KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kesulitan keuangan yang dialami Duniatex Group ternyata berbuntut panjang. Bermula dari salah satu entitas usahanya yakni PT Delta Dunia Sandang Textile (DDST) yang gagal membayar bunga kredit pinjaman sindikasi senilai US$ 13,4 juta dari 14 bank, dengan total utang US$ 260 juta pada 10 Juli lalu, kini masalah keuangan Duniatex Group semakin keruh. Melalui Direktur AJCapital Adisory Fransiscus Alip yang ditunjuk sebagai konsultan keuangan, Duniatex Group menyatakan kesulitan keuangan yang dialami grup perusahaan tekstil terbesar di Solo ini salah satunya lantaran perang dagang antara Amerika Serikat dan China yang berimbas pada penurunan margin perusahaan. Dari laporan Debtwire pada 25 Juli 2019, marjin lini penenunan (
weaving) Duniatex Group melalui PT Delta Erlin Dunia Textile (DMDT) memang tergerus pada awal tahun 2019.
Pada kuartal I-2019 marjin DMDT sebesar 15,3% pada kuartal I-2019. Nilai tersebut turun 29 bps dibandingkan marjin yang diperoleh pada akhir 2018 sebesar 18,2%. Selain itu, biaya produksi yang besar dibandingkan kompetitor juga jadi salah satu alasan seretnya likuiditas perusahaan. Tak menunggu lama, kasus kesulitan keuangan yang dialami salah satu anak usaha Duniatex Group terus menjalar ke lini usaha lainnya. Mengutip
Debtwire, kegagalan tersebut kemudian merembet ke PT Delta Merlin Dunia Textile (DMDT), yang menerbitkan obligasi global senilai US$ 300 juta pada 12 Maret lalu gagal membayar bunga pertamanya senilai US$ 12,9 juta pada 12 September 2019. Total nilai obligasi tersebut US$ 300 juta dengan bunga sebesar 8,635% dan dibayar per semester. Padahal dalam prospektusnya, DMDT punya kewajiban untuk menyisihkan pembayaran bunga pertama dari hasil penjualan bersih obligasinya tersebut.
Head of Finance Delta Merlin Teguh Handoko dalam keterbukaan informasi di Bursa Singapura, Kamis (12/9) menyatakan, perusahaan tak memiliki kemampuan untuk membayar bunga pertamanya tersebut. Selain DMDT, kesulitan keuangan juga dialami oleh lima anak usaha Duniatex Group lainnya yakni PT Delta Dunia Textile (DDT), PT Delta Dunia Sandang Textile (DDST), PT Delta Merlin Sandang Textile (DMST), PT Dunia Setia Sandang Asli Textile (DSSAT), dan PT Perusahaan Dagang dan Perindustrian Damai alias Damaitex. Per Agustus, enam entitas anak Duniatex Group tersebut punya nilai utang hingga US$ 1,51 miliar. Perinciannya US$ 948,3 juta berasal dari kreditur asal Indonesia, sementara sisa US$ 562,3 juta berasal dari kreditur asing. Nilai pinjaman tersebut diberikan oleh 48 bank, dimana 22 di antaranya memberikan pinjaman kepada lebih dari satu entitas Duniatex dan memiliki tagihan yang telah jatuh tempo hingga 81,6% dari total nilai utangnya. Lantaran semakin banyak kewajiban yang belum dipenuhi, akhirnya enam entitas anak Duniatex ini dimohonkan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) oleh salah satu pemasoknya, PT Shine Golden Bridge. Perkara terdaftar dengan nomor 22/Pdt.Sus-PKPU/2019/PN Niaga Smg di Pengadilan Niaga Semarang Rabu (11/9). Dalam permohonannya Shine Golden menagih utang senilai Rp 1,69 miliar atau setara US$ 121.000. Shine Golden juga hendak menyeret entitas properti Duniatex yaitu PT Delta Merlin Dunia Properti (DMDP) ke dalam proses PKPU, meskipun DMDP tak jadi termohon dalam perkara. Padahal, sebelum dimohonkan PKPU, setidaknya sudah ada tujuh bank yang nilai tagihannya mencapai Rp 4 triliun yang menyepakati skema restrukturisasi dengan Duniatex. Beberapa kreditur bank tersebut antara lain BRI, Bank Mandiri, Bank Mega dan BNI Syariah. “BRI sudah menyetujui skema restrukturisasi. Skemanya berupa perpanjangan jangka waktu, penurunan suku bunga, dan penjualan aset,” kata Direktur Bisnis Mikro BRI Supari. Bank dengan aset terbesar di tanah air ini punya total eksposur kredit ke Duniatex senilai Rp 1,8 triliun. Sedangkan nilai jaminan yang dimiliki BRI sebesar 127% dari eksposur kreditnya. Sementara Bank Mega tercatat masih memiliki eksposur kredit senilai US$ 4 juta atau setara Rp 50 miliar di Duniatex. BNI Syariah tercatat masih punya eksposur pembiayaan kepada DMDT senilai US$ 21 juta atau setara Rp 300 miliar. Atas eksposur tersebut, BNI Syariah memiliki jaminan berupa tanah dan bangunan, pabrik, serta mesin
weaving (penenunan) dengan rasio mencapai 192,65% dari total eksposur kreditnya. Namun, karena ada proses PKPU, maka seluruh proses restrukturisasi kredit akan berjalan lewat jalur PKPU. Lantaran ketidakmampuan dalam memenuhi kewajibannya dalam jangka pendek, pendiri sekaligus pemegang saham Duniatex Group Sumitro juga ikut mengajukan PKPU secara sukarela di Pengadilan Niaga Semarang. Permohonan yang diajukan Rabu (25/9) itu memiliki nomor perkara 25/Pdt.Sus-PKPU/2019/PN Niaga Smg. Kuasa Hukum Duniatex Aji Wijaya dari Kantor Hukum Aji Wijaya & Co membenarkan hal ini. Sumitro mengajukan PKPU secara sukarela. “Iya, PKPU sukarela. Pak Sumitro adalah pendiri dan pemegang saham Duniatex Group,” katanya kepada Kontan.co.id, Jumat (17/9). Gagal bayar ini juga mendorong Standard & Poor's Global Ratings (S&P) memangkas peringkat PT Delta Merlin Dunia Textile (DMDT) beserta surat utang tanpa agunannya atau
senior unsecured notes ke level D (default) dari sebelumnya CC. Hal itu terjadi karena anak usaha Duniatex Group ini tidak membayar bunga utang
senior unsecured notes yang jatuh tempo pada 12 September 2019.
Senior unsecured notes DMDT yang jatuh tempo tahun 2024 tersebut, memiliki nilai pokok sebesar US$ 300 juta. Adapun bunga utang yang gagal dibayar DMDT pada 12 September berjumlah US$ 13 juta. Melalui rilis yang dipublikasikan 13 September 2019, S&P berkeyakinan DMDT tidak akan dapat membayar kewajibannya dalam masa tenggang 30 hari, sejak 12 September. Hal ini mengingat kondisi keuangan perusahaan yang memang tidak memungkinkan. Ada dugaan fraud Rumitnya permasalahan gagal bayar obligasi yang dihadapi Duniatex bahkan mengundang pihak Bareskrim Polri untuk melakukan penyelidikan. Bareskrim menduga, ada
fraud penggelapan, pengabaian, dan pencucian uang dalam kasus pemberian kredit kepada Duniatex. Menurut
Debwire, enam entitas yang tengah diselidiki adalah PT Delta Merlin Dunia Textile (DMDT), PT Delta Dunia Textile (DDT), PT Delta Merlin Sandang Textile (DMST), Delta Dunia Sandang Textile (DMST), PT Delta Setia Sandang Asli Tekstil (DSSAT) and Perusahaan Dagang dan Perindustrian Damai alias Damaitex. “Bareskrim telah memanggil seorang Direktur Duniatex di Jakarta untuk dimintai keterangan kata dua sumber yang mengetahui kasus ini. Petugas Bareskrim juga telah mengunjungi Duniatex di Solo kata seorang sumber lainnya,” tulis
Debtwire. Investigasi dilakukan akibat utang menggunung yang kini ditanggung Duniatex. Tercatat enam entitas tersebut memiliki total utang senilai Rp 18,79 triliun atau setara US$ 1,33 miliar yang berasal 24 pinjaman bilateral, tiga utang sindikasi, dan utang obligasi. “Ada kecurigaan terhadap Duniatex, auditornya, penilai, pemasok, pengawas dan bankir, menurut surat dari Bareskrim,” tulis Debtwire. Meski demikian,
Debtwire memprediksi utang Duniatex bisa mencapai US$ 2 miliar yang berasal dari lebih 40 kreditur jika melibatkan lini bisnis propertinya. Saat dikonfirmasi, kuasa hukum Duniatex Aji Wijaya dari kantor hukum Aji Wijaya & Co membenarkan kabar ini. Meski demikian ia mengaku belum mengetahui jika sudah ada perwakilan Duniatex yang sudah dimintai keterangan oleh Bareskrim. Peringatan dari Moody's Kesulitan korporasi seperti Duniatex dalam membayar kewajiban utangnya sejatinya sudah disoroti oleh lembaga pemeringkat utang Moody's Investors Service. Dalam laporan hasil stress-test Moody’s Investors Service dalam laporan terbarunya, Senin (30/9), mengungkap, India dan Indonesia menjadi negara yang paling rentan mengalami penurunan kapasitas pembayaran kembali utang korporasi. Asisten Wakil Presiden Rebaca Tan menyebut, penilaian itu berdasarkan hasil simulasi pendapatan sebelum pajak, bunga, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) di perusahaan-perusahaan mengalami penurunan sebesar 25%. “Dengan kondisi itu, rasio utang terhadap EBITDA di kedua negara akan melebihi 4 dengan Interest Coverage Ratio (ICR) di bawah 1,” ujar Rebaca dalam laporan berjudul “Risks from Leveraged Corporates Grow as Macroeconomic Conditions Worsen”. Semakin besar nilai rasio utang terhadap EBITDA, artinya proporsi utang lebih besar dibandingkan pendapatan perusahaan. Sebaliknya, semakin kecil ICR, maka semakin rendah kemampuan perusahaan. menutupi beban biaya bunga utangnya. Moody’s mencatat, sebesar 53% dari total utang korporasi di Indonesia memiliki rasio utang terhadap EBITDA di atas 4. Sementara 40% dari perusahaan Indonesia memiliki ICR di bawah 2. Dalam konteks Indonesia, Moody’s memandang, risiko meningkat akibat potensi pendapatan perusahaan yang melemah, terutama pada perusahaan di sektor komoditas. Selain turunnya permintaan akibat pelemahan ekonomi global, pendapatan perusahaan pertambangan juga tertekan akibat tren harga yang landai dan tingkat suplai yang tinggi, seperti pada komoditas CPO. Di saat yang sama, kapasitas pembayaran kembali utang korporasi Indonesia juga makin terancam jika porsi utang berdenominasi valas lebih besar dan perlindungan terhadap risiko kurs (hedging) tidak memadai. “Pinjaman korporasi berdenominasi valas tercatat mencapai 18% dari total pinjaman perbankan per Mei 2019 lalu,” tulis Moody’s. Menanggapi peringatan Moody’s itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani sepakat agar perusahaan-perusahaan di Indonesia meningkatkan kehati-hatian. “Perusahaan harus betul-betul melihat dinamika lingkungan di mana mereka beroperasi. Di tengah kondisi ekonomi global dan regional saat ini, apakah kegiatan korporasi mereka akan menghasilkan arus pendapatan yang diharapkan,” tutur Menkeu, Selasa (1/10). Ajukan Chapter 15 of US Bankcruptcy Law di New York Enam entitas Duniatex Group dan pemiliknya Sumitro meminta perlindungan hukum hukum dengan mengajukan permohonan Chapter 15 of US Bankcruptcy Law di Pengadilan Niaga New York Selatan. Chapter 15 of US Bankcruptcy Law yang berisi soal integrasi perkara kepailitan lintas negara (cross border insolvency) memberikan peluang agar debitur tak menjalani perkara kepailitan yang tumpang tindih. Sebab kini enam entitas Duniatex Group dan Sumitro tengah menjalani perkara Penundaan Kewajiban PEmbayaran Utang (PKPU) di Pengadilan Niaga Semarang. “Kami bukan mengajukan
bankruptcy law, namun
filling for Chapter 15. Artinya kami meminta perlindungan dan pengakuan atas proses PKPU (Penundaan Kewajiban dan Pembayaran Utang) yang terjadi di Indonesia,” kata Kuasa Hukum Duniatex Aji Wijaya dari Kantor Hukum Aji Wijaya & Co kepada Kontan.co.id, Kamis (10/10). Sementara Rabu (9/10) Debtwire melaporkan, dari dokumen yang diserahkan Duniatex ke Majelis Hakim Pengadilan Niaga New York Selatan, Geoffrey Simms, CEO AJCapital Advisory yang merupakan konsultan keuangan Duniatex Group menjelaskan pengajuan Chapter 15 tersebut juga dimaksudkan untuk mencegah agar para kreditur Duniatex yang berasal dari Indonesia tak mengajukan perkara kepailitan. Alasannya, jika perkara di luar negeri dikabulkan maka Duniatex akan menyandang status pailit sehingga akan mengganggu proses PKPU yang terjadi di Indonesia. “Proposal perdamaian yang tengah disusun dalam proses PKPU di Indonesia kami ingin agar menghindari kepailitan, menjamin tidak ada PHK, dan mengoptimalkan nilai bagi seluruh pemangku kebijakan,” tulis Simms. Atas permohonan ini, Pada Jumat (11/10) Pengadilan Niaga New York Selatan mengabulkan permohonan tersebut. Dengan perlindungan ini, para kreditur Duniatex yang ada di Amerika Serikat tak bisa mengajukan proses litigasi tentang kepailitan. “Jumat lalu, Majelis Hakim Pengadilan New York sudah memutuskan mengabulkan permohonan perlindungan hukum dengan memberikan perlindungan sementara atau bahasanya
provisional relief kepada Duniatex,” kata Fransiscus Alip, Direktur AJCapital Advisory yang menjadi konsultan keuangan Duniatex saat ditemui Kontan.co.id, Minggu (13/10) di Jakarta. Selain di Amerika Serikat, permohonan perlindungan hukum juga diajukan Duniatex di Pengadilan Singapura pada 9 Oktober 2019 lalu. “Selain dari domain hukum, alasan komersial mengapa kami meminta perlindungan karena 30% bisnis Duniatex berorientasi ekspor. Perlindungan hukum diperlukan agar tidak ada sita terhadap aset, agar kami juga masih bisa beroperasi dengan baik,” kata Alip. Tawarkan skema PKPU Pasca mendapat perlindungan hukum di AS, kini Duniatex fokus untuk menyusun proposal perdamaian. Duniatex Group mempertimbangkan untuk menggelar aksi
initial public offering (IPO) sebagai bagian dari skema restrukturisasi dengan mengonversi utang-utangnya menjadi saham. Namun, bagi kreditur opsi ini tak menarik. Dari laporan
Debtwire mengutip dokumen yang diserahkan Duniatex ke Pengadilan Niaga New York Selatan, perusahaan tekstil asal Solo, Jawa Tengah ini diperkirakan tak bisa memenuhi kebutuhan dananya (
cash shortfall) untuk membayar tagihan yang akan jatuh tempo hingga akhir tahun. Dari dokumen tersebut, Duniatex menyatakan pihaknya membutuhkan dana senilai US$ 273,82 juta pada September 2019 untuk membayar utang. Sedangkan hingga akhir Desember 2019 nilainya mencapai US$ 494,65 juta.
Alasan ini pula yang dijelaskan Fransiscus Alip, Direktur AJCapital Advisory yang jadi latar belakang munculnya opsi melantai di bursa. Alasannya, Duniatex memang butuh suntikan modal segar. “Semua opsi kita eksplorasi, termasuk konversi utang menjadi saham untuk menurunkan nilai utang, berarti kami mesti menggelar IPO, enam entitas misalnya menjadi satu perusahaan, ada holding kita bisa IPO. Sebagian utang yang dikonversi bisa keluar di IPO,” papar Fransiscus Alip, Direktur AJCapital Advisory yang jadi konsultan keuangan Duniatex saat ditemui Kontan.co.id, Minggu (13/10) di Jakarta. Sejumlah opsi lain yang mengemuka menurut Alip misalnya, Duniatex bisa menjual aset non produktif untuk membayar sebagian utangnya, meminta keringanan bunga, hingga memperpanjang tenggat kredit. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi