Menyoal Amnesti Pajak Jilid Dua



KONTAN.CO.ID - Menjelang sidang parlemen beberapa pekan lalu yang membahas Rancangan Undang Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP), lahir polemik mengenai amnesti pajak jilid II. Banyak pihak yang mempertanyakan rencana pengulangan pelaksanaan amnesti. Padahal dalam perhelatan amnesti lima tahun lalu, pemerintah menyatakan bahwa amnesti hanya akan dilakukan satu kali.

Kepatuhan sukarela dan keadilan menjadi dua hal yang dikhawatirkan terkorbankan oleh pelaksanaan amnesti yang berjilid-jilid. Secara psikis, masyarakat akan terdorong untuk tidak patuh karena merasa akan selalu ada ruang penebusan dosa untuk mereka di kemudian hari. Kemudian pelaksanaan amnesti setelah 2016 juga dinilai mencederai rasa keadilan bagi wajib pajak yang telah mengikuti amnesti pada saat itu.

Kebenaran premis di atas sangat ditentukan oleh bagaimana program yang disebut-sebut sebagai amnesti pajak jilid II ini direalisasikan. Erwin Silitonga, dalam makalahnya yang berjudul Ekonomi Bawah Tanah, Pengampunan Pajak dan Referendum menjelaskan ada 4 jenis amnesti pajak.


Pertama, amnesti yang mewajibkan pembayaran pokok pajak, bunga dan denda, hanya mengampuni sanksi pidana perpajakan. Kedua, amnesti yang mewajibkan pembayaran pokok pajak masa lalu berikut bunganya, namun mengampuni denda dan sanksi pidana.

Ketiga, amnesti yang mewajibkan pembayaran pokok pajak yang lama, namun mengampuni sanksi bunga, denda dan pidana. Dan keempat adalah amnesti yang mengampuni pokok pajak di masa lalu, termasuk sanksi bunga, denda dan pidananya.

Sedangkan Adrian Sawyer, profesor perpajakan University of Canterbury menyebutkan ada 5 jenis amnesti pajak. Dua diantaranya adalah, pertama, revision amnesty, merupakan kesempatan untuk melaporkan pajak tanpa dikenakan sanksi atau diberikan pengurangan sanksi. Namun jenis pengampunan ini tidak menjamin wajib pajak bebas dari pemeriksaan atau penyidikan.

Kedua adalah investigation amnesty, merupakan pengampunan yang tidak menyelidiki sumber penghasilan yang dilaporkan pada tahun-tahun tertentu dan terdapat sejumlah uang pengampunan (amnesty fee) yang dibayar. Pengampunan jenis ini menjanjikan wajib pajak yang mengikuti terbebas dari pemeriksaan atau penyidikan

Melihat cakupan amnesti di atas, maka sejatinya Indonesia telah menyelenggarakan beberapa kali amnesti pajak yang lahir dengan beberapa nama. Amnesti pertama dilaksanakan pada tahun 1964, dengan Penetapan Presiden RI nomor 5 Tahun 1964. Subjeknya orang pribadi dan perseroan, dengan objek pajak pendapatan, pajak kekayaan dan pajak perseroan. Tarif uang tebusan ditetapkan sebesar 5% dan 10%.

Amnesti kedua pada tahun 1984 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1984. Subjeknya seluruh wajib pajak, dengan objek pajak pendapatan, pajak kekayaan, pajak perseroan, PDBR, pajak pendapatan buruh dan pajak penjualan. Tarif uang tebusan sebesar 1% dan 10%.

Amnesti berikutnya lahir dengan nama sunset policy. Program yang berlangsung selama tahun 2008, memberikan ampunan berupa penghapusan atau pengurangan sanksi atas pajak yang kurang/tidak dibayar atas pembetulan SPT tahun pajak 2007 dan sebelumnya.

Pada tahun 2015, dengan slogan Tahun Pembinaan, pemerintah kembali memberikan ampunan dalam bentuk reinventing policy. Banyak pihak yang menyebut program ini sebagai sunset policy jilid II, meskipun pihak DJP sendiri tidak pernah menyebut demikian. Jenis ampunan yang diberikan memang hampir sama. Jika sunset policy otomatis menghapuskan sanksi bunga, maka reinventing policy ini menghapuskan bunga melalui mekanisme permohonan penghapusan sanksi oleh wajib pajak terlebih dahulu.

Kemudian tahun 2016 amnesti pajak digelar dengan akbar. Jumlah uang tebusan yang masuk sebesar Rp 135 triliun, lebih rendah dari target Rp 165 triliun. Namun jumlah tersebut merupakan pemasukan paling besar diantara negara-negara di dunia yang telah menyelenggarakan pengampunan pajak.

Tidak ada batas

Amnesti pajak berjilid-jilid bukan hanya dilakukan di Indonesia. Amerika telah melaksanakan 111 program pengampunan dalam kurun 1982-2011 di 45 negara bagian. India 12 kali sampai dengan tahun 1997, bahkan Turki 29 kali dalam periode 1926-2016. Karena memang tidak ada satu pun norma hukum yang mengatur batasan jumlah amnesti.

Adapun kekhawatiran akan terjadinya moral hazard wajib pajak dapat diantisipasi pemerintah dengan merancang model amnesti yang tepat. Rumusan tarif uang tebusan, subjek dan objek pengampunan harus dirancang dengan teliti sehingga menghasilkan kepastian dan keadilan.

Wajib pajak yang berleha-leha dan menduga bisa mengakali pajaknya akan kecele kalau ternyata konstruksi UU yang mengatur program pengampunan tidak sesuai harapannya. Di lain sisi, wajib pajak yang telah mengikuti amnesti 2016 tidak merasa dikhianati karena keikutsertaannya pada waktu itu sia-sia. Kecermatan pemerintah dituntut di sini.

Keberhasilan program amnesti juga ditentukan oleh kesiapan administrasi perpajakan dalam mengolah data perpajakan untuk mendorong terciptanya kepatuhan sukarela. Momentum rencana peluncuran amnesti kali ini, berbarengan dengan transformasi kelembagaan di Direktorat Jenderal Perpajakan (DJP) Kementerian Keuangan.

Reorganisasi yang dilakukan memperluas dan memperdalam fungsi pengawasan terhadap wajib pajak di setiap unit vertikal. Saat ini pun DJP sedang menggodok pembaruan sistem administrasi perpajakan berbasis digital. Sistem yang baru nantinya digadang-gadang mampu mengantisipasi perubahan rekayasa keuangan dan bisnis juga teknologi informasi dengan kecerdasan buatan.

Jika sudah demikian, nakal bukanlah pilihan yang cerdas bagi wajib pajak saat ini. Program pengampunan pajak, apapun namanya nanti menjadi pilihan yang layak dipertimbangkan.

Penulis : Dian Anggraeni

Penyuluh Pajak Ahli Madya Direktorat Jenderal Pajak

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti