Menyoal rencana impor gas alam cair dari Singapura



KONTAN.CO.ID - Rencana impor gas alam cair (Liquifed Natural Gas/LNG) dari negeri Singa disoal! Bagaimana tidak, Indonesia merupakan negara kepulauan yang potensi gasnya melimpah. Sehingga, dalam waktu dekat dianggap tidak perlu melakukan impor.

Bayangkan saja, pemerintah atau Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan lifting gas tahun 2017 mencapai 1,150 juta barel oil per day (boepd).

Bahkan, Satuan Kerja Khusus Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat pada tahun 2025 produksi gas bisa mencapai 60% dari total produksi migas nasional. Itu didapat dari lima proyek besar hulu migas yang saat ini masuk dalam proyek strategi nasional.


Adapun lima proyek itu, di antaranya, Lapangan Jangkrik, Lapangan Jambangan Tiung Biru, Proyek Tangguh Train III, Blok Masela dan proyek Indonesia Deepwater Development (IDD).

Rencana impor LNG ini, sebelumnya dilontarkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman (Menko Maritim), Luhut Binsar Panjaitan yang menyatakan akan ada impor LNG dari perusahaan asal Singapura yaitu Keppel Offshore & Marine dengan harga yang murah, yaitu sekitar US$ 3,8 per MMBTU – US$ 4 per MMBTU.

Ada dua kemungkinan skema yang akan dibentuk dari Keppel Offshore & Marine. Yakni impor maupun swap. Adapun rencananya LNG tersebut akan digunakan untuk pembangkit listrik dengan kapasitas 500 Megawatt (MW).

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro menyoal dan menganggap, Indonesia tidak perlu impor. Karena nyatanya, selama ini Singapura yang selalu impor gas dari Indonesia.

“Malah saat ini juga masih impor gas pipa dari kita (Indonesia). Kok, kita mau impor dari sana?“ ungkapnya kepada KONTAN, Jumat (25/8).

Ia bilang, harga gas yang ditawarkan oleh Keppel Offshore & Marine sekitar US$ 3,8 per MMBTU – US$ 4 per MMBTU itu baru sebatas harga regasifikasi dan transportasi saja. Maka, ia menganggap apabila dihitung dengan biaya pengapalan dan biaya konversi LNG ke gas harganya akan sama dengan yang ditawarkan oleh domestik.

Setali tiga uang, Pengamat Energi dari Universitas Gajah Mada, Fahmi Radhi mengungkapkan, dalam menghadapi mahalnya harga gas dalam negeri, pemerintah seakan tidak punya solusi lain selain impor. Padahal, masalah yang menyebabkan harga gas mahal adalah keterbatasan infrastruktur pipa dan adanya trading non pipa yang berperan sebagai makelar yang berkontribusi terhadap mahalnya harga gas dalam negeri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini