Tahun baru Imlek merupakan perayaan penting bagi orang Tionghoa. Perayaan ini dimulai dari hari pertama bulan pertama di penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh di tanggal kelima belas (saat bulan purnama). Perayaan ini dirayakan di daerah dengan populasi orang Tionghoa khususnya di sekitar China termasuk di Indonesia. Tahun 1873 orang Tionghoa asli dari China daratan banyak melakukan eksodus besar-besaran termasuk di Indonesia menyusul leluhur mereka yang telah tiba di Indonesia terlebih dahulu. Kemeriahan perayaan Imlek dalam sejarah Indonesia dibagi menjadi empat fase. Diawali dari fase Orde Lama, pertama-tama Imlek diundangkan secara sah sebagai salah satu hari raya di Indonesia melalui Penetapan Pemerintah no 2/UM/1946 tentang aturan hari raya. Pasal 4 penetapan tersebut menjelaskan tentang hari raya khusus untuk etnis Tionghoa, salah satunya Imlek. Pada masa Orde Lama sudah terjadi perubahan tentang ketentuan perihal Imlek. Perubahan tersebut tampak dalam Keputusan Presiden (Kepres) Republik Indonesia Nomor 24/1953 tentang Hari Libur Nasional.
Kepres tersebut ditandatangani Wakil Presiden Mohammad Hatta. Esensi dari Kepres tersebut dalam kaitannya dengan Imlek adalah meniadakan Imlek dari hari raya keagamaan, namun dalam paragraf ke empat dijelaskan terkait Hari Raya Imlek bahwa yang berkepentingan diberi kebebasan untuk merayakan imlek dan menjalankan peribadatan dengan memberitahukan kepada kepala kantor bersangkutan. Pergeseran regulasi tentang Hari Raya Imlek ini puncaknya terjadi pada Orde Baru. Melalui instruksi Presiden Nomor 14/1967 tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat China, pemerintah melarang perayaan Imlek dilakukan secara terbuka. Diktum kedua Inpres tersebut menyatakan bahwa perayaan Imlek hanya boleh dilakukan dalam lingkup keluarga saja. Ironisnya saat itu penentuan tata cara ibadat agama , kepercayaan dan adat istiadat China diatur oleh Menteri Agama setelah mendengar pertimbangan Jaksa Agung. Pada masa Orde Baru represi terhadap perayaan Imlek terus berlanjut melalui Surat Edaran Mendagri No. 477/74054 tertanggal 18 November 1978 yang berisi antara lain pemerintah menolak perkawinan bagi yang beragama Konghucu dan penolakan pencantuman agama Konghucu pada kolom KTP. Ketentuan ini membuat perayaan Imlek semakin pudar. Puncak represi terhadap perayaan imlek di Indonesia terjadi pada 1993 melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Bimas Hindu dan Buddha Nomor H/BA.00/29/1/1993 yang menyatakan larangan merayakan imlek di Vihara dan Cetya, serta Surat Edaran Nomor 07/DPP-Walubi/KU/93 yang menyatakan bahwa imlek bukan hari besar agama sehingga Vihara Mahayana tidak boleh merayakan tahun baru Imlek dengan menggotong toapekong dan mengadakan acara barongsai. Orde baru pada masa itu memandang bahwa agama, kepercayaan dan adat-istiadat Tionghoa di Indonesia yang berpusat pada negeri leluhurnya bisa menimbulkan pengaruh psikologis mental dan moril bagi proses asimilasi bangsa Indonesia. Sejatinya justru pelarangan tersebut bertentangan dengan semangat kebhinekaan yang sejak awal kemerdekaan Indonesia dibangun dan dipertahankan sebagai identitas bangsa. Penelitian Amy Freedman dari Franklin and Marshal College Amerika Serikat pada, Freedman dan Franklin (2015), menyimpulkan bahwa kebencian terhadap identitas etnis Tionghoa yang merusak persatuan dan identitas keberagaman bangsa merupakan hasil politik pecah-belah orde baru yang menggunakan teori lama yang dipakai kolonial. Dalam penelitian Amy Freedman berjudul "Political Institution and Etnic Chinese in Indonesia", menyebutkan bahwa Orde Baru memaksa masyarakat Tionghoa melakukan asimilasi sembari mengidentifikasi mereka bukan kelompok pribumi. Imlek dalam kebhinekaan Sejarah perkembangan Hari Raya Imlek kembali menemukan optimisme bersama pergantian orde dari Orde Baru menjadi Orde Reformasi. Orde Reformasi dapat dikatakan sebagai renaissance-nya Hari Raya Imlek. Darmodihardjo (1986), menyebutkan renaissance dalam pemahaman sebuah gerakan sejarah kultural pada nilai dan asosiasi psikopolitis yang negatif untuk menuju pada arah psikopolitis yang positif sesuai nilai kebhinekaan bangsa Indonesia sebagaimana terkandung dalam Pancasila. Aturan tentang Hari Raya Imlek dikatakan memasuki masa pencerahan pada masa Orde Reformasi. Sebab, penyusunan aturan disertai dengan akal budi dan rasionalisme yang menjunjung tinggi martabat manusia. Presiden Abdurrahman Wahid menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 6/2000 yang mencabut Instruksi Presiden Nomor 14/1967 sehingga Tahun Baru Imlek dapat dirayakan masyarakat secara meriah dan terbuka. Orde Reformasi menggunakan prinsip koeksistensi etis dalam memandang samanya hak setiap warga negara Indonesia sehingga mencabut ketentuan diskriminatif yang berlaku pada masa Orde Baru. Prinsip koeksistensi berlanjut dengan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 13/2001 yang menetapkan Hari Raya Imlek sebagai hari libur nasional fakultatif. Ketentuan tersebut selanjutnya ditindaklanjuti oleh Presiden Megawati Soekarnoputri melalui Keputusan Presiden Nomor 19/2002 yang menetapkan Imlek sebagai libur nasional setara dengan hari raya lainnya. Perlu dipahami sebelum menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 6/2000 yang menjadikan hak asasi manusia, Indonesia terlebih dahulu meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965. Ratifikasi tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 29/1999. Selanjutnya diterbitkan Undang-Undang Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi manusia, yang kelak menjadi dasar bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Undang-Undang Nomor 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Alhasil, terkait dengan perayaan Hari Raya Imlek tidak saja hanya terjadi asosiasi psikopolitis yang positif, melainkan juga dilindungi oleh hukum positif di Indonesia. Pada fase saat ini, Hari Raya Imlek berada dalam fase revolusi mental yang digaungkan Presiden Joko Widodo. Revolusi ini dapat dimaknai sebagai upaya untuk mengembalikan karakter bangsa pada nilai aslinya dengan melakukan perubahan pada pola pikir. Dukungan terhadap perayaan Imlek pada masa saat ini lebih dipandang sebagai bagian dari mempertahankan identitas Bhinneka Tunggal Ika.
Secara kebangsaan perayaan imlek dapat dipandang dengan makna spiritual dalam kebersamaan. Di era revolusi mental Imlek harus dipandang sebagai perayaan menyatunya manusia dengan alam yang terkandung aspek kemanusiaan yang sangat dalam. Gong Xi Fa Cai memiliki makna universal yang artinya semoga bertambah sejahtera. Imlek bisa dirayakan siapa saja mengingat nilai-nilai yang terkandung di dalamnya bersifat universal.•
Rio Christiawan Dosen Hukum Universitas Prasetya Mulya Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi