KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perkembangan teknologi dan internet di dunia saat ini sudah tidak terbendung lagi. Hal ini membawa konsekuensi berupa ancaman di dunia maya, atau kejahatan siber (cyber crime), mulai skala ringan hingga mengancam suatu negara. Indonesia adalah negara dengan penduduk yang sangat besar dan tengah berada dalam arus perkembangan dunia maya yang luar biasa pesat. Tanpa kontrol dan pengawasan, kondisi sosial, politik, bahkan keamanan bisa terancam melalui akivitas di dunia maya ini. Douglas Ure, CEO & Presiden Direktur Marsh Indonesia, selaku perusahaan broker asuransi terbesar di Indonesia menjelaskan, bukti bahwa teknologi mulai memegang peran dan memegang kendali di negara-negara berkembang. Data menunjukkan di Indonesia saja, sekitar 25% organisasi dan perusahaan sudah mengadopsi teknologi artificial intellegent, atau salah satu yang memimpin di Asean. Tetapi jika berbicara tentang dunia internet dan teknologi digital, maka isu terbesar saat ini adalah kejahatan siber. Dan ini seringkali terlupakan. “76% organisasi saat ini sudah atau tengah merencanakan mengaplikasikan setidaknya teknologi baru atau emerging technology. Di skala rumah tangga saja misalnya, sudah mulai digunakan teknologi yang terhubung dengan internet, mulai dari mobil sampai peralatan pendukung aktivitas sehari-hari. Dan ini juga meningkatkan risiko kejahatan siber,” papar Douglas Ure kepada media di Jakarta, baru-baru ini. Risiko kejahatan siber, Ure menambahkan, seperti mengikuti setiap langkah kemajuan ekonomi digital. Inovasi teknologi yang cepat, teknologi yang kompleks dan data sharing yang semakin terkoneksi satu sama lain membuat serangan siber bisa terjadi begitu terorganisir dan mendunia. Ini terbukti dari mobile malware detection yang terus naik. Maka dalam 10 tahun terakhir masyarakat dunia melihat adanya isu-isu kepanikan massal yang meningkat terkait kejahatan siber. Di antara beberapa kategori kejahatan siber, tiga yang terbesar adalah serangan siber (peretasan), disusul pencurian data/uang, dan sisanya soal berita bohong (fake news). Marsh melihat, Indonesia bukan sama sekali tidak menyadari dan mewaspadai kejahatan siber ini. Faktanya, ada peningkatan kebijakan tentang siber, hanya saja penetrasinya masih sangat rendah. Apalagi, belum ada aturan jelas atau regulasi tentang hal ini. Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat, mereka sudah memiliki regulasi khusus sehingga bisa memaksa perusahaan untuk menggunakan asuransi siber dan perlindungan data.
Menyingkap ancaman dan proteksi kejahatan siber di era digital
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perkembangan teknologi dan internet di dunia saat ini sudah tidak terbendung lagi. Hal ini membawa konsekuensi berupa ancaman di dunia maya, atau kejahatan siber (cyber crime), mulai skala ringan hingga mengancam suatu negara. Indonesia adalah negara dengan penduduk yang sangat besar dan tengah berada dalam arus perkembangan dunia maya yang luar biasa pesat. Tanpa kontrol dan pengawasan, kondisi sosial, politik, bahkan keamanan bisa terancam melalui akivitas di dunia maya ini. Douglas Ure, CEO & Presiden Direktur Marsh Indonesia, selaku perusahaan broker asuransi terbesar di Indonesia menjelaskan, bukti bahwa teknologi mulai memegang peran dan memegang kendali di negara-negara berkembang. Data menunjukkan di Indonesia saja, sekitar 25% organisasi dan perusahaan sudah mengadopsi teknologi artificial intellegent, atau salah satu yang memimpin di Asean. Tetapi jika berbicara tentang dunia internet dan teknologi digital, maka isu terbesar saat ini adalah kejahatan siber. Dan ini seringkali terlupakan. “76% organisasi saat ini sudah atau tengah merencanakan mengaplikasikan setidaknya teknologi baru atau emerging technology. Di skala rumah tangga saja misalnya, sudah mulai digunakan teknologi yang terhubung dengan internet, mulai dari mobil sampai peralatan pendukung aktivitas sehari-hari. Dan ini juga meningkatkan risiko kejahatan siber,” papar Douglas Ure kepada media di Jakarta, baru-baru ini. Risiko kejahatan siber, Ure menambahkan, seperti mengikuti setiap langkah kemajuan ekonomi digital. Inovasi teknologi yang cepat, teknologi yang kompleks dan data sharing yang semakin terkoneksi satu sama lain membuat serangan siber bisa terjadi begitu terorganisir dan mendunia. Ini terbukti dari mobile malware detection yang terus naik. Maka dalam 10 tahun terakhir masyarakat dunia melihat adanya isu-isu kepanikan massal yang meningkat terkait kejahatan siber. Di antara beberapa kategori kejahatan siber, tiga yang terbesar adalah serangan siber (peretasan), disusul pencurian data/uang, dan sisanya soal berita bohong (fake news). Marsh melihat, Indonesia bukan sama sekali tidak menyadari dan mewaspadai kejahatan siber ini. Faktanya, ada peningkatan kebijakan tentang siber, hanya saja penetrasinya masih sangat rendah. Apalagi, belum ada aturan jelas atau regulasi tentang hal ini. Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat, mereka sudah memiliki regulasi khusus sehingga bisa memaksa perusahaan untuk menggunakan asuransi siber dan perlindungan data.