JAKARTA. Bank Indonesia (BI) berencana memperkuat kebijakan moneter dengan beberapa strategi operasi moneter. Salah satu langkah yang dipersiapkan adalah, mengarahkan rupiah agar bergerak sesuai dengan nilai fundamentalnya. Kebijakan tersebut dilakukan agar nilai tukar rupiah berperan menjadi instrumen peredam gejolak (
shock absorber) perekonomian, bukan sebaliknya sebagai pemicu gejolak (
shock amplifier). "Ini perlu didukung penguatan struktur pasar valas yang dalam dan likuid, sehingga mendukung proses pembentukan kurs yang lebih efisien," kata Agus dalam pidatonya di Gedung BI, Jakarta, Kamis (14/11) malam.
Agus menjelaskan, ada beberapa strategi operasi moneter yang dilakukan untuk pasar uang rupiah dan valas. Di bidang pengelolaan likuiditas rupiah misalnya, BI akan melakukan operasi moneter dengan cara melanjutkan penyerapan ekses likuiditas struktural secara terarah dan terukur. Caranya dengan perpanjangan tenor penyerapan operasi pasar terbuka (OPT) dengan penerbitan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tenor satu tahun atau lebih, dan menerbitkan surat utang jangka menengah atau
medium term notes (MTN). Bank sentral, kata Agus, juga akan memperkuat pengembangan pasar uang rupiah maupun valuta asing (valas). Selain itu, BI juga akan melanjutkan program pendalaman pasar keuangan. Langkah awal telah dimulai dengan inisiatif ‘mini’ berupa
Master Repo Agreement untuk beberapa pilot banks (bank besar). Tahapan selanjutnya yang lebih luas yaitu General Master Repo Agreement. Agus menambahkan, BI juga menempuh beberapa pengaturan pasar uang dan berbagai instrumen pendanaan (
funding) pengelolaan likuiditas lembaga keuangan. Misalnya, kata Agus, dengan penyempurnaan ketentuan surat berharga komersial (
commercial paper) dan transaksi repo antar bank berdasarkan prinsip syariah. "Kami juga akan mengharmonisasi kebijakan, serta meningkatkan sosialisasi dan edukasi kepada pelaku pasar," jelas Agus.
Untuk mengelola risiko likuiditas, BI akan menyempurnakan Giro Wajib Minimum (GWM) syariah, serta penerapan bertahap instrumen
Liquidity Coverage Ratio (LCR) mulai 1 Januari 2015. BI akan meminta perbankan memasukkan target LCR dalam Rencana Bisnis Bank (RBB) 2014. Perhitungan permodalan juga akan disempurnakan dengan mengakomodasi unsur-unsur risiko, misalnya, siklus ekonomi dan assessment terhadap bank-bank berdampak sistemik. "Kami memandang penting upaya penguatan koordinasi makro-mikro dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Langkah itu sudah diteken dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) pada 18 Oktober 2013, sehingga transisi peralihan pengawasan mikroprudensial perbankan ke OJK bisa berjalan dengan baik," kata Agus. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Asnil Amri