Belakangan ini masyarakat mempertanyakan mengenai kelayakan susu kental manis setelah ketua Dewan Permusyawaratan Rakyat (DPR-RI) mengimbau masyarakat agar susu kental manis sementara tak dikonsumsi hingga ada konfirmasi lebih lanjut. Persoalan susu kental manis ini mencuat setelah BPOM merilis Surat Edaran Nomor HK. 06.5.51.511.05.18.2000 Tahun 2018 mengenai perintah kepada produsen, importir dan distributor susu kental manis sehubungan dengan analog, label, dan iklan produk. Latar belakang penerbitan Surat Edaran BPOM adalah mengedukasi masyarakat tentang esensi produk susu kental manis yang beredar. Produk itu tidak mengandung padatan susu, melainkan hanya mengandung lemak susu sebesar 8 % dan protein 6,5 % sehingga tidak dapat dikualifikasikan sebagai susu (kategori pangan 01.3). Rilis BPOM pada Juli 2018 itu, berbeda dengan rilis BPOM Oktober 2017, melalui Direktur Standarisasi Produk Pangan BPOM menyatakan susu kental manis merupakan produk yang dapat dikualifikasikan sebagai susu dan aman dikonsumsi siapa pun. Mengacu pada penelitian kandungan gula pada susu kental manis yang dilakukan Institut Pertanian Bogor pada 2017 (Briawan,2017), kandungan gula pada produk susu kental manis sekitar 50%. Tantangan produsen susu kental manis saat ini adalah membuktikan bahwa produk tersebut aman dikonsumsi siapa pun dan layak disebut produk susu.
Pemerintah sebenarnya telah memiliki regulasi teknis terkait susu kental manis yang tertuang dalam dokumen SNI nomor 01-271-1998 yang dirilis tahun 2014. Jadi, sejak 2014 Indonesia telah mendefinisikan susu kental manis sebagai susu dan kepalan (padatan susu) yang dipekatkan atau mengandung tambahan gula atau tambahan bahan pemanis lainnya. Definisi ini ditemukan dalam dokumen SNI nomor 01-271-1998 yang dirilis tahun 2014 dengan kode HS 0402.99.00.00, sehingga perdebatan mengenai definisi susu kental manis sebenarnya tidak perlu terjadi. Persoalannya, definisi tersebut nampaknya tidak tersosialisasikan dengan baik. Dugaan ini merujuk ke masih gamangnya pemerintah dalam mendefinisikan susu. Ini terlihat dalam press rilis BPOM Juli 2018 yang berbeda dengan press rilis BPOM Oktober 2017. Persoalan lainnya dalam regulasi terkait susu kental manis , jelas diatur bahwa komponen gula dan bahan pemanis hanya sebagai tambahan saja mengingat bahan pokoknya adalah susu dan kepalan (padatan susu). Langkah BPOM menerbitkan Surat Edaran Nomor HK. 06.5.51.511.05.18.2000 Tahun 2018 pada Mei 2018 bukan merupakan langkah solutif bagi perlindungan konsumen. Mengingat edaran tersebut hanya mengatur dari sisi adverstisment saja. Ini tidak menjawab persoalan yang mendasar terkait kebutuhan sosialisasi masyarakat akan susu kental manis dan aspek penegakan hukum bagi perlindungan konsumen susu kental manis. Perlindungan konsumen Pembaharuan analog dan label produk susu kental manis dalam Surat Edaran BPOM tersebut tidak efektif untuk mengubah mind set masyarakat dan menimbulkan kesadaran kolektif masyarakat terkait susu kental manis. Ironisnya sesuai data WHO, per Desember 2017, sebanyak 61% ibu pada usia produktif memberikan asupan susu kental manis yang beredar di pasaran kepada anaknya. Sehingga pemerintah perlu memberi kesadaran kolektif akan esensi dari produk susu kental manis. Selain itu, pemerintah diharapkan dapat memberi panduan yang bersifat korektif pada produsen susu kental manis. Artinya, memberi kejelasan bagi pelaku usaha dalam memproduksi susu kental manis yang telah menjadi asupan secara turun temurun. Memang, Dirjen Industri Kementerian Perindustrian menyatakan susu kental manis aman dikonsumsi karena telah memenuhi standar yang diatur dalam Peraturan Kepala BPOM Nomor 21 tahun 2016 tentang kategori pangan. Persoalannya, apakah susu kental manis terkualifikasi sebagai susu sebagaimana dipahami oleh konsumen? Dan, apakah susu kental manis yang beredar di pasaran aman dikonsumsi untuk jangka panjang mengingat terdapat kandungan gula yang cukup tinggi. Sesuai Pasal 100 ayat (1) dan Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan serta mengacu pada Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 44 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 1999 tentang label dan iklan pangan, seharusnya pencantuman kandungan gula, produsen memberi informasi konsumsi produk yang aman. Misal, produsen memberi indikasi maksimal konsumsi per hari dan akibatnya jika dikonsumsi berkepanjangan. Bila dalam analog dan label dicantumkan, maka akan memberi informasi yang benar kepada konsumen sekaligus melepaskan produsen susu kental manis dari kesalahan konsumsi oleh konsumen susu kental manis. Hal inilah yang seharusnya diatur, tetapi belum diatur dalam Surat Edaran BPOM Nomor HK. 06.5.51.511.05.18.2000 Tahun 2018 tertanggal 22 Mei 2018. Mengenai perdebatan apakah susu kental manis terkualifikasi sebagai susu atau cairan kental manis , pemerintah harus kembali pada aturan khusus (lex spesialis) terkait susu kental manis, yaitu SNI nomor 01-271-1998 yang dirilis 2014 dengan kode HS 0402.99.00.00 sehingga antar instansi pemerintah memiliki satu pedoman yang sama yaitu Standar Nasional Indonesia. Konsumen berhak tahu dan harus diedukasi mengenai perbedaan susu kental manis dan cairan kental manis, meskipun keduanya telah memiliki izin edar dari BPOM dan layak dikonsumsi tetapi peruntukan dan penggunaan susu kental manis dan cairan kental manis adalah berbeda. Persoalan ini menjadi sensitif mengingat peningkatan gizi dan memerangi stunting adalah agenda prioritas pemerintah pusat.
Mengacu Undang-Undang nomor 8/1999 tentang perlindungan konsumen menegaskan konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan jasa. Dalam Peraturan Pemerintah nomor 28 /2004 tentang keamanan, mutu dan gizi pangan artinya saat ini pemerintah bersama pemangku kepentingan terkait harus segera mensosialisasikan guna menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang definisi susu kental manis dan perbedaannya dengan cairan kental manis beserta petunjuk konsumsinya. Dengan menggunakan standar SNI tentang susu kental manis maka sesungguhnya selain melindungi konsumen juga melindungi produsen susu kental manis karena standar dalam SNI telah tersinkronisasi dalam HS code (Harmonized System) yang berlaku dan diterima secara internasional.•
Rio Christiawan Dosen Hukum Bisnis Universitas Prasetya Mulya Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi