KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kasus korupsi dalam perdagangan timah di PT Timah Tbk dari tahun 2015 hingga 2022 menjadi perhatian publik karena perkiraan kerugian negara yang mencapai Rp 271 triliun, menjadikannya sebagai kasus korupsi terbesar di Indonesia. Sejumlah pihak, termasuk Guru Besar Universitas Jenderal Soedirman Bidang Ilmu Akuntansi Sektor Publik, Agus Joko Pramono. Menurutnya, kerugian negara dalam konteks kerugian lingkungan tidak termasuk dalam kerugian negara seperti yang diatur dalam Undang-Undang Keuangan Negara atau Perbendaharaan Negara.
“Sepanjang sepemahaman saya Kerugian Negara dalam konteks kerugian lingkungan tidak termasuk dalam kerugian negara yang didefinisikan oleh UU Keuangan negara dan/atau Perbendaharaan Negara,” kata Agus dihubungi, Selasa (2/4/2024).
Baca Juga: PT Timah (TINS) Ungkap Penyebab Penurunan Produksi Bijih Timah 26% di 2023 Menurutnya, berdasarkan definisi tersebut, tidaklah tepat apabila kerusakan lingkungan dijadikan sebagai dasar kerugian negara. “Definisi menurut undang-undang, kekurangan uang, surat berharga dan/ barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum baik secara sengaja maupun lalai. Barang dimaksud adalah Barang milik negara tercatat. Jadi (kerugian Rp 271 triliun) tidak sesuai dengan definisi undang-undang,” tambahnya. Pada 19 Februari 2024, Kejaksaan Agung membawa ahli lingkungan dari Institut Pertanian Bogor, Bambang Hero Saharjo, yang menghitung kerugian akibat dugaan korupsi tersebut. Menurut Bambang, total kerugian mencapai Rp 271 triliun, yang sebagian besar berasal dari kerusakan hutan di Bangka Belitung. Namun, metode penghitungan ini menuai kritik dari sejumlah pakar, termasuk Andri Gunawan Wibisana dari Center for Environmental Law and Climate Justice, yang menyatakan bahwa kerusakan lingkungan tidak otomatis berarti kerugian negara dan tindak pidana korupsi.
Baca Juga: Perkara Dugaan Korupsi Komoditas Timah, Kejagung Geledah Rumah Suami Sandra Dewi Nella Sumika Putri, pakar hukum pidana dari Universitas Padjadjaran Bandung, menekankan bahwa badan yang berwenang menghitung kerugian negara dalam konteks korupsi adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), bukan ahli lingkungan seperti Bambang Hero. Hal ini memunculkan kebingungan tentang posisi Bambang dalam proses tersebut. Dengan polemik ini, pertanyaan pun muncul mengenai kelayakan penggunaan dampak lingkungan sebagai dasar untuk menentukan kerugian negara dalam kasus korupsi, serta kejelasan peran instansi terkait dalam menangani masalah ini. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli