Pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) mendesak. Di tengah defisit bahan bakar fosil, Indonesia membutuhkan sumber bahan bakar nabati untuk menutupi kekurangan. Kita punya sumber yang melimpah, yakni biodiesel dari minyak sawit. Namun pemanfaatannya belum optimal. Meski pemerintah sudah mewajibkan penggunaan sebagai campuran solar, sebesar 20%, namun realisasinya masih rendah. Program pencampuran itu baru menjangkau sektor transportasi untuk pelayanan publik. Sedangkan sektor transportasi non layanan publik dan lainnya masih belum. Padahal, biodiesel banyak manfaat. Pertama, bisa mengurangi impor solar. Dari Agustus 2015 hingga April 2018, total solar yang digantikan biodiesel mencapai 5,88 juta kiloliter dan berkontribusi menghemat devisa sebesar Rp 30 triliun (BPDP Sawit, 2018).
Kedua, penggunaan biodiesel memberikan insentif pengembangan industri hilir minyak sawit, meningkatkan nilai tambah, dan menaikan harga beli buah sawit. Ini berdampak terhadap pengembangan ekonomi industri sawit secara keseluruhan. Ketiga, biodiesel dapat menekan laju emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh penggunaan energi fosil. Berdasarkan kajian Badan Pengelolaan Dana Perkebunan (BPDP) Sawit pada 2018, penggunaan biodiesel mengurangi 8,79 juta ton emisi karbon (CO2e). Meski demikian, hasil itu masih diperdebatkan karena minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel juga penyumbang terbesar emisi saat ini. Di balik manfaat itu, ada masalah tata kelola yang belum ajek. Kendala utama adalah harga biodiesel yang jauh lebih tinggi dibandingkan harga solar. Misalnya, pada Juli 2018, harga biodiesel Rp 7.949 per liter, sedangkan harga solar hanya Rp 5.150 per liter. Supaya ekonomis, pemerintah memberikan insentif berupa subsidi terhadap selisih harga kepada produsen biodiesel, programnya sudah berjalan sejak 2008 hingga kini. Namun insentif itu terbatas untuk transportasi publik. Sumber dananya saat ini berasal dari dana perkebunan sawit (CPO Fund) yang dikelola BPDP Sawit, sebuah badan layanan umum yang berada di Kementerian Keuangan. Meski demikian, pengelolaan program biodiesel masih banyak masala. Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2018 menemukan ada potensi kerugian negara mencapai Rp 139,6 miliar akibat kesalahan penetapan harga, jumlah insentif yang dibayarkan tak sesuai dengan jumlah biodiesel yang disalurkan, dan kelebihan pembayaran ongkos angkut. Selain BPK, sengkarut tata kelola biodiesel juga disampaikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kajian KPK pada tahun 2016 menemukan penggunaan dana perkebunan sawit untuk mendukung program insentif biodiesel tidak ada dasar hukumnya. Selain itu, KPK juga menemukan masalah rendahnya akuntabilitas dan transparansi dalam penggunaan dana tersebut. Momentum perbaikan Tata kelola yang tak ajek diperparah stigma negatif biodiesel bukanlah sumber EBT yang dapat menurunkan emisi gas rumah kaca. Isu itu dihembuskan banyak pihak, salah satunya Uni Eropa (UE). Mereka telah menghapuskan biodiesel minyak sawit sebagai sumber EBT untuk transportasi pada 2030, ini termaktub dalam Renewable Energy Directive (RED) II yang baru-baru ini dirilis. Alasannya, biodiesel merupakan pemicu terjadinya pengundulan hutan (deforestasi), menciptakan krisis pangan, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Meski pun pemerintah telah membantahnya, namun beberapa fakta mengindikasikan hal itu. Salah satunya diungkap dalam kajian Auriga pada 2018 yang menemukan sekitar 6,9 juta hektare kawasan hutan sudah dilepas untuk perkebunan sawit dan 3,4 juta hektare menerabas kawasan hutan secara ilegal. Untuk itu, pemerintah perlu mempercepat dan meningkatkan penggunaan biodiesel menghadapi tantangan. Pemerintah telah memutuskan untuk meningkatkan penggunaan biodiesel, tak sekedar untuk transportasi publik, juga menyasar sektor lain, seperti pertambangan, ketenagalistrikan, dan industri. Selain itu, pemerintah meningkatkan kadar pencampurannya dari 20% menjadi 30%. Langkah ini menyusul semakin lebarnya defisit neraca transaksi berjalan yang berimplikasi pada depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sehingga perlu mengurangi impor solar. Tantangan itu bukanlah hambatan untuk mengutamakan biodiesel sebagai sumber bahan bakar nabati dan solusi mengatasi defisit. Justru menjadi momentum yang tepat untuk memperbaiki tata kelolanya. Selayaknya pemerintah memastikan pasokan bahan baku biodiesel berasal dari perkebunan sawit yang tidak merusak hutan dan lingkungan. Caranya dengan membangun sistem penelusuran (traceability) bahan baku. Izin pengolahan biodiesel hanya diberikan kepada perusahaan yang memiliki bahan baku dari perkebunan sawit yang tidak merusak hutan dan lingkungan. Perlu instrumen sertifikasi keberlanjutan untuk memastikannya, yang terintegrasi dari kebun, pabrik kelapa sawit, dan pabrik pengolahan biodiesel. Minyak Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO) dapat menjadi sistem untuk memastikan hal itu. Sayangnya ISPO belum menjangkau sistem keberlanjutan pada industri biodiesel. Sepatutnya, pemerintah meningkatkan jangkauan ISPO sampai ke industri hilir sawit terutama industri biodiesel. Karena industri hilir jadi fokus pengembangan ekonomi sawit Indonesia. Ada pun dalam perbaikan tata kelola penyaluran biodiesel, pemerintah perlu menata ulang prosesnya supaya lebih akuntabel dan transparan. Perlu dibangun sistem verifikasi yang terintegrasi agar program insentif biodiesel tidak terjadi penyelewengan seperti temuan BPK di atas. Selayaknya semua proses itu di buka ke publik agar pengawasan dan pengendalian program lebih baik.
Pada tataran regulasi, temuan KPK perlu menjadi masukan. Banyak regulasi terkait biodiesel, mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan menteri teknis yang tidak harmonis. Implikasinya sangat luas terhadap upaya mendorong pengembangan biodiesel. Selayaknyalah semua regulasi itu dikaji lagi agar dasar hukumnya menjadi kuat. Pada akhirnya, Indonesia hanyalah satu dari segelintir negara di dunia ini yang memiliki kebun energi seperti minyak sawit. Itu berkah yang perlu disyukuri. Sudah sepatutnya, sumber kekayaan itu dikelola dengan baik untuk kepentingan nasional, salah satunya sebagai sumber ketahanan energi dan ekonomi.•
Wiko Saputra Peneliti Kebijakan Ekonomi Auriga Nusantara Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi