KONTAN.CO.ID - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus mendapat sorotan tajam belakangan ini. Kasus gagal bayar (default) tiga perusahaan besar asuransi dan satu bank nasional diklaim sebagai lemahnya fungsi pengawasan yang diemban oleh OJK. Opsi membubarkan OJK niscaya berisiko tinggi dan seolah memutar kembali arah jarum jam ke kiri. Dalam sejarahnya, OJK terbentuk sebagai metamorfosa dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bappepam-LK) yang sebelumnya berada di bawah kendali Kementerian Keuangan (Kemkeu). Sesuai Undang-Undang (UU) No 21 Tahun 2011 tentang OJK, Bank Indonesia (BI) dan OJK berbagi tugas. Tugas BI terfokus pada kebijakan moneter, makroprudensial dan sistem pembayaran. Sementara OJK bertanggung jawab pada kebijakan mikroprudensial, khususnya pengawasan terhadap lembaga keuangan (LK) yang menjalankan fungsi intermediasi.Fungsi intermediasi LK menjembatani antara pemilik dana berlebih dengan pihak yang butuh dana. LK berperan dalam mengumpulkan dana dari para nasabah. Pemilik dana sejatinya dapat langsung menyalurkan dananya ke pihak kedua tanpa LK. Sayangnya, kebutuhan dana pihak kedua jauh lebih besar daripada dana yang dimiliki pihak pertama.LK berperan dalam menghimpun dana dari para nasabah. Hasil dana yang terkumpul ini diharapkan mampu memenuhi kebutuhan dana para debitur. Jika kebutuhan debitur lebih besar daripada dana yang terhimpun, LK menyertakan modal sendiri dan/atau mencari sumber pembiayaan lain.Lebih lanjut, sebagai lembaga bisnis yang berorientasi pada laba, LK tendensinya akan menyalurkan semua dana yang berhasil dihimpun kepada debitur. Semakin besar dana yang disalurkan, maka semakin tinggi pula pendapatan yang diperoleh sehingga ekspektasi imbal hasilnya juga akan semakin tinggi. Hasrat (bahkan nafsu) ekspansi penyaluran dana didukung pula oleh informasi yang tidak simetri (asymmetric information) antara pemilik dana dengan LK. Nasabah mengalami kelangkaan informasi sehingga tidak bisa mengontrol ke mana alokasi penyaluran dananya yang disimpan di LK.
Mereformasi Otoritas Jasa Keuangan
KONTAN.CO.ID - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus mendapat sorotan tajam belakangan ini. Kasus gagal bayar (default) tiga perusahaan besar asuransi dan satu bank nasional diklaim sebagai lemahnya fungsi pengawasan yang diemban oleh OJK. Opsi membubarkan OJK niscaya berisiko tinggi dan seolah memutar kembali arah jarum jam ke kiri. Dalam sejarahnya, OJK terbentuk sebagai metamorfosa dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bappepam-LK) yang sebelumnya berada di bawah kendali Kementerian Keuangan (Kemkeu). Sesuai Undang-Undang (UU) No 21 Tahun 2011 tentang OJK, Bank Indonesia (BI) dan OJK berbagi tugas. Tugas BI terfokus pada kebijakan moneter, makroprudensial dan sistem pembayaran. Sementara OJK bertanggung jawab pada kebijakan mikroprudensial, khususnya pengawasan terhadap lembaga keuangan (LK) yang menjalankan fungsi intermediasi.Fungsi intermediasi LK menjembatani antara pemilik dana berlebih dengan pihak yang butuh dana. LK berperan dalam mengumpulkan dana dari para nasabah. Pemilik dana sejatinya dapat langsung menyalurkan dananya ke pihak kedua tanpa LK. Sayangnya, kebutuhan dana pihak kedua jauh lebih besar daripada dana yang dimiliki pihak pertama.LK berperan dalam menghimpun dana dari para nasabah. Hasil dana yang terkumpul ini diharapkan mampu memenuhi kebutuhan dana para debitur. Jika kebutuhan debitur lebih besar daripada dana yang terhimpun, LK menyertakan modal sendiri dan/atau mencari sumber pembiayaan lain.Lebih lanjut, sebagai lembaga bisnis yang berorientasi pada laba, LK tendensinya akan menyalurkan semua dana yang berhasil dihimpun kepada debitur. Semakin besar dana yang disalurkan, maka semakin tinggi pula pendapatan yang diperoleh sehingga ekspektasi imbal hasilnya juga akan semakin tinggi. Hasrat (bahkan nafsu) ekspansi penyaluran dana didukung pula oleh informasi yang tidak simetri (asymmetric information) antara pemilik dana dengan LK. Nasabah mengalami kelangkaan informasi sehingga tidak bisa mengontrol ke mana alokasi penyaluran dananya yang disimpan di LK.