KONTAN.CO.ID -
Persaingan dalam bisnis pakaian jadi memang cukup ketat. Setiap pemain harus mencari cara agar bisa memenangkan persaingan dengan merek-merek asing yang terus berdatangan. Kepada jurnalis KONTAN Putri Werdiningsih, FX Afat Adinata Nursalim, CEO PT Mega Perintis Tbk, berbagi strategi untuk membawa produknya menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Saya sudah berkarier lebih dari 16 tahun di Garuda Food. Posisi terakhir saya sebagai CEO di PT Sinar Niaga Sejahtera, anak usaha Garuda Food di bidang distribusi.
Pak Versito Gunawan, founder Mega Perintis, yang mengajak saya bergabung dengan Mega Perintis. Sejak akhir 2014, mereka sudah mulai menawarkan saya sebagai pemegang saham, sekaligus CEO. Waktu itu, saya berpikir agak lama. Mendekati akhir Januari 2015, baru saya putuskan siap. Sebelum bergabung, saya tanya dulu ke Pak Versito: perusahaan ini arahnya mau ke mana? Buat saya, ini penting. Kalau bergabung ke suatu bisnis tetapi tidak punya arah yang sama, itu sulit. Kalau visi antar-pemegang saham berbeda, arah kapal bisa tidak jelas. Saya lalu bikin
roadmap dulu dan mereka setuju. Lalu ada pembagian kewenangan. Nah, dari situ, baru saya memutuskan mengambil kesempatan ini. Sekarang, kami ini ada 7 pemegang saham di Mega Perintis. Sebelum saya bergabung, hanya ada 6 pemegang saham. Ada yang kerabat, dan ada yang teman. Namun mereka hanya pemegang saham pasif. Yang aktif hanya Pak Versito dan Pak Cuntoro. Ketika ditunjuk sebagai CEO, saya mengemban amanat dan tanggung jawab untuk membawa Mega Perintis menjadi perusahaan
fashion retail terbaik di Indonesia. Saya mendampingi Pak Versito dan Pak Cuntoro dalam menyusun rencana jangka panjang dan jangka pendek Mega Perintis, baik itu mencakup strategi maupun
management system perusahaan. Sebenarnya sebelum bergabung, kami sudah sudah beberapa kali mengobrol untuk menyamakan visi dan membangun
chemistry. Kolaborasi kami bertiga ibarat tiga sekawan yang saling melengkapi dan menjadi manajemen tim yang kompak di dalam mencapai tujuan perusahaan. Pertama kali bergabung di Mega Perintis, saya melakukan pembenahan proses bisnis, restrukturisasi organisasi, dan membangun kerangka dasar pengembangan sumberdaya manusia dengan membenahi divisi
human resources dan membentuk
learning departement sebagai wadah pengembangan karyawan. Keputusan besar yang saya ambil ketika awal bergabung adalah mempersiapkan diri untuk memulai pembenahan dari bawah lagi. Saya tidak bisa berpikir melakukan pekerjaan seperti posisi terakhir di PT Sinar Niaga Sejahtera yang sudah didukung oleh struktur organisasi yang lengkap dan berbagai fasilitas penunjang yang memadai. Di Mega Perintis, meskipun sebagai CEO, saya ikut terjun terlibat pada hal-hal yang mestinya itu bukan di level saya. Waktu saya bergabung, struktur organisasi belum rapi. Kebanyakan karyawan adalah anak muda yang rata-rata masih
fresh graduate. Saya tidak bisa hanya memberikan arahan dan berharap itu terjadi. Misalnya, saat melakukan pembenahan di divisi teknologi informasi (TI), saya tidak punya kepala divisi TI dan hanya punya satu orang yang cukup senior. Karena itu, saya tidak memposisikan diri sebagai CEO saja, tetapi saya menjadi kepala divisi TI, sekaligus kepala departemen dan manajer. Saya bekerja sama dengan vendor memastikan semua detail terjadi. Usaha menjadi terbaik Ini juga bisa menjadi tips bagi para profesional yang ingin pindah kuadran menjadi pengusaha. Mereka harus siap mental dan fisik untuk bekerja lebih keras, lebih cerdas, dan menghabiskan lebih banyak waktu bekerja daripada bekerja dulu sebagai profesional. Jabatan boleh CEO, tetapi pekerjaan OB pun harus dilakukan. Misi saya adalah ingin membawa Mega Perintis menjadi perusahaan ritel terbaik di Indonesia. Kami harus bertumbuh di atas rata-rata industri. Saya berusaha membawa tren perubahan agar merek lokal Indonesia bisa menjadi rumah di negeri sendiri. Ini mimpi saya. Bagi saya, merek lokal harus dikenal, dan harus berani punya standar seperti merek global. Inilah yang kemudian mendorong Mega Perintis untuk IPO. Dalam perencanaan saya, sebenarnya rencana IPO Mega Perintis itu di tahun 2020, tetapi ternyata di 2018 sudah berhasil. Keputusan untuk melepas saham ke publik itu terjadi di Juni 2018. Saya melihat secara internal sudah lebih siap. Kemudian saya juga melihat, tahun ini merupakan momentum yang tepat karena banyak perusahaan skala menengah diberi kesempatan untuk IPO. Akhirnya, pilihannya memang maju. Mengapa harus menunggu sampai 2020 kalau sekarang saja bisa melakukan? Persiapan dilakukan dalam waktu 6 bulan dengan cukup bekerja keras. Ketika mempersiapkan IPO, kami harus membentuk tim dan saya sendiri langsung menjadi ketuanya. Dalam tiga tahun terakhir ini, kami cukup bekerja keras. Sejak saya bergabung, pembenahan terus dilakukan. Saya banyak melakukan perubahan di konsep toko menggunakan ilmu visual merchandising. Kalau saya lihat, di Indonesia, orang itu sekadar berdagang pakaian. Secara kualitas, sebenarnya pakaian produksi kita dan merek asing tidak beda jauh. Bahkan bisa lebih baik. Yang membedakan, mereka punya pengetahuan. Mereka tidak hanya menjual pakaian sebagai komoditas. Saya belajar ini dari Garuda Food. Produk kacang Garuda kalau hanya ditaruh di atas meja, kita tidak bisa membedakan dengan produk kacang lain. Tetapi kalau dikemas dengan baik, nilainya berbeda. Dari situ, saya melihat perusahaan harus dibangun dengan manajemen sistem. Sekarang ini tantangan yang dihadapi bisnis
fashion retail adalah dominasi merek global yang semakin besar. Ini menuntut para pemilik merek lokal untuk meningkatkan standar kompetensi dan kemampuan bersaing. Merek harus dibangun tidak boleh hanya mengatakan menjual pakaian. Kalau seperti itu, pakaian hanya akan menjadi komoditas. Kami mencoba menawarkan nilai tambah ke konsumen. Misalnya, untuk merek kami, Manzone. Kami menyebutkan
one stop shopping for man. Saya ingin memberi kemudahan untuk konsumen pria yang terkadang sering malas window shopping. Di Manzone, dia bisa mendapatkan segala kebutuhan dalam satu toko. Saya memang menjual pakaian, tetapi saya menawarkan nilai lebih yang kekinian. Di toko Manzone, ada yang dinamakan
digital experience. Ini semacam layar sentuh yang membantu konsumen memadupadankan gaya. Layar tersebut tersambung pada laman www.manzonestore.com. Konsumen tinggal menunjuk model baju yang dipilih untuk dipasangkan ke manekin virtual. Konsep toko sengaja saya buat lebih mudah dan berkesan lebih muda. Perubahan itu saya lakukan dengan tujuan merek lokal bisa setara dengan merek global. Kita tidak bisa membuka toko sekadar agar barangnya laku. Ternyata, untuk menata produk ada ilmunya.
Visual merchandising ini merupakan
silent selling yang bisa mendorong konsumen untuk membeli. Tahun 2016, kami belajar ke Singapura. Di sana, ada
retail academy. Setahun berikutnya, kami merekrut pengajar di sana sebagai konsultan untuk membenahi
brand guideline kami. Kami melihat, ritel tidak bisa dikelola hanya dengan sekadar membuka toko.
Sekarang, merek Manzone dan MOC mempunyai karakter. Manzone lebih maskulin, optimistis,
passionate, dan
fun. Sedangkan MOC lebih ke pakaian kerja yang lebih ekspresif dan
friendly. Merek MOC kini lebih banyak terpajang di pusat perbelanjaan. Pelan-pelan saya sedang coba menambahkan toko sendiri. Kami mulai menerapkannya sejak awal 2018. Berkat strategi ini, ketika orang bilang industri ritel tidak bagus, kami masih bisa tumbuh. ◆ Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Mesti Sinaga