Sah saja Bank Indonesia (BI) menyebut mata uang virtual (MUV) bitcoin bukanlah alat pembayaran sah. “Segala risiko perdagangan bitcoin diserahkan kepada masing-masing pengguna,” tegas Bank Indonesia. Tetapi teknologi blockchain yang menjadi fondasi bitcoin adalah entitas istimewa dalam revolusi perbankan dan teknologi keuangan dunia, termasuk meningkatkan inklusivitas keuangan masyarakat, yang tidak memiliki akses ke bank konvensional. Amerika Serikat, Rusia, Senegal, Tunisia, Tiongkok, Singapura, Australia, Jepang, dan Korea Selatan adalah beberapa negara yang sejak dua tahun terakhir terlibat aktif dalam riset dan pengembangan blockchain, khususnya di sistem perbankan mereka. Beberapa bank besar dan negara pun berencana membuat mata uang virtual sendiri. Pada 20 Januari 2017, Bursa Saham Hong Kong (Stock Exchange of Hong Kong/SEHK), dalam situs web resmi mereka, hkex.com, sudah memanfaatkan teknologi blockchain. Bank Sentral Hong Kong pada 11 November 2016 juga telah melaksanakan langkah penting untuk menerapkan teknologi blockchain itu, yang dinilai bisa membawa potensi sebagai alat pembayaran.
Bank Sentral Singapura telah beberapa kali ujicoba teknologi itu pada November 2016. Mereka memakai blockchain yang terhubung dengan bursa saham Singapura bersama delapan bank lainnya. Sebelumnya pada 2016 OCBC (Oversea-Chinese Banking Corporation), tercatat sebagai bank pertama di Asia yang menerapkan teknologi itu di sistem perbankan meski sebagian. Sebelum akhir tahun 2016 Pemerintah Rusia mengumumkan dukungannya secara resmi bagi teknologi blockchain dan mata uang digital bitcoin, padahal sejak kehebohan bitcoin pada 2008, Rusia secara tegas melarang peredaran bitcoin di negara itu. Pada 12 Agustus 2017 bank pelat merah Rusia, Vnesheconombank (VEB) bermitra dengan ethereum untuk membangun sistem blockchain. Seiring waktu, ketika pemerintah secara formal mengakui keandalan blockchain, beberapa pemerintah menetapkan kebijakan khusus yang memisahkan teknologi itu dengan mata uang virtual lantaran situasi terkini cenderung dipersepsikan negatif, terlebih-lebih dengan aktivitas initial coin offering (ICO) atau penawaran awal koin digital, yang memungkinkan orang lain ataupun perusahaan rintisan membuat mata uang virtual baru lalu dijual kepada publik. Bank Sentral Tiongkok pada 4 September 2017 lalu, misalnya mengeluarkan pengumuman akan membatasi aktivitas mata uang virtual, khususnya terkait ICO. Pemerintah Korea Selatan dan Rusia pun berlaku demikian. Sinar Mas sudah masuk ICO adalah metode pengumpulan dana dari publik (crowdfunding) oleh perusahaan yang sedang atau akan menjalankan sebuah proyek baru, berupa produk yang digadang-gadang sangat hebat. Publik dipersilahkan membeli sejumlah token (bakal MUV baru) yang ditawarkan sang penyelenggara ICO dengan mata uang virtual lain seperti bitcoin (BTC) dan ether (ETH) dengan harga yang sangat murah. Harapannya adalah ketika proses ICO berakhir dan proyek berjalan, serta MUV itu masuk ke bursa perdagangan MUV, harganya akan meningkat beberapa kali lipat dari harga ICO. Sejak awal tahun 2017, jumlah ICO meningkat pesat dengan beragam tawaran proyek yang menarik atau terkadang terkesan to good to be true. Beberapa di antaranya menggabungkan dengan sistem multi level marketing. Ada yang menipu ada juga yang memang serius. Hingga detik ini, ICO tersukses sepanjang masa adalah ICO yang diselenggarakan ethereum pada 2014. Dana yang terkumpul mencapai US$ 18 juta di harga US$ 0,40 per ETH. ICO yang berhasil mengumpulkan dana terbesar hingga saat ini adalah tezos (XTZ) yang mencapai US$ 232 juta. Jadi, dalam situasi seperti ini publik harus ekstra hati-hati dan perlu riset mendalam soal ICO yang ditawarkan, sebab ICO ini terkait teknologi blockchain yang masih infant belum mature, serta produk akhir ICO pada dasarnya adalah teknologi publik yang belum tentu bisa berlanjut. Blockchain pun sejatinya bukan hanya untuk membuat mata uang virtual, tetapi dapat diterapkan dalam bidang lain, mulai dari sistem hak cipta musik, hukum, manajemen suplai, dan lain sebagainya, sepanjang wujudnya adalah digital. Tatkala saya menelusuri coinmarketcap.com beberapa pekan lalu. Saya melihat mata uang virtual OmiseGo (OMG) nilai market cap-nya meningkat cepat dalam beberapa hari. Pada 7 Agustus 2017 market cap OMG baru sekitar US$ 265 juta di harga penutupan US$ 3,15 per OMG. Pada akhir Agustus harga OMG meningkat US$ 11,74 dengan market cap US$ 1 miliar. Tidak perlu 30 hari bagi OMG untuk menarik perhatian para investor. Tidak sedikit mata uang virtual yang dengan cepat memiliki market cap seperti OMG. Tapi OMG lebih stabil dan produk yang dijalankan sangat legit. Sedangkan mata uang yang lain lebih banyak curang karena pengelola MUV sendiri yang memainkan pasar, membeli sendiri MUV buatannya, peringkatnya naik, sehingga harga meroket dan lalu dengan cepat menghilang dari pasar.
OmiseGo sendiri adalah perusahaan yang bergerak di bidang teknologi keuangan (tekfin). OmiseGo memungkinkan pengguna bertransaksi keuangan, baik dengan mata uang biasa atau virtual. Beroperasi di Thailand, Jepang, Singapura dan Indonesia, salah satu penyokong dananya adalah Sinar Mas Digital Ventures (SMDV), selain East Ventures, SBI Investment dan SMBC. Ini bermakna perusahaan Indonesia sudah mempelajari potensi blockhain. Beberapa penasihat OmiseGo adalah orang-orang ternama dan perintis di bidang mata uang virtual, seperti Vitalik Buterin (pendiri ethereum), Dr. Gavin Wood (rekan pendiri ethereum), dan Roger Ver CEO bitcoin.com. Ada baiknya Bank Indonesia ikut berperan dalam industri blockchain ini, setidaknya meningkatkan akses masyarakat ke produk keuangan dan meningkatkan kesejahteraan petani lewat manajemen pasokan yang terdesentralisasi. Jadi, apakah Indonesia hendak menjadi pemain atau sekadar penonton? Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi