Menyoal pemeringkatan asuransi



Rating atau pemeringkatan asuransi dilakukan oleh berbagai media bisnis dan perbankan setiap tahun. Dan biasanya disertai perayaan penganugerahan kepada perusahaan yang memperoleh predikat. Rating dilakukan dengan menggunakan data laporan keuangan perusahaan asuransi yang wajib dipublikasikan di media massa paling lambat 30 April untuk laporan keuangan yang berakhir 31 Desember tahun sebelumnya.

Biasanya, pemeringkatan itu dilakukan dengan menggunakan berbagai parameter kesehatan keuangan dengan mengacu pada ukuran rating yang biasa dilakukan oleh Standard & Poors dan AM Best. Itu untuk menilai kesehatan keuangan dan kinerja manajemen asuransi.

Namun rating asuransi tidak sepenuhnya dapat menggambarkan kesehatan keuangan dan kemampuan terlebih kemauan asuransi membayar klaim. Data tahun 2011–2016 menunjukkan jumlah sengketa yang ditangani Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI) melalui mediasi dan ajudikasi sebanyak 110 kasus sengketa asuransi umum dan 82 kasus sengketa asuransi jiwa.


Disimpulkan bahwa lebih banyak penolakan klaim oleh asuransi dilakukan dengan alasan yang tidak cukup kuat. Sehingga asuransi harus mengubah keputusan semula menolak klaim dan majelis memutuskan asuransi harus membayar klaim.

Rating menggunakan data laporan keuangan pada posisi tanggal tertentu. Dan menggunakan ukuran kuantitatif berbasis neraca publikasi yang sudah menjadi rahasia umum bahwa kondisinya tidak steril dari kosmetik dan rekayasa akuntansi. Tidak jarang perusahaan dengan laporan keuangan sangat bagus belakangan terbukti bermasalah. Kasus Bakrie Life (2008), Bumi Asih Jaya (2013), terakhir kasus SNP Finance dan Asuransi Jiwasraya yang diaudit oleh akuntan publik kelas dunia pun tumbang.

Rating asuransi 2018 oleh dua media menempatkan Jiwasraya dengan predikat terbaik dan sangat bagus walau saat rating disusun belum mempublikasikan laporan keuangan. Jadi rating asuransi perlu dilengkapi dengan ukuran kualitatif untuk men diskonto laporan keuangan yang nampak kinclong, tapi dalam kenyataan berbeda 180 derajat.

Kombinasi ukuran kuantitatif dan kualitatif diperlukan agar hasil rating lebih kredibel dan akuntabel bagi kebutuhan akan keterbukaan informasi publik. Misalnya dengan menggali aspek kepatuhan, governance, inovasi, pengembangan teknologi informasi dan SDM dari para pelaku asuransi.

Bagaimanapun rating hingga kini menjadi satu satunya sumber informasi bagi publik untuk menilai kinerja asuransi secara mikro dengan berbagai indikator. Namun asosiasi yang menjadi wadah seluruh pelaku asuransi tidak menyajikan informasi keuangan secara detil. Melainkan hanya data penjualan kotor yang tidak menggambarkan secara utuh dan benar kinerja seluruh pelaku.

Demikian pula Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mewajibkan asuransi dengan rupa rupa laporan sebagaimana diatur dalam POJK Nomor 55/POJK.05/2017 tentang Laporan Berkala Perusahaan Perasuransian tidak melakukan respons dan analisis apapun dengan laporan yang diterima agar dapat dijadikan bahan evaluasi oleh masyarakat. Untuk menilai kinerja setiap perusahaan asuransi OJK berencana menambah lagi dengan laporan harian sebagai reaksi dari kasus tunda bayar Jiwasraya baru baru ini. Sementara dengan laporan yang sudah ada, OJK gagal mengidentifikasi isu strategis yang perlu diantisipasi dan dimitigasi oleh industri tersebut.

Data riset sebuah media atas neraca publikasi tahun 2017, sejumlah 73 perusahaan asuransi umum menunjukkan rasio beban (klaim, usaha dan komisi) terhadap pendapatan premi neto asuransi umum rata-rata 125,08%. Jumlah perusahaan dengan rasio beban (net combined operating ratio) di atas 100% sebanyak 52 perusahaan (71,23%). Di sektor asuransi jiwa, sebanyak 51 perusahaan dengan rata-rata rasio beban 118,02%. Jumlah perusahaan dengan rasio beban di atas 100% sebanyak 35 perusahaan (68,62%).

Engineering fee

Betapapun hasil operasional sebagian besar asuransi merugi, tidak ada langkah koreksi dan responsif dari OJK untuk memperbaiki keadaan. Di antaranya adalah praktik perang tarif yang disebut engineering fee yang sudah berlangsung lama dan kini pada tingkat menggorok leher pelaku sendiri.

Praktik engineering fee bermula dari SE OJK Nomor SE-06/D.05/2013 terakhir dengan SE OJK Nomor 6 /SEOJK.05/2017 tentang Penetapan Tarif Premi serta Ketentuan Biaya Akuisisi Asuransi Kendaraan Bermotor dan Harta Benda. OJK membolehkan nasabah dan/atau pihak ketiga lainnya yang terkait dengan perolehan bisnis asuransi, termasuk kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta untuk mendapatkan diskon atau komisi asuransi yang seharusnya menjadi hak pialang atau agen asuransi.

Tapi diskon itu salah kaprah karena secara teknis underwriting diskon adalah insentif kepada nasabah yang melengkapi objek asuransi dengan alat pemadam kebakaran yang cukup untuk memitigasi risiko kebakaran. Salah kaprah berlanjut dengan menciptakan engineering fee. Yaitu sebagai imbal jasa kepada pialang karena melakukan survei atas objek risiko untuk mendapat penilaian dari pihak asuransi apakah bersedia menerima objek yang ditawarkan.

Bila demikian halnya, pelaku asuransi tidak perlu lagi membayar iuran OJK dengan mengalihkan kepada asosiasi untuk melakukan self regulating terhadap industri. Pengalihan iuran menjadi relevan. Sebab berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2018 atas laporan keuangan OJK terungkap penerimaan pungutan yang melebihi realisasi kebutuhan OJK sebesar Rp 439,91 miliar belum disetorkan ke kas negara. Iuran menimbulkan benturan kepentingan bagi OJK sebagai lembaga independen.

Iuran OJK dapat dialihkan untuk membayar gaji pengelola asosiasi yang profesional serta membangun teknologi informasi untuk melakukan analisis rutin dan pengawasan terhadap anggota asosiasi. Self regulating menempatkan asosiasi melakukan pendisiplinan pasar dan mengenakan sanksi terhadap anggota yang melanggar tarif.

Dengan OJK mempublikasikan seluruh data dan laporan berkala yang diterimanya, para analis pasar dan konsultan independen akan melakukan analisis dan pemeringkatan terhadap perusahaan asuransi. Langkah tersebut akan menjadi bahan bagi seluruh pihak yang berkepentingan untuk melakukan evaluasi kemitraan dengan asuransi.

Irvan Rahardjo Pengamat Kebijakan Perasuransian dan Jaminan Sosial

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi