Meraba arah suku bunga acuan BI



Memasuki paruh kedua 2019 perekonomian global masih diliputi ketidakpastian. Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali memanas. Baku ancam pengenaan bea masuk yang tinggi saling bersahutan. Demikian pula, fenomena Brexit yang belum menemui titik terang perihal status Inggris di Uni Eropa.

Kesuraman ekonomi di tiga kawasan yang menjadi motor penggerak ekonomi dunia ini akan menurunkan volume perdagangan dunia dan memperlambat pertumbuhan ekonomi di sejumlah negara. Lembaga internasional sekelas International Monetary Fund (IMF) pun sudah merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2019.

Kinerja ekonomi global di atas berdampak langsung pada Indonesia. Di pasar barang, aliran ekspor akan tersendat sementara impor masih dibebani oleh minyak, bahan baku, dan barang modal. Dengan neraca jasa yang senantiasa bersaldo minus, defisit transaksi berjalan atau current acount deficit (CAD) diprediksi akan membesar di sekitar 3% dari produk domestik bruto (PDB).


Di pasar finansial, pelebaran CAD sejalan dengan kebutuhan repatriasi dividen dan pembayaran bunga utang luar negeri. Peningkatan ini rutin terjadi secara musiman pada semester kedua di setiap tahunnya. Konkretnya, ada peningkatan permintaan valuta asing (valas) dalam jumlah yang substansial.

Merespon berbagai kondisi di atas, Bank Indonesia (BI) menghadapi dilema apakah pro ke perekonomian domestik atau lebih condong berkonsentrasi pada antisipasi faktor global. Respon ke dalam negeri menghendaki BI memangkas suku bunga acuannya. Hal itu niscaya akan memberikan ruang gerak yang lebih leluasa bagi pelaku ekonomi.

Ekspektasi pemangkasan suku bunga acuan BI pada bulan ini sangat masuk akal. Sepanjang tahun lalu, BI sudah agresif melejitkan suku bunga acuan dengan akumulasi 175 basis poin (bps). Posisi suku bunga acuan yang berada di level 6% saat ini diklaim sudah "monoton" sejak November tahun lalu.

Faktor pendorong lainnya adalah harga minyak dunia berada dalam tren penurunan, sehingga sedikit mengurangi tekanan fiskal pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Lembaga pemeringkat global Standard and Poor's (S&P) pun baru saja menaikkan credit rating Indonesia yang pada gilirannya menekan biaya dana bagi pinjaman luar negeri pemerintah dan swasta.

Selain itu, beberapa negara bahkan sudah lebih dulu melonggarkan suku bunga acuannya. Bank sentral Australia bulan lalu telah memangkas suku bunga acuannya sebesar 25 bps. Begitu juga dengan bank sentral India yang memangkas suku bunga acuan untuk ketiga kalinya di tahun ini masing-masing sebesar 25 bps.

Seandainya momentum ini dimanfaatkan BI, penurunan suku bunga acuan memberikan ruang bagi pengusaha agar bisa berkompetisi, konsumsi rumah tangga terdongkrak, dan biaya produksi barang untuk tujuan ekspor lebih murah. Artinya, misi pertumbuhan ekonomi di tengah potensi pelemahan ekonomi global bisa dimitigasi.

Di sisi lain, BI tetap berhati-hati dan terus mencermati perkembangan terkini, meski sinyal pemangkasan suku bunga acuan sudah dikirim jauh hari sebelumnya. Dalam pasar keuangan global yang semakin terintegrasi, suku bunga yang berlaku di satu negara akan mendekati suku bunga negara lain, baik besaran maupun arah perubahannya.

Sinyal pemangkasan

Pokok persoalannya, BI tengah dihadapkan pada derajat ketidakpastian yang lebih besar. Rapat Dewan Gubernur BI bulan ini digelar pada 17-18 Juli mendahului pertemuan FOMC AS yang diselenggarakan pada 30-31 Juli. Sementara, Rapat Dewan Gubernur BI pada 21-22 Agustus juga mendahului pertemuan FOMC AS pada 17-18 September.

Artinya, BI harus mengambil keputusan dengan informasi yang minim. Situasi yang sedang dihadapi BI ini mirip dengan teori permainan (game theory). Sebagai negara terbuka dengan ekonomi berskala kecil, BI akan memperhitungkan semua kemungkinan strategi yang akan ditempuh oleh The Fed.

Jika pada Juli atau Agustus BI tetap menahan suku bunga acuannya, sedangkan AS memangkas suku bunga dampaknya akan positif. Akan tetapi, jika BI lebih dulu memangkas suku bunga sementara AS menahan suku bunganya, kekhawatiran semula atas pelarian modal ke luar negeri (capital outflow) dan fluktuasi nilai tukar bakal terjadi.

Dengan konfigurasi problematik di atas, kemungkinan besar BI akan menggunakan pendekatan naive sebagai rujukan. Kondisi terakhir dianggap sebagai posisi terbaik dari semua skenario yang ada dan prediksi ke depan diasumsikan tidak berbeda dengan kondisi saat ini. Konkretnya, menahan suku bunga acuan menjadi titik optimal.

Alhasil, dengan memilih opsi tetap menahan suku bunga acuan, misalnya, pasar keuangan domestik memiliki daya saing guna menarik arus modal asing masuk ke dalam negeri. Aliran dana asing yang masuk diharapkan bisa menutup CAD guna mengamankan stok cadangan internasional.

Lagi pula, aturan baru rasio intermediasi makroprudensial dan giro wajib minimum bagi industri perbankan berlaku per 1 Juli 2019. Jika pemotongan suku bunga acuan dilakukan bulan ini, tentu saja berpotensi overdosis. Likuiditas pasar keuangan akan dibanjiri dana asing dan domestik yang ujung-ujungnya mengundang praktik spekulasi.

Bukti empiris menunjukkan kebijakan makroprudensial efektif tatkala suku bunga acuan rendah atau tidak berubah (Rubio dan Yao, 2017). Dengan alur logika ini, BI memosisikan kebijakan makroprudensial sebagai moda penyeimbang bagi tujuan makroekonomi yang lebih luas, seperti stabilisasi dan distribusi.

Untuk itu, realisasi atas sinyal pemangkasan kebijakan suku bunga acuan yang sudah dipancarkan sebelumnya oleh BI agaknya semata-mata hanya persoalan waktu. Dalam pandangan BI, pemilihan momentum (timing) yang tepat sangat penting agar dampak pemangkasan suku bunga acuan bisa optimal.

Dalam skala yang lebih luas, BI tampaknya hendak mengedukasi semua pemangku kepentingan bahwa pemotongan suku bunga acuan tidak didasarkan pada reaksi sesaat atas fenomena yang terjadi melainkan terukur dalam alur skenario jangka menengah dan jangka panjang dalam mendukung kepentingan yang lebih besar.

Secara kelembagaan, BI juga ingin menegaskan sifat independensi dan profesionalisme dalam mengambil kebijakan. Sesuai dengan tugas utama BI, prioritas utama saat ini adalah stabilitas eksternal. Alhasil, ketegasan sikap BI ini niscaya bisa meredam dikotomi antara stabilisasi dan pertumbuhan, alih-alih menciptakan ketidakpastian baru. Bukan begitu BI?♦

Haryo Kuncoro Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi