pasar cokelat premium sangat besar. Sayang, pasar belum siap. Kebanyakan konsumen lebih suka cokelat reguler alias coklat campuran. "Mindset coklat yang manis masih dominan di masyarakat, jadi mereka cukup susah menerima cokelat dengan rasa pahit," jelasnya pada KONTAN, Kamis (11/10).

Selain itu, keinginan masyarakat untuk mengkonsumsi cokelat lokal juga masih kecil. Makanya, perempuan berhijab ini terus melakukan edukasi pasar. Dia giat mempublikasikan tetang proses pembuatan sampai dengan proses kerjasama dengan petani.

Dengan strategi ini, Meika mengaku mendapatkan respon cukup baik dari konsumen. Brand awareness terhadap Cokelat Ndalem  pun meningkat.

Dia mengaku dalam sebulan, dapat memproduksi sekitar 300 kg biji cokelat. Bahan bakunya diambil dari beberapa wilayah seperti Gunung Kidul, Yogyakarta, Bengkulu dan Papua.

Dalam sebulan, total penjualannya mencapai sekitar Rp 30 juta sampai Rp 35 juta. Kebanyakan konsumennya adalah para pelancong yang tengah berlibur di Yogyakarta.

Ida Bagus Namarupa, Direktur PT Bali Coklat (POD Chocolate) juga mengatakan bila potensi pasar bisnis ini didalam negeri masih sangat besar. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penduduk indonesia yang mencapai 262 juta orang, dengan tingkat konsumsi cokelat yang masih rendah. "Dari data orang konsumsi cokelat orang Indonesia hanya 0,3 kg per orang per tahun," jelasnya. Makanya dia optimis, bisnisnya bakal bisa terus berkembang.

POD Chocolate, memproduksi sekitar 20 varian rasa, beberapa diantaranya adalah trufles & pralines, nectar bar dan classic bar. Untuk harganya dibanderol mulai dari Rp 26.000 sampai Rp 49.000.

Dalam sebulan produksinya mencapai enam sampai delapan ton. Hasilnya  didistribusikan kebeberapa kota di Indonesia seperti sekitar wilayah Bali, Jakarta, dan lainnya. Cokelat ini sudah banyak masuk di toko ritel modern dalam pusat perbelanjaan.

Laki-laki yang lebih akrab disapa Gusdhe mengaku bila dalam sebulan hampir seluruh produksinya habis. " Penjualan hampir sama dengan produksi , coklat kami tidak menggunakan pengawet sehingga tak tahan lama," katanya.                       

Angkat konsep single origin, produsen edukasi petani kakao

Biji cokelat berkualitas rupanya tak cukup menjadi bahan cokelat premium. Pengolahan paska panen juga menentukan kualitas produk cokelat nantinya.

Seringkali, para pengusaha cokelat lokal mengeluhkan petani yang belum sadar akan pentingnya pengolahan paska panen. Mereka tak langsung melakukan fermentasi pada biji cokelat usai dipanen. Alhasil, kualitas menurun dan tak bisa menjadi produk premium.

Meika Hasim, pemilik Cokelat Ndalem asal Yogyakarta mengatakan, sekitar 90% biji cokelat dari kebun Indonesia tidak difermentasi oleh petani. Padahal, untuk membuat cokelat kualitas tinggi butuh biji yang sudah terfermentasi baik.

Salah satu solusi, dia pun kerap mengedukasi para petani untuk mau melakukan proses fermentasi paska panen. Lalu, Meika akan menyerapnya dengan harga diatas harga pasaran.  

Cokelat Ndalem hanya menjual produk premium di gerai mereka, di Jl. Bhayangkara No.23, Ngampilan, Kota Yogyakarta. Cokelat premium ini biasanya berkonsep single bean origin yang mengacu pada penggunaan bahan baku kakao dari satu sumber dan diolah secara lokal. "Saat ini, mulai banyak artisan yang menggunakan single bean origin dan akan menjadi tren," kata Meika.  

Untuk menggenjot nilai penjualan, perempuan berusia 35 tahun ini juga membuat konsep open kitchen di gerainya. Tujuannya, agar konsumen dapat melihat langsung proses pembuatannya yang masih handmade. Selain itu, Meika dan sang suami Wednes Yuda tidak berhenti belajar tentang proses pembuatan cokelat dari berbagai ahli di Indonesia maupun di Eropa.

POD Chocolate asal Bali juga mengadopsi konsep single origin. MEreka menggunakan 100% biji kakao Bali untuk menghasilkan cokelat premium.

Mereka juga mengemas tour pabrik serta tester gratis kepada semua pengunjung. Langkah ini merupakan bentuk edukasi untuk konsumen. "Kami ingin memberi pengalaman sekaligus mengenalkan cokelat kami kepada konsumen secara langsung," kata Ida Bagus Namarupa, Direktur PT Bali Coklat, produsen POD Chocolate.

Sayang, langkah ini pun masih belum cukup untuk mengedukasi soal rasa coklat premium yang tak manis. Dia pun menggunakan berbagai media sosial untuk edukasi produk cokelatnya.  

Selain pada konsumen, edukasi juga diberikan kepada para petani. Ida Bagus meminta petani melakukan fermentasi. Hal ini dilakukan untuk mendukung ketersediaan bahan baku yang dibutuhkan.

Laki-laki yang lebih akrab disapa Gusdhe ini juga menjamin akan menyerap biji cokelat petani dengan harga tinggi dengan catatan sudah dilakukan fermentasi.

Meski kini banyak produsen cokelat lokal bermunculan, Gusdhe tak resah. Maklum, POD Chocolate telah mempunyai segmen pasar sendiri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Johana K.