Menyoal Pengawasan Industri Keuangan



KONTAN.CO.ID - Rumor otorisasi pengawasan industri jasa keuangan akan dikembalikan ke Bank Indonesia (BI) berhembus sayup. Semenjak pernyataan Presiden Joko Wododo (Jokowi) yang menyiratkan ketidakpuasannya terhadap kinerja kementerian dan lembaga di masa krisis pendemi korona (Covid-19). Presiden Jokowi menyampaikan pernyataan tersebut dalam rapat kabinet pada 18 Juni 2020 yang lalu.

Spekulasi yang dimaksud presiden "lembaga" adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kian menguat, dan seolah menemukan alasan "pembenarannya". Sebab, OJK menjadi sorotan publik, lantaran keterlibatan oknum pejabat OJK dalam skandal Asuransi Jiwasraya yang diduga telah merugikan negara mencapai belasan triliun rupiah.

Krisis kepercayaan publik terhadap fungsi pengawasan industri keuangan pun kian mengental, seiring munculnya kasus serupa Jiwasraya. Sebut saja antara lain: kasus Asabri, Asuransi Bumi Putra, perusahaan investasi bodong dan lainnya.


Teranyar, kasus yang menimpa salah satu nasabah bank, lantaran tidak bisa mencairkan depositonya senilai sekitar Rp 74 miliar. Terlebih, fakta pengadilan yang membeberkan keterlibatan pejabat OJK dalam skandal Jiwasraya kian membuat coreng-moreng wajah OJK.

Ironinya, lembaga yang bertugas mengawasi perusahaan investasi, justru pejabatnya terlibat dalam kongkalikong meloloskan transaksi reksadana bermasalah yang dilakukan Jiwasraya kepada 13 perusahaan manajer investasi. Hal ini terungkap dalam fakta persidangan kasus Jiwasraya.

Publik pun mempertanyakan kinerja pengawasan OJK terhadap perusahaan-perusahaan investasi yang kerap merugikan masyarakat. Misalnya, kasus investasi bodong PT Kam and Kam dengan menggunakan aplikasi skema jual-beli kendaraan MeMiles, berhasil menipu masyarakat dengan taksiran kerugian mencapai ratusan miliar rupiah bahkan diduga menembus Rp 1 triliun.

Isu miring yang dialamatkan OJK tidak hanya berhenti di situ. Pungutan berupa premi sebagai "imbalan" pengawasan pun banyak dikeluhkan oleh masyarakat dan kalangan pelaku industri perbankan maupun industri keuangan non-perbankan. Beban operasional menjadi semakin berat karena adanya iuran tersebut. Belum lagi, sulitnya izin operasional bank-bank kecil dan mikro turut menghambat penanganan masalah UMKM akibat terdampak oleh kiris Covid-19.

Sehingga di tengah masyarakat keuangan muncul adagium "fasilitas yang dimiliki OJK bintang lima, tapi pelayanannya melati". Namun demikian penulis tidak sepakat dengan wacana pembubaran OJK. Sebab, jika ada penghuni sebuah rumah bermasalah, bukan rumahnya yang dihanguskan, tapi penghuninya yang harus diperbaiki.

Penguatan pengawasan

Oleh karena itu, tindakan yang bijak adalah justru mengokohkan eksistensi OJK dalam sistem keuangan nasional. Hal ini mengingat, situasi sekarang tidak tepat untuk membubarkan lembaga sebesar OJK yang sedang bekerja mengawasi dan mengatur industri keuangan dengan aset puluhan ribu triliun rupiah. Terlebih, dunia keuangan nasional saat ini sedang menghadapi masa sulit akibat tekanan efek pandemi.

Hal itu sebangun dengan pertimbangan utama pendirian OJK, yakni: untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel. Serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Dengan pertimbangan ini pula sebaiknya OJK dipertahankan dengan sejumlah perbaikan baik internal maupun eksternal. Pertama, kepemimpinan. Ketangguhan pemimpin menghadapi krisis menjadi penentu kualitas kepemimpinan seseorang. Lussier & Achua (2009) menegaskan bahwa kualitas sesungguhnya dari kepemimpinan terlihat ketika seseorang menghadapi krisis.

Rham Charan (2010) merinci sejumlah karakter kepemimpinan yang dipandang krusial untuk mengelola "kemerosotan" suatu lembaga atau institusi, yakni: kejujuran dan kredibilitas; kemampuan untuk menginspirasi; koneksitas antara momentum dengan realitas; dan keberanian membangun masa depan.

Dalam konteks itu, ketua dewan komisioner OJK dan jajarannya dituntut memulihkan kepercayaan publik. Kejujuran dan integritas segenap pengurus OJK dalam menjalankan fungsi pengawasan menjadi taruhan. Misalnya, ada penjelasan yang transparan tentang mekanisme pencegahan penyimpangan yang dilakukan oleh oknum pejabat OJK dalam menjalankan tugasnya.

Selain itu, soal pungutan premi yang harus jelas peruntukan dan pelaporannya. Sehingga dari sisi ini, ada jaminan bahwa otorisasi terselenggara secara akuntabel. Karena musykil berharap objek yang diawasi akuntabel, sementara yang mengawasi abai dengan prinsip-prinsip good corporate governance.

Kemampuan pucuk pimpinan menginspirasi seluruh anggota organisasi menjadi kunci kokohnya otoritas. Dewan Komisioner OJK dituntut menjadi sumber inspirasi dalam penguatan otoritas. Dalam hal ini, McFarland (2009) menawarkan konsep "memahkotai" lembaga. Konsep tersebut menganjurkan para pemimpin lembaga untuk melayani kepentingan lembaga, dan bukan sebaliknya, mengondisikan lembaga "menghamba" pada kepentingan individual pemimpin.

Penguatan kapasitas otoritas, juga bergantung pada kemampuan para pimpinan OJK, dalam merelasikan antara krisis kelembagaan sebagai momentum untuk bangkit, dengan realitas krisis kepercayaan yang sedang dihadapi oleh otoritas.

Berpijak dari situ, keberanian dewan komisioner membangun masa depan sistem keuangan yang lebih teratur, adil, transparan, dan akuntabel, menjadi tantangan. Sekaligus peluang menjadi institusi yang kian kokoh, dan disegani.

Kedua, independensi kelembagaan. Sebagaimana amanah UU, bahwa OJK merupakan institusi yang independen. Oleh karena itu, tidak boleh ada lembaga tinggi/kementerian manapun yang menggunakan pengaruhnya untuk "menekan" dan "melemahkan" kewenangan OJK.

Ketiga, evaluasi koordinasi antar lembaga. Untuk mengawasi dan mengatur ribuan lembaga keuangan bank atu non-bank (perbankan, pasar modal, asuransi, dana pensiun), diperlukan koordinasi dan sinergitas antara pemangku kepentingan industri keuangan, yakni: OJK, BI, LPS, PPATK dan Kemkeu.

Keempat, perbaikan pelayanan. Slogan OJK "mengatur, mengawasi, dan melindungi untuk industri keuangan yang sehat" diharapkan menjadi realitas praktik di lapangan. Terutama, perlindungan terhadap konsumen, investor dan nasabah yang kerap kali menjadi korban penipuan investasi bodong. OJK dituntut tidak hanya mampu menemukan, dan membuat daftar perusahaan investasi nakal, tapi juga melakukan mitigasi risiko investasi sejak dini.

Penulis : Imron Rosyadi

Lektor Kepala Teori Keuangan FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti