Paparan teknologi informasi telah mengubah lanskap hubungan antarmanusia. Memudahkan orang mengakses kebutuhan, bahkan tanpa perlu bertemu atau bertatap muka. Ini membuat terjadi perubahan besar di perdagangan (
e-commerce), transportasi, birokrasi pemerintahan dan sektor keuangan. Beriringan dengan itu pelbagai persoalan juga menyertainya. Sayang, pemerintah kurang sigap membuat regulasi untuk menata perkembangan teknologi yang menggelinding ke segala sektor kehidupan masyarakat ini. Sebuah firma penelitian pasar teknologi informasi dan komunikasi, Experian dan International Data Corporation, mencatat, pertumbuhan industri ekonomi digital Indonesia di tahun 2017, baik jasa keuangan, ritel, maupun telekomunikasi, sulit berkembang karena tingginya kasus penipuan. Dalam wilayah perdagangan elektronik, masyarakat bertransaksi di dunia maya membutuhkan pengaturan tentang standar produk, perlindungan data pelanggan, hingga penyelesaian sengketa dengan pihak terkait. Terutama bila terjadi wanprestasi serta kewajiban platform e-commerce sebagai marketplace.
Pada tahun 2015, Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Rudiantara menargetkan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) E-commerce bisa rampung sebelum. Tapi, prosesnya tampak lamban. Sudah berjalan separuh tahun 2018, status regulasi tersebut masih "akan diterbitkan". Bila kita lihat transportasi publik, masyarakat sempat risau melihat perselisihan antara pengemudi transportasi konvensional dengan yang dalam jaringan (online). Di beberapa daerah terjadi bentrokan dan bahkan ada korban kekerasan. Hingga kini, polemik masih berlanjut dalam urusan penetapan tarif, kesejahteraan pengemudi dan keamanan pelanggan. Kebutuhan regulasi dalam sektor transportasi online tidak jauh berbeda dengan apa yang dibutuhkan dalam transaksi perdagangan elektronik. Hubungan hukum pengemudi dengan aplikator juga masih ambigu. Kementerian Perhubungan pada 2017 lalu telah mengeluarkan Permenhub Nomor 108/2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek. Peraturan itu baru menyasar transportasi online roda empat, belum masuk roda dua. Kepala Subdirektorat Angkutan Orang Kementerian Perhubungan, Syafrin Liputo pernah menyebut aturan tersebut bisa rampung pada awal Juni 2018. Sampai sekarang status peraturan tersebut masih dalam proses uji publik. Sektor keuangan, paparan teknologi informasi telah dan terus memperluas akses keuangan masyarakat. Kita mengenal sebagai financial technology (fintech). Menurut Otoritas Jasa keuangan (OJK), ada dua jenis fintech yang membantu masyarakat sekarang, yaitu Fintech 2.0 dan Fintech 3.0. Fintech 2.0 adalah lembaga keuangan yang mendapat lisensi sebagai perusahaan keuangan, kemudian berinovasi menggunakan teknologi digital untuk meningkatkan akses pasarnya. Contoh kartu kredit, ATM, atau digital banking. Sementara Fintech 3.0 merupakan model bisnis lain yang menyulap kantor bank menjadi proyeksi komputasi utuh. Investasi dan simpan-pinjam dilakukan dalam platform yang berfungsi sebagai marketplace. Contoh, peer to peer lending dan crowdfunding. Fintech 3.0 efektif menyasar masyarakat yang sulit mengakses perbankan dan jumlahnya amat besar. Namun, potensi penipuan dan penyelewengan dana juga cukup besar. Seperti rentan gagal bayar karena tiadanya agunan, risiko penipuan, dan penyalahgunaan data. Bank Indonesia dan OJK telah berupaya mengejar untuk menata dinamika fintech. Diantaranya, telah terbit Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 Tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial. Lalu peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Berdasarkan peraturan itu menurut OJK ada 407 fintech yang ilegal. Masyarakat perlu berhati-hati mengakses layanan ini dan Kominfo mestinya dapat segera menertibkan. Namun sampai saat ini perusahaan fintech yang legal pun belum memperoleh jaminan dari Lembaga Penjamin Simpanan. Perlu ada suatu formulasi untuk meminimalisir risiko kredit dan dampaknya meskipun sektor ini memiliki tingkat efisiensi yang tinggi. Poin terakhir ialah tentang paparan teknologi dalam birokrasi pemerintahan, khususnya pengadaan barang dan jasa pemerintah. Masyarakat khawatir atas maraknya korupsi pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh pejabat negara. Korupsi itu bisa mereduksi infrastruktur pelayanan publik. Beberapa waktu lalu, media nasional memberitakan korupsi berjamaah oleh hampir semua anggota DPRD Kota Malang. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadikan mereka tersangka tindak pidana korupsi karena memainkan anggaran untuk meloloskan proyek pengadaan instalasi pengelolaan sampah terpadu di kota tersebut. Tahun lalu Ketua DPRD Kota Malang juga ditangkap KPK karena menerima gratifikasi proyek jembatan. Tidak hanya Malang, seluruh provinsi di Indonesia tidak ada yang luput dari korupsi pengadaan barang dan jasa. Menurut catatan KPK, korupsi jenis ini jumlahnya mencapai 70% dari seluruh praktik korupsi yang ada di seluruh pelosok Indonesia. Cara mengatasi Dalam sebuah studi berjudul Mencegah Korupsi Melalui e-Procurement, mengidentifikasi dalam proses pengadaan barang dan jasa banyak sekali uang yang beredar. Sering terjadi kontak tertutup antara penyedia barang/jasa dan panitia lelang, dan prosedur lelang yang harus diikuti sangat kompleks. Dari situlah terdapat celah untuk melakukan korupsi. Bagaimana mengatasinya? Tentu diperlukan proses yang terbuka dalam pengadaan barang dan jasa. Proses yang terbuka memberikan ruang pengawasan dari masyarakat dan kesempatan yang sama kepada penyedia barang dan jasa. Keterbukaan proses pengadaan barang dan jasa sudah dapat dilakukan melalui sistem yang disebut e-procurement. Prosesnya, pengadaan barang dan jasa dilakukan secara online melalui internet. Mulai dari proses pengumuman, pendaftaran, proses penawaran, aanwijzing tender, dan hasil evaluasi. Sistem ini juga lebih efisien, dan menurut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), e-procurement bisa menghemat anggaran negara hingga 20%. Pemerintah Kota Surabaya telah menerapkan cara ini secara konsisten dan berhasil mempersempit peluang korupsi di pengadaan barang dan jasa.
Namun sejumlah pemerintah daerah dan instansi kementerian masih enggan terbuka melalui e-procurement. Atau mungkin juga karena tidak ada aturan hukum yang mewajibkan. Menimbang maraknya korupsi pengadaan barang dan jasa, sejak 2017 lalu KPK telah meminta kepada Presiden untuk mewajibkan instansi publik untuk menggunakan e-procurement. Tapi sayang, pemerintah memang terkenal lambat bergerak dalam meregulasi perkembangan teknologi ini.•
Marlis Kwan Kolumnis, Alumnus UNSW Sidney Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi