Siapa yang menyangka lilin bisa mencetak omzet hingga miliaran rupiah? Randiawan Saputra telah membuktikan alat penerangan yang sederhana itu punya nilai bisnis yang menggiurkan. Ia sukses menggaet nilai penjualan sembilan digit dalam waktu tiga tahun.“Dan kau lilin-lilin kecil, sanggupkah kau mengganti, sanggupkah kau memberi seberkas cahaya...,” itulah sepotong lirik lagu Lilin-lilin Kecil yang dipopulerkan mendiang Chrisye. Bagi Randiawan Saputra, lirik lagu itu tampaknya punya makna lain. Dari lilin yang kecil, dia tak hanya mendapatkan seberkas cahaya, tapi juga memperoleh jalan terang kesuksesan. Berkat batang demi batang lilin, Randiawan mampu menghasilkan uang hingga miliaran rupiah. Pria muda kelahiran Semarang, Jawa Tengah, 18 April 1986 ini sukses merintis bisnis sebagai produsen lilin. Dalam sebulan, Randiawan melalui bendera usaha CV Anugrah Jaya mampu menjual rata-rata 6.000 dus lilin seharga Rp 210.000 per dus. Sebagian besar lilin Randiawan terjual di sekitar Pulau Jawa.Selain menjual lilin untuk penerangan, Randiawan pun memproduksi lilin untuk kebutuhan peribadatan dan lilin dekoratif. “Kami juga melakukan inovasi dengan memproduksi lilin anti nyamuk dan lilin aromaterapi,” ujar dia.Selain dari penjualan lilin, Randiawan juga mendapatkan penghasilan dari menjual mesin pencetak lilin kreasinya. Dalam sebulan dia bisa menjual sekitar delapan unit mesin dengan harga Rp 8,5 juta per unit. Siapa sangka, penghasilan Randiawan yang terbilang ciamik itu diperoleh dalam waktu yang tidak lama. “Saya memulai usaha pembuatan lilin sekitar tahun 2010, modal awalnya sekitar Rp 20 juta,” ujar suami dari Dini Wahyusari ini. Randiawan bercerita, sebelum memutuskan berbisnis lilin, dia bersama ayahnya adalah distributor produk-produk rumah tangga. Awalnya Randiawan sekeluarga tinggal di Jakarta. “Ayah sebagai distributor dan setiap pulang kuliah saya ikut bantu,” kenangnya. Namun, karena sesuatu hal, usaha sang ayah tutup. Tahun 2007, orang tua dan dua adik Randiawan pindah ke Bandung, Jawa Barat. Sementara Randiawan tetap tinggal di Jakarta untuk melanjutkan kuliah di Jurusan Desain Grafis Universitas Persada Indonesia YAI, Salemba, Jakarta.Di Bandung, sang ayah kembali membuka usaha sebagai distributor aneka produk. Tahun 2009, Randiawan diminta ayahnya menyusul ke Kota Kembang untuk membantu menjalankan bisnis. “Saya sendiri memang lebih tertarik bekerja. Jadi, ketika masih semester lima saya putuskan berhenti kuliah,” kata anak pertama dari tiga bersaudara ini. Jadi distributor lilinDi perusahaan ayahnya, Randiawan bertugas sebagai pemasar. Salah satu produk yang dipasarkan adalah lilin. “Penjualan lilin ternyata cukup bagus, saya sudah memiliki pelanggan tetap,” kenangnya. Sayang, produsen lilin yang biasa memasok barang ke Randiawan harus gulung tikar. Randiawan pun mau tidak mau berhenti memasarkan lilin ke pelanggannya. Namun ternyata banyak pelanggan yang menanyakan produk lilin ke Randiawan. “Dari situ, saya tergelitik untuk memproduksi lilin,” kata dia. Karena tidak ada pengalaman membuat lilin, dengan bermodal informasi dari situs internet, Randiawan mencoba membuat lilin sendiri dengan mesin sederhana yang ia rancang. Mesin pencetak itu dirakit setelah mempelajari mesin pencetak lilin yang ada di pasar. “Harga mesin pencetak lilin yang ada saat itu sekitar Rp 30 juta hingga Rp 40 juta per unit, cukup mahal bagi saya. Jadi saya mencoba merakit mesin sendiri,” tutur dia.Randiawan pun mulai memproduksi lilin dibantu sepuluh orang karyawan. “Pemasaran awalnya hanya di pelanggan-pelanggan sebelumnya. Omzetnya baru sekitar Rp 10 juta hingga Rp 20 juta per bulan,” ujar Randiawan, yang akhirnya dipercaya sang ayah untuk mengelola Anugrah Jaya.Seiring waktu, lilin buatan Randiawan yang dilabeli Dua Beruang ini mulai dikenal di kawasan Jawa Barat. Hingga akhirnya, Randiawan memiliki banyak distributor di enam kota di Jawa dengan jangkauan pemasaran di seluruh Indonesia. “Anugrah Jaya yang tadinya sebagai perusahaan distributor aneka produk, akhirnya fokus pada produksi lilin,” katanya.Jumlah karyawan lalu bertambah hingga menjadi 30 orang. Karena jumlah produksi dan permintaan meningkat, Randiawan pun menambah armada untuk memudahkan penyaluran barang. Hingga saat ini Randiawan sudah memiliki lima mobil boks. Perjalanan bisnis Randiawan ternyata tidak lepas dari kasus penipuan. “Awalnya, satu–dua pengiriman pembayaran lancar. Namun pada pengiriman ketiga, setelah barang dikirim ke gudang, barang dan pembelinya menghilang tanpa pembayaran,” kata Randiawan, yang mengaku sudah ditipu pembeli hingga tiga kali, dengan nilai ratusan juta rupiah.Untuk mengantisipasi penipuan, sejak setahun terakhir Randiawan menerapkan sistem deposit bagi distributornya. “Ya semacam uang jaminan, biar mereka tidak kabur,” katanya. Cara itu terbilang ampuh untuk menekan angka penipuan. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Menyulut omzet miliaran rupiah dengan lilin
Siapa yang menyangka lilin bisa mencetak omzet hingga miliaran rupiah? Randiawan Saputra telah membuktikan alat penerangan yang sederhana itu punya nilai bisnis yang menggiurkan. Ia sukses menggaet nilai penjualan sembilan digit dalam waktu tiga tahun.“Dan kau lilin-lilin kecil, sanggupkah kau mengganti, sanggupkah kau memberi seberkas cahaya...,” itulah sepotong lirik lagu Lilin-lilin Kecil yang dipopulerkan mendiang Chrisye. Bagi Randiawan Saputra, lirik lagu itu tampaknya punya makna lain. Dari lilin yang kecil, dia tak hanya mendapatkan seberkas cahaya, tapi juga memperoleh jalan terang kesuksesan. Berkat batang demi batang lilin, Randiawan mampu menghasilkan uang hingga miliaran rupiah. Pria muda kelahiran Semarang, Jawa Tengah, 18 April 1986 ini sukses merintis bisnis sebagai produsen lilin. Dalam sebulan, Randiawan melalui bendera usaha CV Anugrah Jaya mampu menjual rata-rata 6.000 dus lilin seharga Rp 210.000 per dus. Sebagian besar lilin Randiawan terjual di sekitar Pulau Jawa.Selain menjual lilin untuk penerangan, Randiawan pun memproduksi lilin untuk kebutuhan peribadatan dan lilin dekoratif. “Kami juga melakukan inovasi dengan memproduksi lilin anti nyamuk dan lilin aromaterapi,” ujar dia.Selain dari penjualan lilin, Randiawan juga mendapatkan penghasilan dari menjual mesin pencetak lilin kreasinya. Dalam sebulan dia bisa menjual sekitar delapan unit mesin dengan harga Rp 8,5 juta per unit. Siapa sangka, penghasilan Randiawan yang terbilang ciamik itu diperoleh dalam waktu yang tidak lama. “Saya memulai usaha pembuatan lilin sekitar tahun 2010, modal awalnya sekitar Rp 20 juta,” ujar suami dari Dini Wahyusari ini. Randiawan bercerita, sebelum memutuskan berbisnis lilin, dia bersama ayahnya adalah distributor produk-produk rumah tangga. Awalnya Randiawan sekeluarga tinggal di Jakarta. “Ayah sebagai distributor dan setiap pulang kuliah saya ikut bantu,” kenangnya. Namun, karena sesuatu hal, usaha sang ayah tutup. Tahun 2007, orang tua dan dua adik Randiawan pindah ke Bandung, Jawa Barat. Sementara Randiawan tetap tinggal di Jakarta untuk melanjutkan kuliah di Jurusan Desain Grafis Universitas Persada Indonesia YAI, Salemba, Jakarta.Di Bandung, sang ayah kembali membuka usaha sebagai distributor aneka produk. Tahun 2009, Randiawan diminta ayahnya menyusul ke Kota Kembang untuk membantu menjalankan bisnis. “Saya sendiri memang lebih tertarik bekerja. Jadi, ketika masih semester lima saya putuskan berhenti kuliah,” kata anak pertama dari tiga bersaudara ini. Jadi distributor lilinDi perusahaan ayahnya, Randiawan bertugas sebagai pemasar. Salah satu produk yang dipasarkan adalah lilin. “Penjualan lilin ternyata cukup bagus, saya sudah memiliki pelanggan tetap,” kenangnya. Sayang, produsen lilin yang biasa memasok barang ke Randiawan harus gulung tikar. Randiawan pun mau tidak mau berhenti memasarkan lilin ke pelanggannya. Namun ternyata banyak pelanggan yang menanyakan produk lilin ke Randiawan. “Dari situ, saya tergelitik untuk memproduksi lilin,” kata dia. Karena tidak ada pengalaman membuat lilin, dengan bermodal informasi dari situs internet, Randiawan mencoba membuat lilin sendiri dengan mesin sederhana yang ia rancang. Mesin pencetak itu dirakit setelah mempelajari mesin pencetak lilin yang ada di pasar. “Harga mesin pencetak lilin yang ada saat itu sekitar Rp 30 juta hingga Rp 40 juta per unit, cukup mahal bagi saya. Jadi saya mencoba merakit mesin sendiri,” tutur dia.Randiawan pun mulai memproduksi lilin dibantu sepuluh orang karyawan. “Pemasaran awalnya hanya di pelanggan-pelanggan sebelumnya. Omzetnya baru sekitar Rp 10 juta hingga Rp 20 juta per bulan,” ujar Randiawan, yang akhirnya dipercaya sang ayah untuk mengelola Anugrah Jaya.Seiring waktu, lilin buatan Randiawan yang dilabeli Dua Beruang ini mulai dikenal di kawasan Jawa Barat. Hingga akhirnya, Randiawan memiliki banyak distributor di enam kota di Jawa dengan jangkauan pemasaran di seluruh Indonesia. “Anugrah Jaya yang tadinya sebagai perusahaan distributor aneka produk, akhirnya fokus pada produksi lilin,” katanya.Jumlah karyawan lalu bertambah hingga menjadi 30 orang. Karena jumlah produksi dan permintaan meningkat, Randiawan pun menambah armada untuk memudahkan penyaluran barang. Hingga saat ini Randiawan sudah memiliki lima mobil boks. Perjalanan bisnis Randiawan ternyata tidak lepas dari kasus penipuan. “Awalnya, satu–dua pengiriman pembayaran lancar. Namun pada pengiriman ketiga, setelah barang dikirim ke gudang, barang dan pembelinya menghilang tanpa pembayaran,” kata Randiawan, yang mengaku sudah ditipu pembeli hingga tiga kali, dengan nilai ratusan juta rupiah.Untuk mengantisipasi penipuan, sejak setahun terakhir Randiawan menerapkan sistem deposit bagi distributornya. “Ya semacam uang jaminan, biar mereka tidak kabur,” katanya. Cara itu terbilang ampuh untuk menekan angka penipuan. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News