Menyimak strategi bisnis PT Transcoal Pacific Tbk (TCPI) usai IPO di bursa saham



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasang surut kinerja sektor komoditas, tak menghalangi PT Transcoal Pacific Tbk untuk berlayar di lantai bursa melalui initial public offering (IPO). Perusahaan jasa pelayaran dan logistik batubara ini resmi IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 6 Juli lalu dengan kode saham TCPI.

Transcoal Pacific sudah berdiri sejak 2007. Melalui IPO, Transcoal diharapkan bisa berkembang lebih baik. Dirc Richard Talumewo, Presiden Direktur Transcoal Pacific optimistis, potensi pertumbuhan sektor komoditas masih cukup besar. Sehingga, Transcoal memilih mencari pendanaan melalui lantai bursa untuk memenuhi modal kerja kegiatan operasional.

Setelah IPO, Dirc berharap perusahaan bakal lebih mudah mendapat pendanaan lainnya. Sehingga, bisnis di sektor pelayaran ini makin berkembang. Maklum, setelah harga batubara runtuh di 2014, perusahaan di sektor jasa pelayaran menjadi sulit mendapatkan pendanaan dari perbankan.


Saat IPO, Transcoal melepas 1 miliar saham atau setara 20% dari modal ditempatkan disetor penuh. Kala itu, harga saham IPO mencapai Rp 138 per saham. Alhasil, dana yang diperoleh dari IPO mencapai Rp 138 miliar.

Dirc mengatakan, dana hasil IPO akan digunakan untuk membeli tiga armada kapal baru, guna mengangkut lebih banyak kargo dan volume batubara. Sebelum IPO, Transcoal memiliki 12 armada.

Perusahaan ini juga melakukan akuisisi floating terminal storage senilai US$ 3,5 juta. Dua jenis kapal yang akan dibeli, yakni floating crane dan self propelled barge. Dirc berharap, penambahan kapal baru ini akan mengurangi biaya sewa kapal dari pihak ketiga yang selama ini masih dilakukan perusahaan.

Selain mengangkut batubara, Transcoal Pacific juga mengangkut minyak dan komoditas minyak sawit mentah atawa crude palm oil (CPO). Meski demikian, pengangkutan komoditas batubara masih akan tetap menjadi fokus perusahaan. Apalagi, komoditas ini memberi kontribusi hingga 90% terhadap total pendapatan Transcoal Pacific.

Dirc menambahkan, selama ini, Transcoal hanya mengoperasikan tiga armada untuk mengangkut minyak mentah dan CPO. Sedangkan sembilan armada lain disediakan untuk mengangkut batubara. Transcoal biasa menyalurkan CPO milik grup Sinarmas dan minyak milik Petromine.

Kontrak baru

Di sektor pengangkutan batubara, Transcoal Pacific sudah mengempit beberapa kontrak dari perusahaan besar. Dua di antaranya ialah PT Arutmin Indonesia dan PT Kaltim Prima Coal.

Demi menggenjot pertumbuhan pendapatan, Transcoal terus berupaya menjaring kontrak baru. Dirc mengatakan, saat ini pihaknya tengah mengkaji kerjasama dengan perusahaan batubara baru di Indonesia. Sayangnya, ia masih menutup rapat identitas perusahaan tersebut.

Dirc memproyeksikan target pertumbuhan laba bersih bisa mencapai Rp 140 miliar atau naik hampir dua kali lipat dari perolehan laba bersih tahun lalu yang sebesar Rp 88 miliar. Dia optimistis kinerjanya bisa melesat lantaran didorong dengan efisiensi perusahaan dalam mengurangi sewa kapal pihak ketiga dan menggantinya dengan pembelian kapal baru.

"Jumlah kargo semakin tinggi dan banyak menggunakan kapal pihak ketiga. Dengan penambahan kapal, bisa jadi peluang peningkatan kinerja. Perusahaan tambang besar yang kami layani juga bertambah," ujar Dirc kepada Kontan.co.id, Kamis (2/8).

Ia juga mengatakan, bertambahnya kargo akan meningkatkan pendapatan. Sementara itu, penurunan biaya sewa bakal mengerek margin laba bersih. Selama ini, volume pengangkutan Transcoal Pacific mencapai 600.000 ton per bulan. Dirc menargetkan, tahun ini volume pengangkutan bisa mencapai mencapai 6 juta ton.

Pada medio 2018, Transcoal mengantongi pendapatan Rp 649,07 miliar. Jumlah ini 44,63% lebih tinggi, ketimbang pendapatan di periode yang sama tahun 2017 lalu. Sementara itu, laba bersihnya mencapai Rp 82,49 miliar, tumbuh 28,32% year on year (yoy). Pada semester I 2017, laba bersih perusahaan ini sebesar Rp 64,28 miliar. Dengan kata lain, margin laba bersih perusahaan di paruh pertama tahun ini mencapai 12,71%.

Total aset yang dibukukan pun semakin meningkat. Per Juni 2018, nilai aset Transcoal sudah mencapai Rp 1 triliun, dibandingkan tahun lalu, sebesar Rp 844,99 miliar. Sementara itu, total kewajiban perusahaan mencapai Rp 453,49 miliar, dengan ekuitas Rp 569,13 miliar.

Dirc mengatakan, dalam jangka panjang, Transcoal Pacific berencana melakukan pengembangan teknologi, seiring dengan semakin banyaknya armada kapal yang dimiliki perusahaan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi