KONTAN.CO.ID - Pekik kemerdekaan tahun ini bergema di tengah bayang-bayang pandemi virus korona baru. Di perkantoran dan rumah-rumah warga, bendera merah putih terpasang tegak sejak 1 Agustus hingga 31 Agustus 2020 nanti. Kemerdekaan Indonesia kini genap berusia 75 tahun mengisi negeri. Namun, proses pembangunan kedaulatan pangan selama 75 tahun kemerdekaan seakan menerjang angin yang menuai kerapuhan ketika diadang badai Covid-19. Pertumbuhan ekonomi semester pertama tahun ini sudah memasuki zona merah, dan mengisyaratkan bertambahnya penduduk miskin meski nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) di kisaran Rp 14.000-an. Harga bahan pangan cenderung naik dan dipastikan laju inflasi sektor pangan bakal memiskinkan rakyat kecil. Warga harus kembali menapaki ironi sejarah yang amat mengusik dan menyedihkan. Penyakit perut buncit alias busung lapar dan tengkes akibat defisit pangan akan membayangi penurunan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di tengah tema "Indonesia Maju dalam perayaan 17 Agustus 2020. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) telah mengingatkan terjadinya krisis pangan di tengah pandemi dan akan mendorong defisit gizi masyarakat. Sinyal FAO ini tentu akan memberi ruang kepada pemerintah untuk membuka keran impor pangan untuk mengawal ketahanan pangan demi memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat. Merdeka dari penjajahan pangan impor masih menempuh perjalanan berliku dan panjang.
Potensi pangan lokal belum dijadikan
buffer untuk mengerem laju pangan impor. Harga pangan yang semakin mahal menjadi bayang-bayang yang menakutkan. Angka prevalensi gizi buruk pada balita meningkat, mengacu hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2018. Dampaknya, selain tubuh pendek (tengkes,
stunting), juga pengecilan otak, jantung, dan organ lain, yang mendorong turunnya tingkat kecerdasan anak. Pemerintah harus menyikapi fenomena ini dengan baik. Mengurangi ketergantungan pangan impor dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal adalah solusi terbaik untuk memantapkan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat. Mengonsumsi produk pangan lokal berarti mengakhiri penjajahan pangan impor, sekaligus menjadi langkah awal menuju kebangkitan nasionalisme pangan. Memperkenalkan kembali budaya makan lokal yang saat ini sedang tren di sejumlah daerah seharusnya diapresiasi dan didorong untuk terus bergulir. Sekadar menyebut contoh, masyarakat Sumatra Utara sejak 2011 telah mengampanyekan
manggadong (mengonsumsi produk olahan ubi) dalam program
one day no rice. Kampanye ini guna mendukung penguatan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat seperti tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Saat sarapan, makan siang maupun makan malam, ritual
manggadong bisa dinikmati bersama anggota keluarga. Hilangnya budaya makan lokal tidak terpisahkan dari pesatnya perkembangan korporasi pangan global memproduksi pangan olahan berbasis gandum. Keterlibatan korporasi transnasional dalam industri pangan telah menghabisi nafas kearifan lokal
manggadong. Dengan penguasaan teknologi pangan, korporasi dapat memproduksi dan mengatur sistem distribusi dan perdagangan pangan. Harga pun mereka kendalikan. Sekadar menyebut contoh, kenaikan harga setiap jelang hari-hari besar menunjukkan struktur oligopoli telah bermain dalam ruang bisnis pangan yang menetaskan bentuk penjajahan baru. Kian terbukanya pasar bebas, Indonesia menghadapi persoalan yang sangat serius dalam memperkuat kedaulatan pangan.
Nasionalisme pangan Kearifan lokal seperti
manggadong patut diangkat kembali guna menumbuhkan nasionalisme pangan di tengah pandemi Covid-19. Sejarah mencatat bahwa energi yang mampu menggerakkan kedaulatan pangan (
food sovereignty) adalah kearifan lokal. Nenek moyang kita membuktikan itu. Bahan pangan lokal, mulai dari jagung, pisang, sagu, sorgum, hingga berbagai jenis ubi tersebar di seantero negeri. Lewat kearifan lokal yang dimiliki, bahan- bahan pangan tersebut dikembangkan secara baik sebagai makanan pokok sekaligus memperkuat ekonomi keluarga. Kedaulatan pangan yang diwariskan para leluhur bisa semakin dilupakan dengan program besar lumbung pangan atau
food estate di Kalimantan Tengah. Secara perlahan dan pasti, perut rakyat kembali diobok-obok oleh kekuatan pemodal dan penguasaan teknologi pertanian modern yang diadopsi dari negara maju yang menganut paham ekonomi neoliberal. Tragedi ini menjadi ancaman gizi guruk di masa pandemi virus korona. Pertanyaannya, apakah
food estate dapat menahan laju pangan impor dan mencegah defisit gizi di masa pandemi Covid-19? Saat ini, dengan mudah kita melihat pasar di seluruh negeri dibanjiri pangan impor, baik dalam bentuk segar maupun olahan. Etalase dan rak-rak makanan di berbagai mal dan supermarket dijejali oleh pangan impor. Rakyat belum merdeka dari penjajahan pangan impor. Perut rakyat semakin tergadaikan di pasar global pangan yang mengancam sumber gizi anak bangsa. Tragedi kedaulatan pangan ini acap tersembunyikan di balik megahnya gedung bertingkat di kota-kota besar dan fenomena konsumerisme yang kini melanda kaum urban di perkotaan. Pemerintah pun gagal melindungi rakyatnya dari tekanan penjajahan pangan impor dan melanggar UU No. 18/2012 tentang Pangan yang menyebutkan, bahwa pangan adalah hak asasi manusia. Setiap orang berhak memperoleh pangan yang cukup dan terjangkau daya beli untuk hidup sehat produktif. Pelanggaran hak pangan terang benderang lewat potret kehidupan sejumlah anak jalanan. Mereka menjadi pengemis karena ditelantarkan negara.
The lost generation tengah berlangsung dan menjadi ancaman laten yang merenggut masa depan bangsa ini. Mengatasi
lost generation harus dilakukan melalui perbaikan ekonomi di tingkat rumahtangga. Pemerintah tidak cukup hanya bernyanyi untuk meningkatkan daya beli warga dan membuat program
food estate yang sudah beberapa kali menuai kegagalan. Namun, harus ada upaya konkrit dari pemerintah dengan membuka lapangan kerja baru yang dirasakan masyarakat manfaatnya. Saat pandemi Covid-19 yang belum bisa diperkirakan kapan berakhir, dibutuhkan komitmen politik pemerintah melakukan pembangunan pangan yang berpihak kepada wong cilik. Upaya perbaikan infrastruktur yang sudah bergulir belakangan harus terintegrasi dengan pembangunan ekonomi kerakyatan. Bantuan sosial untuk pengembangan usaha kecil menengah di bidang pangan lokal menjadi salah satu prioritas untuk penguatan kedaulatan pangan di tingkat rumahtangga. Tiga langkah berikut patut mendapat perhatian untuk dilakukan pemerintah guna memutus mata rantai pangan impor:
Pertama, membumikan diversifikasi konsumsi pangan. Sejak 1960-an, diversifikasi konsumsi pangan sudah diperkenalkan. Namun, program ini masih tetap jalan di tempat karena kuatnya dampak berasosasi pangan pokok. Dengan memproduksi beragam produk pangan bergizi seimbang dan aman serta tersedia dalam bentuk siap olah serta terjangkau daya beli, maka Indonesia akan lepas dari penjajahan beras impor.
Kedua, meningkatkan konsumsi ikan. Produk pangan ikan adalah sumber protein dan sejumlah zat gizi lain yang amat baik untuk kesehatan. Potensi perikanan laut Indonesia yang sangat besar harus dikelola lebih serius. Kuantitas dan kualitas kapal penangkap ikan ditingkatkan untuk mengatrol konsumsi ikan di tengah warga. Perbaikan distribusi ikan yang tidak merata di setiap daerah diatasi dengan membangun
cold storage untuk kesegaran ikan tetap terjaga.
Ketiga, memperkenalkan kembali produk olahan pangan nabati. Harga daging sapi dan susu yang kian mahal patut disiasati dengan memperkenalkan berbagai produk olahan nabati seperti kacang-kacangan salah satunya kedelai. Produk olahannya seperti tempe, tahu, dan susu kedelai, teknik pengolahannya patut dikembangkan ke seluruh daerah untuk memperbaiki gizi masyarakat.
Merdeka! Penulis : Posman Sibuea Guru Besar Ilmu Pangan Universitas Santo Thomas Medan, Sumatera Utara Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti