Meramu properti dan reksadana



JAKARTA. Investasi itu harus dilakukan di beberapa instrumen yang beragam. Prinsip diversifikasi itulah yang juga selalu dipegang teguh Presiden Direktur PT Sucorinvest Central Gani, Ratih D. Item. Sebagai bos di perusahaan investasi, ia tahu benar prinsip investasi ini.

Ratih pun mengembangbiakkan duit di beberapa instrumen yang memiliki profil risiko berbeda. "Kita harus mengatur setiap instrumen agar bisa memenuhi kebutuhan jangka pendek, menengah, dan panjang," kata ibu empat anak ini.

Ratih memilih beberapa instrumen sebagai keranjang investasi. Properti menjadi instrumen investasi utama. Sejarah investasi properti Ratih bermula di sekitar tahun 1980-an. Kala itu, Ratih masih bekerja di Bank Niaga, Surabaya dan baru saja menikah.


Seperti lazimnya keluarga muda, Ratih beserta suaminya juga ingin memiliki rumah sendiri. "Orangtua sebenarnya mau kasih, tapi saya tentu ingin beli dari hasil sendiri," jelas Ratih. Akhirnya, Ratih beserta suami membeli rumah dengan cara dicicil.

Investasi Ratih di bidang properti tidak berhenti sampai di situ. Apalagi, Ratih kemudian memutuskan untuk hijrah dari Surabaya ke Jakarta. Imbasnya, Ratih harus membeli properti baru di Jakarta untuk kebutuhan tempat tinggalnya.

Seiring menanjaknya karir profesional, Ratih kemudian banyak membeli properti mulai dari rumah, apartemen maupun tanah. "Itu kebanyakan digunakan oleh saya maupun anak-anak saya," tutur Ratih.

Saat ini, porsi investasi terbesar Ratih tertanam di sektor properti. Pertimbangan utama Ratih dalam membeli properti adalah lokasi. Faktor ini paling menentukan nilai jual properti di masa datang. Kendati mayoritas menaruh investasi di bidang ini, Ratih tidak berniat menjual propertinya dalam waktu dekat. "Ini untuk investasi jangka panjang," jelas Ratih.

Reksadana

Selain di properti, Ratih juga menempatkan investasi di instrumen reksadana campuran. Ratih mulai membeli reksadana pada awal tahun 2000-an. "Setelah krisis, pasar modal kan booming," ungkap Ratih.

Ia menaruh dana di reksadana campuran bukan tanpa alasan. Instrumen ini memiliki profil risiko yang moderat karena berisi obligasi dan saham. Ratih memilih jenis reksadana ini karena ia merasa sesuai dengan karakternya yang memang tidak terlalu agresif dalam berinvestasi.

Ratih juga melihat imbal hasil (return) reksadana campuran sangat menarik. Ia mencontohkan, reksadana campuran yang dikeluarkan Sucorinvest saja memberikan return rata-rata hingga 34% dalam empat tahun terakhir.

Kendati begitu, investasi di reksadana campuran itu tidak selamanya untung. Ratih pernah mengalami masa suram investasi reksadana pada tahun 2004 silam. Kala itu, muncul aturan penyesuaian nilai wajar alias mark to market reksadana.

Ketika pertama kali diterapkan, aturan ini menyebabkan nilai aktiva bersih (NAB) reksadana turun dalam. "Bayangkan saja, obligasi PLN yang risikonya minim saja turun hingga 70%," terang Ratih.

Kala itu, banyak investor yang kapok berinvestasi di reksadana. Ratih punya pemikiran lain. Ia meyakini kondisi suram itu hanya bersifat sementara akibat penyesuaian aturan itu.

Keyakinan Ratih diperkuat oleh kondisi fundamental emiten-emiten kala itu yang relatif kuat. Kondisi makro Indonesia juga mulai pulih selepas krisis tahun 1998. "Keyakinan saya terbukti karena beberapa bulan setelah itu reksadana kembali naik," seru Ratih.

Dari pengalaman itu, Ratih menyarankan para investor untuk lebih sabar dalam berinvestasi di reksadana campuran. Idealnya, reksadana campuran itu ditahan selama 3-5 tahun agar memberikan return yang maksimal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati