Meracik fulus dalam kafe jamu modern



Jamu memang identik dengan minuman tradisional. Dahulu, jamu dijajakan dengan cara digendong oleh penjualnya. Ada juga gerai yang khusus menjajakan jamu di pinggir jalan.

Namun cara berjualan itu dianggap sudah tak sesuai lagi dengan perkembangan selera di masyarakat. Untuk melayani mereka yang gemar menyesap jamu, cara menjajakan pun berevolusi menjadi semacam kafe

Dengan konsep yang menarik, Anda bisa menyesap gurihnya bisnis yang menawarkan aneka racikan jamu ini. Tengok saja, Jamu Bukti Mentjos, sebuah warung jamu yang terletak di Jalan Salemba Tengah, Jakarta Pusat.


Setiap hari, kafe yang menawarkan berbagai varian jamu khas Jawa Tengah ini selalu ramai pengunjung. “Setiap sore hingga warung ini tutup, pengunjung selalu ramai,” kata Horatius Romuli, owner Jamu Bukti Mentjos. Pria yang akrab disapa Romuli ini merupakan generasi ketiga yang menjalankan bisnis jamu yang sudah dimulai sejak 1940-an di Solo.  Pada 1950-an, kafe jamu ini hijrah ke Jakarta, dibawa oleh kakek dan nenek Romuli.

Tak berbeda jauh, Made Ayu Aryani juga mencicipi manisnya usaha kafe jamu ini lewat Reina Herbal Cafe. Dia memulai bisnisnya sejak 2012. Kini, selain punya kafe di Solo, ia juga membuka booth di beberapa tempat di Yogyakarta.

Perempuan yang biasa dipanggil Ayu ini memang membidik anak muda sebagai pengunjung kafe. Dus, penggarapan interior dan branding pun ia lakukan secara serius agar lebih banyak generasi muda yang menyenangi jamu.

Agar pengunjung betah, ia memasang WiFi di kafenya. Dia juga menggaet komunitas anak muda dengan menyelenggarakan lomba yang berhubungan dengan jamu.

Ayu tak hanya menjual jamu di Reina Herbal Café. Ia juga menyajikan berbagai makanan dan minuman yang dicampur bahan-bahan herbal, seperti nasi goreng kunyit atau nasi bakar rempah. Adapun minuman di Reina Herbal ditawarkan seharga Rp 13.000–Rp 15.000 per gelas. Ia juga menjual serbuk jamu dengan harga berkisar Rp 6.000–Rp 15.000 per sachet. Perempuan berusia 30 tahun ini bilang, dalam sebulan ia bisa mengantongi pendapatan belasan juta rupiah.

Kesulitan mendapatkan gerai jamu yang nyaman juga mendorong Nova Dewi membuka gerai Suwe Ora Jamu, di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, akhir Februai 2013 lalu. Sejak kecil, perempuan asal Surabaya ini memang dibiasakan minum jamu oleh ibunya. “Ketika pindah ke Jakarta, saya tidak sempat meracik jamu sendiri, maka saya putuskan membuat kafe Suwe Ora Jamu ini,” tutur dia.

Sama seperti Ayu, selain untuk pecinta jamu, Nova juga ingin mengenalkan khasiat jamu untuk generasi muda. Menyesuaikan dengan target pasarnya, kafe Nova pun memiliki interior yang apik dan hangat. “Kami memberi sentuhan vintage supaya pengunjung merasa minum jamu di rumah sendiri,” ujar dia.

Selain jamu-jamu tradisional, Nova juga berkreasi memadukan minuman jamu dengan sayuran atau buah-buahan. Sebut saja, green tamarind yang merupakan paduan jus sawi dan kunyit asam. Lalu, dragon rosella, paduan buah naga dan teh rosella. “Ini merupakan bagian dari jamu modern yang disukai anak muda,” kata Ayu Safitri, pengelola Suwe Ora Jamu.

Dalam sehari, sekitar 30 orang menikmati seduhan jamu di gerai ini. Nova membanderol harga jamu mulai Rp 12.500 hingga Rp 35.000 per gelas. Selain jamu, Suwe Ora Jamu juga menyuguhkan berbagai makanan pendamping, seperti nasi bakar, nasi goreng, mi gendut dan lainnya. Dalam sebulan, gerai ini bisa mencatat omzet lebih dari Rp 50 juta.

Adapun Romuli mulai menjalankan usaha jamu sejak 1990-an. Lulusan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti ini mewarisi usaha keluarga sejak ayah dan ibunya meninggal. Saat itu, dia bilang, Jamu Bukti Mentjos hanya warung kecil.

Agar menarik lebih banyak pengunjung, ia pun merenovasi tempat usahanya menjadi lebih luas. Kafe Bukti Mentjos kini bisa menampung sekitar 50 orang dalam waktu bersamaan. Namun, tiap hari, ratusan pengunjung datang ke kafe ini untuk menikmati jamu di kafe atau dibawa pulang.

Ada lebih dari 50 varian jamu  dengan berbagai khasiat yang ditawarkan Bukti Mentjos. Menurut Romuli, yang membuat usaha jamunya bertahan lama adalah racikan jamu yang manjur berkhasiat. “Dulu nama kafe ini hanya Bukti karena orang-orang sudah merasakan bahwa jamu yang kami jual memang terbukti berkhasiat mengatasi berbagai penyakit,” ujar dia.

Ia menampik anggapan bahwa jamu kian ditinggalkan masyarakat karena dirasa kuno. Selama lebih dari 20 tahun menggeluti usaha jamu, ia bilang usahanya tak pernah sepi. Bahkan, pengunjung Bukti Mentjos juga sudah mencapai tiga generasi, sama seperti usia kafenya. “Kalau jamu memang mujarab mengobati penyakit, orang pasti akan terus mencari,” tegas dia.

Bahan lokal dan alami

Romuli menyajikan berbagai macam jamu seduh dengan harga mulai Rp 17.500 per gelas. Selain itu, ia menjual jamu dalam bentuk kemasan dengan harga Rp 5.500 hingga puluhan ribu rupiah per saset.

Pria kelahiran tahun 1959 ini mengaku bisa meraup omzet Rp 4 juta–Rp 5 juta per hari. Sebagai bisnis, kafe jenis ini cukup gurih. Tingkat Keuntungan ada di kisaran 30% - 50%. Anda tertarik?

Memulai bisnis ini jelas membutuhkan pengetahuan tentang dunia jamu. Untuk menciptakan racikan jamu yang benar-benar nikmat dan manjur, memang bukan perkara mudah. Namun, pengetahuan tentang jamu bisa dipelajari.

Seringkali pengunjung menanyakan jamu yang cocok dengan keluhan yang dialaminya. “Misalnya, mereka sedang masuk angin, pegel-pegel, akan bertanya jamu apa yang sebaiknya diminum,” kata Nova. Berbekal pengalamannya, Nova membagi informasi soal jamu kepada pelanggannya.

Romuli menjelaskan, tiap usaha jamu biasanya memiliki buku pintar yang berisi semacam resep racikan jamu. Demikian pula di Bukti Mentjos. Jadi, dia tinggal meneruskan dengan menambah beberapa racikan untuk mengikuti perkembangan zaman.

Ayu menuturkan, orang di balik racikan jamu di Reina Herbal Café adalah ibunya sendiri, yang sudah 30 tahun berkecimpung di bagian Research & Development sebuah perusahaan jamu nasional. Sang ibu meracik 70% jenis jamu yang disajikan di kafenya. Lalu 30% lagi, ia beli dari pemasok jamu di Jawa Tengah.

Nova juga membeli sejumlah racikan jamu dari perusahaan Jamu Iboe di Surabaya, langganannya semasa kecil. Adapun jamu-jamu seperti beras kencur, kunyit asem dan wedang jahe dibuatnya sendiri.

Modal yang dibutuhkan untuk memulai usaha ini beragam. Selain tergantung pada pilihan menu dan lokasi kafe, besar modal juga sangat tergantung pada konsep eksterior dan interior yang ingin Anda tampilkan untuk gerai.

Menurut perhitungan Romuli, modal untuk membuka gerai jamu bisa berkisar Rp 500 juta–Rp 1 miliar. Ini bergantung pada lokasi usaha. “Modal bisa bertahap dikeluarkan, apabila pembangunan gerai dan renovasi dilakukan secara bertahap,” ujar Romuli.

Adapun Ayu mengaku merogoh modal di atas Rp 100 juta untuk merintis bisnis kafe jamu ini. Ayu menggunakan modalnya untuk menyewa dan merenovasi ruko. “Gerai saya renovasi dengan menonjolkan unsur nature agar sejalan dengan konsep yang saya tawarkan,” jelas dia.

Sesuai dengan sajian yang ditampilkan, gaya eksterior dan interior yang ditampilkan benar-benar segar dan hidup. Ayu meletakkan banyak pot berbagai tanaman rempah. Untuk eksterior, ia juga membuat vertical garden agar menarik perhatian pengunjung.

Karena tempat usaha sudah dimiliki sendiri, begitu juga dengan perabot, Nova hanya mengeluarkan modal Rp 150 juta. “Dana ini untuk membuat meja bar dan peralatan meracik jamu,” jelas dia. Nova menargetkan modalnya kembali dalam dua tahun.

Pengolahan berbagai racikan untuk kafe jamu ini dilakukan sendiri oleh masing-masing pengusaha di dapur mereka. Produksi jamu tidak dilakukan setiap hari. “Kami racik untuk jenis jamu yang sudah habis saja,” kata Romuli.

Dia bilang, semua bahan yang digunakan merupakan bahan alami dan bahan lokal. Dalam sebulan, ia menyetok puluhan kilogram bahan baku yang ia beli dari pemasok di Solo, Jawa Tengah. Bahan yang dipakai antara lain cengkeh, kunyit, kencur, kumis kucing, merica, dan kedaung.

Romuli bilang, sebagian besar bahan dikirimkan dalam bentuk mentah oleh pemasok. Di dapur, ia sortir dulu untuk menyingkirkan bahan yang tak layak olah. Setelah itu, bahan mentah dikeringkan di bawah sinar matahari. Namun, bila hujan turun, proses pengeringan bisa dilakukan dengan oven khusus bahan jamu.

Setelah itu, bahan baku tadi diproses menggunakan mesin khusus jamu. Prosesnya terdiri dari penggilingan dan pengayakan. Romuli menuturkan, mesin tersebut bisa dibeli dengan harga puluhan juta rupiah. “Prosesnya sederhana dan alatnya tidak terlalu canggih karena kami masih industri rumah tangga,” ucap dia.

Setelah diproduksi di dapur, bahan tersebut dikemas atau disimpan di kafe untuk diseduh jika ada yang memesan. Jadi, di gerai, karyawan tinggal menyajikan. Sampai sekarang, Romuli terkadang masih turun tangan untuk bagian produksi, termasuk memasok bahan dan mengukur takaran bahan baku. Tujuan utama ialah menjaga konsistensi ramuan.

Agar bisa dikonsumsi semua kalangan, Romuli menawarkan tiga pilihan rasa untuk tiap jenis jamu, yakni pahit, sedang, dan manis. “Banyak yang tidak suka jamu karena pahit, jadi kami siasati dengan memberikan madu, jeruk nipis, dan sedikit garam,” ujarnya.

Romuli dan Ayu bilang, pembelian bahan baku tidak dilakukan setiap minggu. Bahan baku dikirimkan jika ada bahan yang sudah habis. Hal ini menjaga agar bahan yang digunakan masih segar sehingga kandungan di dalamnya pun tak habis.

Tertarik buka kafe jamu?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi