KONTAN.CO.ID - Sudah sejak lama, Jepara menjadi pusat industri furnitur atau pernak-pernik dari kayu. Banyaknya, industri mebel yang berpusat disana menghasilkan limbah kayu yang cukup melimpah. Limbah yang terdiri dari potongan kayu tak terpakai ini ternyata masih bisa disulap menjadi barang bernilai tinggi. Berbagai potongan kayu tersebut disusun dengan apik plus dengan sentuhan artistik hingga bisa menjadi pelapis dinding, menggantikan
wallpaper. Selain hunian, pelapis dinding ini juga sering dipakai untuk restoran atau perkantoran. Susunan kayu yang biasa disebut dengan
wallcalding ini sedang naik daun. Pasarnya tidak hanya di dalam tapi juga luar negeri. Maklum saja, selain mempunyai nilai keindahan dan seni, produk ini tergolong produk daur ulang, yang selalu nampak menarik dimata pasar internasional.
Zain Noor, pemilik Furni Leather asal Jepara, Jawa Tengah menilai, popularitas produk ini sudah mulai terasa sejak setahun belakangan dan pasarnya pun semakin meningkat. Pemasarannya tak hanya di Bali dan sekitar Jepara, melainkan sudah merambah ke Australia, Belanda dan sejumlah negara di Eropa. Sebulan, Zain bisa menggarap 15-20 unit wallcalding berukuran 2,4x1,9 m2). Harganya dibanderol sekitar Rp 350.000-Rp 450.000 per m2. Sayang, dia enggan mengungkapkan keuntungan yang dikantonginya. Zain mulai memproduksi
wallcalding sejak 1,5 tahun lalu. Asal tahu saja, selain membuat susunan kayu limbah ini, dia juga membuat beragam dekorasi dan furnitur dari bahan limbah kayu dan limbah kulit sejak tahun 2007. Perajin lainnya adalah Teguh Arifyanto Hariadi, pemilik Jawa Furniture, asal Jepara, Jawa Tengah. Sama seperti Zain, dia melihat ramainya permintaan
woodcalding ini sudah berlangsung sejak tiga tahun lalu. "Setahun terakhir makin ramai saja," ujar dia. Awalnya, peminatnya masih terbatas para konsumen lokal seperti Bali dan sekitar Jepara. Tapi, kini sudah meluas hingga Jakarta. Awal tahun lalu pun, Teguh menjajal mengirimkan sekitar tujuh kontainer atau sekitar 10.000 m2
wallcalding ke Jerman. "Saya bersama rekan juga masih melakukan tes pasar dan melihat model mana yang banyak digemari konsumen," katanya. Susunan kayu ini, memang dapat dibuat sesuai dengan bahan baku yang tersedia. Misalnya, menggunakan bahan baku atau material kayu yang ukurannya besar atau kotak-kotak kecil sesuai limbah yang ada. Dalam sebulan, Teguh bisa menjual lebih dari 10 m2
wallcalding. Harganya pun dipatok mulai Rp 300.000 sampai Rp 450.000 per m2 sesuai dengan tingkat kerumitan. Teguh menggeluti bisnis tersebut sejak setahun lalu. Saat dia mulai melihat potensi besar pasar bisnis limbah kayu ini. Pemain masih sedikit, potensi usaha wallcalding terbuka lebar Seiring dengan gencarnya kampanye
go green, produk-produk ramah lingkungan kian dicari dan digemari. Tidak hanya di Indonesia, bahkan konsumen dari luar negeri makin kencang berburu produk yang mendukung kelangsungan alam. Lantaran dibuat dari limbah industri furnitur, berupa potongan-potongan kayu, pasar
wallcalding kian jelas terbentuk. Teguh Arifyanto Hariadi, pemilik Jawa Furniture asal Jepara, Jawa Tengah menilai, tren produk limbah kayu bakal tetap populer selama beberapa tahun mendatang. "Ini karena sifatnya yang daur ulang, pasar luar negeri sangat menyukai barang seperti ini," katanya. Asal tahu saja, untuk pasokan bahan baku, Teguh menjalin kerjasama dengan pemain mebel di seputar Jepara. Pasokan bahan baku yang melimpah pun tidak membuatnya kesulitan untuk memenuhi pesanan. Proses pembuatan
wallcalding yang sederhana, membuat Teguh tidak banyak menghadapi kendala. Hanya saja, saat proses pengeleman butuh ketelatenan dan kesabaran, sehingga susunannya dapat rapat sempurna. Biasanya, untuk tahapan ini dia banyak mempekerjakan ibu-ibu rumah tangga yang ada disekitar wilayahnya. "Mereka lebih telaten untuk ngelem karena ini bagian yang sulit," jelasnya. Meski sudah mulai populer didalam dan luar negeri, persaingan dibisnis ini masih longgar. Artinya, jumlah pemainnya masih terbatas sehingga harga pun dapat dibanderol sesuai dengan hasil karya. Menurutnya, kebanyakan perajin di wilayah Jepara lebih suka memproduksi barang-barang yang besar dan pasarnya sudah ada sejak dulu seperti almari, tempat tidur, kursi, dan lainnya. Zain Noor, pemilik Furni Lether asal Jepara, Jawa Tengah pun berpendapat potensi bisnis
wallcalding masih akan bagus. Terutama, jika mengincar pasar internasional. Alasannya, produk daur ulang mendapatkan sambutan yang baik. Apalagi, produk ini dibuat dengan keahlian tangan dan tidak menggunakan unsur kimia.
Sama dengan Teguh, Zain juga menjalin kerjasama dengan pemain mebel yang berada di Jepara untuk memenuhi kebutuhan bahan baku saban bulannya. Dia banyak menggunakan potongan sisa kayu jati. Untuk tahap produksi, dia dibantu oleh tujuh orang karyawan. Karena masih dianggap sebagai produk sampingan, tidak banyak perajin di Jepara yang menekuni produk ini. "Mereka lebih mengincar barang-barang yang dikirim lewat kontainer, padahal
wallcalding pun pasarnya juga besar," tambahnya. Tak heran, Zain masih santai menjalankan bisnisnya. Media sosial seperti Facebook dan Instagram menjadi senjatanya untuk promosi serta menjaring konsumen. Dia pun mengaku banyak mendapatkan pesanan pelanggan dalam negeri dari media digital. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Johana K.