Menyoal sertifikasi halal



Kementerian Agama (Kemnag) telah meresmikan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) pada hari Rabu  yang lalu (11/10). Pembentukan BPJPH ini merupakan amanat UU Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Konsekuensi logis ke depan adalah terjadi pemindahan pengurusan sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) ke pemerintah.

Isu pemindahan pengurusan sertifikasi halal ini menjadi polemik publik. Kemnag memastikan tidak akan memangkas peran MUI yang sebelumnya banyak mengeluarkan sertifikat halal di Indonesia.

BPJPH menjadi lembaga yang mengelola proses administrasi terhadap registrasi sertifikat halal. Sedangkan MUI berperan sebagai auditor terhadap produk yang didaftarkan atau menjadi pihak yang menentukan halal tidaknya suatu produk.


Perubahan regulasi sertifikasi halal ini penting dicermati dan dikoordinasikan secara rapi agar tidak menimbulkan gejolak. Jika bergejolak dan ribut, justru kontra produktif terhadap tujuan awal membangun industri halal yang berdaya saing global.

Wewenang BPJPH sesuai UU JPH antara lain merumuskan dan menetapkan kebijakan jaminan produk halal, menetapkan norma, standar, prosedur dan kriteria JPH. Lalu  menerbitkan dan mencabut sertifikat halal pada produk luar negeri, serta meregistrasi sertifikat halal bagi produk asing.

MUI sesuai regulasi baru masih memiliki kewenangan dalam pengelolaan sertifikasi meskipun sudah ada BPJPH. Pertama adalah penerbitan surat rekomendasi produk halal yang nantinya ditindaklanjuti BPJPH. Keputusan MUI terkait dengan kehalalan suatu produk diwajibkan ada sebelum BPJPH mengeluarkan sertifikasi halal produk tersebut.

Kedua, MUI tetap memiliki peran untuk mengeluarkan fatwa halal terhadap produk yang didaftarkan di BPJPH. Ketiga, MUI juga memiliki peran sebagai satu-satunya otoritas dalam mengeluarkan sertifikasi terhadap Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yaitu organisasi auditor produk halal.

BPJPH sendiri akan bekerja sama dengan MUI dalam penerbitan sertifikasi halal dan mengawasi produk di Indonesia. Hal ini diklaim Kemnag akan lebih menjamin penegakkan hukum terkait beleid produk halal daripada regulasi sebelumnya.

Sertifikat halal wajib untuk seluruh produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia, mulai tahun 2019. Kriteria produk halal yang dimaksud adalah produk yang sesuai syariat Islam. Antara lain barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan masyarakat. Masa berlaku sertifikasi halal terjadi perubahan dari dua tahun menjadi empat tahun. Kecuali, jika terjadi perubahan komposisi bahan sebuah produk.  

Penetapan biaya resmi

Permasalahan di lapangan kepercayaan publik terhadap Kemnag tidak lebih baik daripada MUI. Mamang banyak kelemahan terhadap proses sertifikasi halal di MUI. Namun pengalihan ke Kemnag berpotensi menambah beban masalah.

Lantaran Kemnag memiliki catatan tidak baik dalam tindak korupsi. Banyak kasus korupsi terkuak di institusi yang mestinya suci ini. Faktor manusiawi dan lemahnya sistem pencegahan masih dominan.

Kasus korupsi yang paling mengecewakan publik khususnya umat Islam adalah terkait pengadaan Al-Qur’an. Kasus terbesar bahkan menyeret mantan Kemnag, Surya Dharma Ali masuk dalam kursi pesakitan.

Kemnag juga belum memiliki rekam jejak baik dalam pengelolaan urusan keumatan. Sebut misalnya dalam pelayanan haji, pengawasan umrah, dan lainnya. Sengkarut permasalahan masih menghinggapi dan menjadi penyakit kronis dari keduanya.

Urusan umat termasuk dalam sertifikasi halal menjadi isu sensitif. Polemik sejak lama bermunculan. Permasalahan di lapangan juga tidak kalah pelik. Bahkan sering muncul usulan ekstrem agar yang disertifikasi adalah produk non halal saja. Bagaimanapun regulasi sudah ditetapkan dan BPJPH sudah diresmikan. Langkah paling penting yang dibutuhkan adalah upaya pengelolaan agar sertifikasi halal berjalan optimal.

Koordinasi dan pelibatan aktif sejak awal penting diintensifkan antara Kemnag dan MUI. Keduanya jangan sampai menjadi matahari kembar dalam proses pengelolaan sertifikasi halal. MUI sebagai ‘pemain lama’ mesti dilibatkan agar tidak terkesan terpangkas kewenangannya.

Regulasi baru ini juga penting disosialisasikan kepada publik atau kalangan industri. Proses yang baru diharapkan tidak bertambah sulit secara administratif dan membebani publik. Jaminan perbaikan agar lebih simpel, transparan, dan akuntabel penting diberikan Kemnag.

Potensi penyalahgunaan kewenangan terbuka untuk mengarah ke kasus korupsi atau pungutan liar. Biaya resmi penting ditetapkan sejak awal. Pengawasan mesti diberikan kepada BPJPH, baik oleh lembaga pengawas serta tentunya publik.

Pengelolaan sertifikasi halal ke depan mesti berbasis evaluasi sepanjang waktu. Evaluasi komprehensif mendesak dilakukan dengan partisipasi semua pihak yang berkepentingan. Peta jalan perbaikan kualitas sertifikasi halal ke depan mesti disusun dan dilaksanakan dengan penuh komitmen.

Sertifikasi halal tidak hanya menyangkut pertanggungjawaban publik dan kenegaraan. Namun juga ada pertanggungjawaban akhirat, mengingat urusan halal haram masuk dalam ajaran fundamental teologi Islam. Personel yang nantinya masuk dalam jajaran pengelola mesti memiliki integritas tinggi baik secara spiritual, kualitas profesional, hingga jiwa antikorupsi.

Beban berat diemban BPJPH ke depan. Pihak-pihak yang masih keberatan regulasi baru ini dapat menempuh jalur hukum, misal upaya judicial review. Tata hubungan antar agama juga penting dijamin tidak menimbulkan gesekan. Daerah-daerah minoritas Islam mesti menjadi prioritas perhatian.                             

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi