Merawat rupiah dalam jangka panjang



Belakangan ini, rupiah menjadi isu yang paling banyak diperbincangkan masyarakat, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Di Twitter, misalnya, beberapa tanda pagar (tagar) soal rupiah bermunculan. Tagar tentang keterpurukan mata uang garuda terbelah dua, ada yang mendukung pemerintah, ada pula yang mengkritik kekuasaan.

Kencangnya isu tersebut adalah buntut dari gejolak nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Rupiah sempat menembus level psikologis Rp 15.000 per dollar AS. Ini adalah posisi terburuk rupiah sejak krisis moneter pada tahun 1998 silam.

Maka tak heran apabila banyak pihak yang berteriak melihat ketidakberdayaan rupiah melawan dominasi dollar AS. Ibarat barang dagangan, maka rupiah merupakan barang yang harus terpampang di etalase terdepan. Dalam konteks perekonomian global, maka posisi rupiah sangat menentukan, strategis dan penting bagi Indonesia. Dia adalah bentuk kedaulatan ekonomi Indonesia.


Boleh jadi, kehancuran rupiah merupakan kehancuran perekonomian Indonesia, bahkan bisa lebih jauh dari itu. Ungkapan tersebut rasanya tak berlebihan. Sebab, kita punya pengalaman berharga soal kedaulatan rupiah.

Sejenak kita perlu bercermin dari masa lalu. Krisis moneter 1998 menjadi bukti paling sahih. Krisis moneter diikuti krisis politik dalam negeri. Ditandai kejatuhan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Selain Indonesia, ada beberapa negara Asia yang mengalami hal serupa, seperti Thailand dan Korea Selatan.

Pada 1998, rupiah anjlok hingga ratusan persen. Pendapatan per kapita Indonesia juga turun drastis. Perusahaan gulung tikar, pengangguran bermunculan dan protes di mana-mana, yang akhirnya berbuntut pada tuntutan reformasi. Presiden Soeharto pun lengser setelah berkuasa selama 32 tahun.

Setelah tergopoh-gopoh melalui krisis 1998, satu dekade kemudian atau tahun 2008, Indonesia kembali terhempas krisis. Kali ini, episentrum krisis berpusat di Amerika Serikat. Polanya pun berbeda, yakni bermula dari krisis produk derivatif dan menjalar ke pasar finansial global. Beruntung, Indonesia mampu melalui krisis tersebut.

Saat ini, apakah Indonesia mampu menghadapi ancaman krisis yang sudah lebih dulu menghantam Turki, Argentina dan Venezuela? Jawabannya, tentu Indonesia optimistis mampu melalui turbulensi ekonomi global. Apalagi, banyak kalangan menyebutkan, kondisi saat krisis ekonomi di tahun 1998 dan 2008 sangat berbeda dengan sekarang. Kala itu, rupiah hancur lebur bahkan anjlok hingga ratusan persen saat krisis 1998.

Sedangkan saat ini, depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sebesar 9% secara year-to-date (ytd), masih di bawah koreksi rupee India yang sebesar 11% (ytd) terhadap dollar AS. Atau bahkan jauh lebih rendah daripada kejatuhan lira Turki dan peso Argentina yang sudah anjlok puluhan persen.

Memang, saat ini sebagian perusahaan mulai menghitung ulang bisnisnya setelah melihat rupiah terseok-seok. Bahkan, perusahaan sekelas Pertamina pun siap merevisi asumsi nilai tukar rupiah dari posisi semula Rp 13.800 per dollar AS.

Untuk menjaga agar rupiah tidak jatuh lebih dalam lagi, pemerintah menerapkan sejumlah strategi. Misalnya, membatasi impor produk dengan menaikkan tarif PPh, menarik devisa hasil ekspor, kewajiban menggunakan konten lokal, hingga menunda proyek yang memiliki komponen impor cukup tinggi.

Ada kesan, berbagai kebijakan tersebut hanya obat kuat rupiah dalam jangka pendek. Padahal, rupiah perlu dirawat dan dijaga untuk jangka panjang. Oleh karena itu, Indonesia perlu memangkas utang dan membangun ekonomi berbasis ekspor yang kuat.•

Sandy Baskoro

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi