Pengusaha tempe dan tahu tercekik harga kedelai yang kian tinggi. Sebagian memilih gulung tikar, pulang kampung, dan memutus karyawannya. Sebagian lagi banting setir berdagang makanan lain. Mereka berharap ada tata niaga baru.Matahari sudah tinggi. Hari sudah terik, tapi suasana sentra industri tahu dan tempe di Kelurahan Semanan, Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat, Selasa (24/7) pekan lalu, masih lengang. Pabrik-pabrik kecil pengolah tahu dan tempe yang letaknya berimpitan dengan rumah-rumah petak terlihat kosong. Begitu pula lokasi dapur umum tempat para pekerja biasa memasak kedelai. Padahal, biasanya, dengan mudah, kita akan menemukan ratusan pekerja sibuk menguliti kedelai, mengaduk panci, memecah kayu bakar, atau memotong tempe.Hari itu, semua pekerja memilih beristirahat. Ini bukan lantaran mereka menjaga stamina agar ibadah puasa tidak bobol. Sekitar 900-an pekerja yang bermukim di Semanan berhenti bekerja karena mereka tengah menggelar aksi mogok. Mereka menghentikan produksi tiga hari terhitung sejak tanggal 25 Juli lalu.Dasarnya adalah keputusan rapat Pusat Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Puskopti) tanggal 18 Juli 2012. Pada rapat yang dihadiri pengurus Primer Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Primkopti) se-DKI Jakarta dan Pengurus Himpunan Pengusaha dan Perajin Tahu Tempe Indonesia (Hipertindo) itu, para produsen tempe dan tahu sepakat mogok. Sebab, laba mereka kian tergerus harga kedelai.Dalam pernyataan sikapnya sebelum mogok, Puskopti menuntut pemerintah mengambil alih tata niaga kedelai. Tuntutan lain: penghapusan bea impor kedelai sebesar 5%. Walau tidak serta-merta menurunkan harga kedelai, mereka menilai kebijakan ini bisa mengurangi beban produsen tahu dan tempe.Menurut Suharto, Ketua Puskopti DKI Jaya, aksi mogok produsen tahu-tempe dilatarbelakangi melambungnya harga kedelai sejak awal Maret 2012. Saat itu, harga kedelai mencapai Rp 5.650 per kilogram (kg) atau naik Rp 150 per kg dari harga sebelumnya. Pada akhir Maret, harga kedelai impor sudah mencapai Rp 6.000 per kg dan terus naik hingga mencapai Rp 6.700 di awal Mei 2012.Harga kedelai sebenarnya sempat turun pada akhir Mei ke level Rp 6.300 per kg. Namun, harga kembali terbang pada Juni dan mencapai puncaknya di awal Juli. Pada Sabtu (21/7) dua pekan lalu, harga eceran kedelai mencapai Rp 7.800 hingga Rp 8.200 per kg.Konon, kegagalan panen di negara penghasil kedelai menjadi penyebabnya. Saat ini, Amerika Serikat (AS) sebagai penghasil kedelai terbesar di dunia sedang mengalami cuaca buruk. Kekeringan panjang dan angin kencang mengakibatkan produksi kedelai merosot. Alhasil, sesuai hukum ekonomi, kenaikan harga tak terelakkan.Cuma, meski lebih dari 60% kebutuhan kedelai dipenuhi lewat impor, perajin tahu tempe meyakini mahalnya kedelai tidak disebabkan kenaikan harga di tingkat internasional. Pasalnya, pembelian kedelai dari luar negeri menggunakan sistem kontrak dengan harga yang sudah disepakati. Karena itu, harga yang sudah diperoleh importir seharusnya tidak mungkin berubah mengikuti harga pasar. Mereka menuding importir memainkan harga.Margin tergerusApalagi, hampir tiap importir besar juga berperan sebagai distributor kedelai. Saat ini, ada empat importir besar pemasok kedelai, yakni PT Cargill Indonesia, PT Gerbang Cahaya Utama, PT Gunung Sewu, dan PT Indonesia Serial. Puskopti juga mencatat, sedikitnya ada tujuh importir kecil yang dikenal lewat merek atau cap karung kedelainya. Yakni, Tiga Roda, BW, Bintang, MB, SB, SIIP, dan Asoy. Karena itu, produsen tahu-tempe menuntut pemerintah mengatur harga dengan membuat tata niaga baru. Tata niaga yang paling memungkinkan, pemerintah membeli kedelai dari importir.Aksi mogok yang dilakukan perajin tempe dan tahu ini sebenarnya cukup nekat. Pasalnya, penghentian produksi juga merugikan mereka sendiri. Meski mogok produksi hanya berlangsung tiga hari, produsen tahu dan tempe kehilangan omzet yang lumayan besar.Ketua Hipertindo Johanda Fadil menyebut, potensi pendapatan para produsen tempe tahu skala besar di Jakarta yang hilang akibat penghentian produksi selama tiga hari adalah sekitar Rp 3 miliar. Hitungannya, di Hipertindo ada 50 pengusaha tahu tempe yang menyerap 100 ton kedelai per hari. “Produksi yang dihasilkan mencapai 150 ton per hari dengan nilai omzet mencapai Rp 1 miliar,” katanya.Di level produsen kecil, omzet yang hilang malah lebih besar lagi. Soalnya, jumlah perajin tempe skala kecil ini lumayan banyak. Dari data Kopti, ada 4.821 perajin tahu tempe di Jakarta yang total menyerap 10.060 ton kedelai per bulan. Produksi yang dicapai mencapai sekitar 1.500 ton dengan omzet mencapai Rp 30 miliar per bulan.Tentu saja, kenaikan harga kedelai begitu menghantam perajin tempe tahu skala kecil. Dasim Sasmijo, salah satu penghuni kampung Semanan, merasakan bisnis yang menopang dapur keluarganya terasa kian pahit. Padahal, bisnis tahu melambungkan namanya di Semanan. “Saya bisa merugi hingga Rp 15.000 per hari jika tetap berproduksi,” tuturnya.Dasim punya hitungan. Dari 10 kg kedelai, dia bisa mencetak 300 tahu kuning ukuran 4 centimeter (cm) seharga Rp 350 per buah. Omzet yang diperoleh dari penjualan produksinya Rp 105.000. Setelah harga kedelai melambung hingga Rp 8.200 per kg, harga jual sekarang jelas tidak menutup biaya produksi.Saat ini, kebutuhan untuk memproduksi 300 tahu adalah 10 kg kedelai senilai Rp 80.000, seikat besar kayu bakar seharga Rp 10.000, dan bumbu pelengkap seperti kunyit dan garam senilai Rp 10.000. Dasim masih harus mengeluarkan Rp 10.000 untuk biaya tenaga kerja dan Rp 10.000 untuk kebutuhan lain seperti transportasi pemasaran tahu, air, dan listrik.Suharto, perajin lain, juga punya hitungan sendiri. Keuntungan berbisnis tahu baru dapat diperoleh saat harga kedelai berkisar di antara Rp 5.500–Rp 6.700 per kg. Untuk pembuatan tahu dengan skala kecil, perlu 100 kg kedelai seharga Rp 670.000. Agar tahu yang diproduksi tidak hambar, perajin menambahkan bumbu pembantu yang nilai belanjanya sebesar Rp 125.000 per 100 kg.Perajin juga perlu mengeluarkan dana Rp 150.000 untuk biaya upah pekerja. Komponen biaya terakhir adalah transportasi pemasaran Rp 50.000. Total biaya produksi 100 kg kedelai ternyata mencapai Rp 995.000. Sedangkan omzet yang diperoleh mencapai Rp 1,07 juta dari penjualan 2.800 tahu seharga Rp 375 per buah dan Rp 20.000 penjualan ampas untuk pakan ternak. Jika omzet dikurangi biaya produksi, margin yang diperoleh hanya Rp 75.000 per 100 kg. “Kalau harga kedelai mencapai Rp 8.000 per kg tentu perajin tidak dapat untung lagi, bahkan rugi,” keluh Suharto.Langkah menghentikan produksi juga bukan tanpa biaya. Meski usaha tidak berjalan, pengusaha dan perajin tetap harus mengurus pekerjanya, minimal memberi uang makan. “Tetap saya kasih makan. Mereka menjadi tanggungjawab saya,” ujar Subari, perajin tempe di Semanan. Para pekerja itu terpaksa kehilangan upah harian yang sekitar Rp 50.000. “Abis gimana, wong bos saja tidak kerja,” kata Supeno, seorang buruh pabrik tempe.Memilih gulung tikarSupeno termasuk yang beruntung karena masih bisa terus bekerja sampai hari terakhir sebelum pemogokan. Kawan-kawannya lebih dulu mengalami pemutusan hubungan kerja ketika harga kedelai terus naik. Sebab, pembengkakan biaya produksi memaksa sebagian perajin tahu dan tempe mengecilkan volume produksinya. Walhasil, mereka juga memangkas jumlah tenaga kerja.Dasim, misalnya, sebelumnya memiliki 20 pekerja untuk produksi tahu. Sejak awal bulan, ia terpaksa merumahkan sembilan anak buahnya. Itu imbas pengurangan produksi tahu di pabriknya dari 600 kg per hari menjadi 250 kg per hari. Pengurangan produksi itu sudah dilakukan secara bertahap dan mencapai puncaknya saat kedelai mencapai Rp 8.200 per kg. “Meski merugi, saya memilih tetap membuat tahu untuk menjaga pelanggan. Soalnya mencari pelanggan itu tidak mudah,” ujarnya.Selain mengurangi karyawan, pria yang akrab dipanggil Dodo ini juga punya siasat lain untuk mengurangi ongkos produksi. Dodo sempat mengecilkan ukuran tahu meski tetap menjual dengan harga tetap.Cuma, akibat aksinya itu, Dodo malah mendapat kecaman dari pedagang dan pelanggan. Lantaran takut pelanggan setianya kabur, dia kembali mengubah ukuran tahu sesuai ukuran standar. Pelanggan baru menyadari bahwa ia tercekik harga kedelai setelah ada aksi mogok massal.Dodo dan Subari termasuk perajin yang beruntung karena mampu mempertahankan usaha. Sebagian perajin tempe dengan skala produksi yang lebih kecil malah memilih menggulung tikar usahanya. Meski tidak mengetahui jumlah pastinya, Subari bilang, beberapa tetangganya di Semanan memilih menutup usaha dan pulang kampung. “Sambil menunggu harga kedelai turun, mereka bekerja di kampung,” katanya.Hipertindo memiliki data yang lebih menyedihkan. Berdasarkan survei dan tinjauan di lapangan sejak Maret 2012, mereka memperkirakan 4.000 perajin tempe tahu dengan skala produksi 300 kg ke bawah di area Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi telah gulung tikar. Kebanyakan dari mereka berubah status menjadi buruh tempe dan tahu. “Perajin tempe yang hilang paling banyak. Kalau pengusaha tahu paling sekitar 500 orang,” kata Johanda.Adapun sebagian perajin yang masih punya modal memilih banting setir berjualan bakso, otak-otak, nuget, dan ikan kering. Upaya itu dilakukan perajin agar tetap bertahan. Mereka melakukannya bukan cuma untuk menjaga hubungan dengan pelanggan, tapi lebih merupakan tanggungjawab menjaga nafkah anak buahnya.Pasalnya, selain rumahtangga perajin, belasan hingga puluhan buruh menggantungkan hidup pada satu perajin. Pengusaha tahu dengan skala produksi 100 kg, misalnya, minimal memiliki lima orang buruh. Sekitar 60% perajin yang mogok produksi tahu tempe saat ini beralih menjadi penjual berbagai makanan.Alasan mempertahankan produksi juga membuat perajin dan pengusaha mengail masalah baru. Menurut Johanda, perajin mulai tertarik meminjam uang pada rentenir untuk menambah modal. Padahal, bunga yang ditetapkan mencekik leher. Meminjam uang pada rentenir menjadi pilihan bagi perajin skala kecil. Pasalnya, skala bisnis yang kerdil dan kondisi bisnis yang sedang gamang membuat mereka sulit memperoleh dana pada lembaga keuangan konvensional.Opsi harga naik Tuntutan perajin tempe tahu agar pemerintah campur tangan dan menurunkan harga kedelai bukan gertak sambal. Jika harga kedelai tidak turun ke harga normal, perajin berencana menaikkan harga jual sebesar 30%-35%. Berdasarkan pemberitahuan kenaikan harga yang dirilis Puskopti, tempe dengan berat 1 kg yang semula dijual seharga Rp 4.000 akan dijual Rp 8.000. Sedangkan tempe ukuran lebih kecil seharga Rp 3.000 akan dijual senilai Rp 4.000.Lain lagi dengan tahu. Dasim yang masih menjual tahu kuning ukuran 4 sentimeter seharga Rp 350 per buah berencana menaikkan harga jual hingga Rp 400 per buah. “Saya berharap pelanggan juga mengerti kalau kami terpaksa menaikkan harga karena harga kedelai sedang tinggi,” sambungnya.Cuma, keinginan perajin menaikkan harga tetap memunculkan kekhawatiran. Meski memiliki pelanggan tetap, Dasim dan Subari mengaku waswas jika pelanggan tidak menerima harga dan beralih mengonsumsi produk pengganti lain.Maka, selain menetapkan harga, Hipertindo selaku organisasi induk perajin dan pengusaha berencana menetapkan ukuran baku tempe dan tahu yang diproduksi. Hal itu dilakukan agar persaingan usaha tetap berjalan sehat. “Respons perajin terhadap rencana pengaturan positif,” ujar Johanda.Meski mampu mengatasi persoalan sementara, para pengusaha tempe tahu sepakat bahwa menaikkan harga tidak jadi solusi bijak. Karena itu, Johanda lebih berharap pemerintah mengaktifkan kembali Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk mengurusi tata niaga bahan makanan, termasuk kedelai dan tempe-tahu. Dengan kembalinya fungsi Bulog, para pengusaha berharap, pemerintah mampu mengontrol harga dan mengawasi jalur distribusi kedelai yang selama ini dikuasai perusahaan swasta.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Mereka lunglai tercekik harga kedelai
Pengusaha tempe dan tahu tercekik harga kedelai yang kian tinggi. Sebagian memilih gulung tikar, pulang kampung, dan memutus karyawannya. Sebagian lagi banting setir berdagang makanan lain. Mereka berharap ada tata niaga baru.Matahari sudah tinggi. Hari sudah terik, tapi suasana sentra industri tahu dan tempe di Kelurahan Semanan, Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat, Selasa (24/7) pekan lalu, masih lengang. Pabrik-pabrik kecil pengolah tahu dan tempe yang letaknya berimpitan dengan rumah-rumah petak terlihat kosong. Begitu pula lokasi dapur umum tempat para pekerja biasa memasak kedelai. Padahal, biasanya, dengan mudah, kita akan menemukan ratusan pekerja sibuk menguliti kedelai, mengaduk panci, memecah kayu bakar, atau memotong tempe.Hari itu, semua pekerja memilih beristirahat. Ini bukan lantaran mereka menjaga stamina agar ibadah puasa tidak bobol. Sekitar 900-an pekerja yang bermukim di Semanan berhenti bekerja karena mereka tengah menggelar aksi mogok. Mereka menghentikan produksi tiga hari terhitung sejak tanggal 25 Juli lalu.Dasarnya adalah keputusan rapat Pusat Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Puskopti) tanggal 18 Juli 2012. Pada rapat yang dihadiri pengurus Primer Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Primkopti) se-DKI Jakarta dan Pengurus Himpunan Pengusaha dan Perajin Tahu Tempe Indonesia (Hipertindo) itu, para produsen tempe dan tahu sepakat mogok. Sebab, laba mereka kian tergerus harga kedelai.Dalam pernyataan sikapnya sebelum mogok, Puskopti menuntut pemerintah mengambil alih tata niaga kedelai. Tuntutan lain: penghapusan bea impor kedelai sebesar 5%. Walau tidak serta-merta menurunkan harga kedelai, mereka menilai kebijakan ini bisa mengurangi beban produsen tahu dan tempe.Menurut Suharto, Ketua Puskopti DKI Jaya, aksi mogok produsen tahu-tempe dilatarbelakangi melambungnya harga kedelai sejak awal Maret 2012. Saat itu, harga kedelai mencapai Rp 5.650 per kilogram (kg) atau naik Rp 150 per kg dari harga sebelumnya. Pada akhir Maret, harga kedelai impor sudah mencapai Rp 6.000 per kg dan terus naik hingga mencapai Rp 6.700 di awal Mei 2012.Harga kedelai sebenarnya sempat turun pada akhir Mei ke level Rp 6.300 per kg. Namun, harga kembali terbang pada Juni dan mencapai puncaknya di awal Juli. Pada Sabtu (21/7) dua pekan lalu, harga eceran kedelai mencapai Rp 7.800 hingga Rp 8.200 per kg.Konon, kegagalan panen di negara penghasil kedelai menjadi penyebabnya. Saat ini, Amerika Serikat (AS) sebagai penghasil kedelai terbesar di dunia sedang mengalami cuaca buruk. Kekeringan panjang dan angin kencang mengakibatkan produksi kedelai merosot. Alhasil, sesuai hukum ekonomi, kenaikan harga tak terelakkan.Cuma, meski lebih dari 60% kebutuhan kedelai dipenuhi lewat impor, perajin tahu tempe meyakini mahalnya kedelai tidak disebabkan kenaikan harga di tingkat internasional. Pasalnya, pembelian kedelai dari luar negeri menggunakan sistem kontrak dengan harga yang sudah disepakati. Karena itu, harga yang sudah diperoleh importir seharusnya tidak mungkin berubah mengikuti harga pasar. Mereka menuding importir memainkan harga.Margin tergerusApalagi, hampir tiap importir besar juga berperan sebagai distributor kedelai. Saat ini, ada empat importir besar pemasok kedelai, yakni PT Cargill Indonesia, PT Gerbang Cahaya Utama, PT Gunung Sewu, dan PT Indonesia Serial. Puskopti juga mencatat, sedikitnya ada tujuh importir kecil yang dikenal lewat merek atau cap karung kedelainya. Yakni, Tiga Roda, BW, Bintang, MB, SB, SIIP, dan Asoy. Karena itu, produsen tahu-tempe menuntut pemerintah mengatur harga dengan membuat tata niaga baru. Tata niaga yang paling memungkinkan, pemerintah membeli kedelai dari importir.Aksi mogok yang dilakukan perajin tempe dan tahu ini sebenarnya cukup nekat. Pasalnya, penghentian produksi juga merugikan mereka sendiri. Meski mogok produksi hanya berlangsung tiga hari, produsen tahu dan tempe kehilangan omzet yang lumayan besar.Ketua Hipertindo Johanda Fadil menyebut, potensi pendapatan para produsen tempe tahu skala besar di Jakarta yang hilang akibat penghentian produksi selama tiga hari adalah sekitar Rp 3 miliar. Hitungannya, di Hipertindo ada 50 pengusaha tahu tempe yang menyerap 100 ton kedelai per hari. “Produksi yang dihasilkan mencapai 150 ton per hari dengan nilai omzet mencapai Rp 1 miliar,” katanya.Di level produsen kecil, omzet yang hilang malah lebih besar lagi. Soalnya, jumlah perajin tempe skala kecil ini lumayan banyak. Dari data Kopti, ada 4.821 perajin tahu tempe di Jakarta yang total menyerap 10.060 ton kedelai per bulan. Produksi yang dicapai mencapai sekitar 1.500 ton dengan omzet mencapai Rp 30 miliar per bulan.Tentu saja, kenaikan harga kedelai begitu menghantam perajin tempe tahu skala kecil. Dasim Sasmijo, salah satu penghuni kampung Semanan, merasakan bisnis yang menopang dapur keluarganya terasa kian pahit. Padahal, bisnis tahu melambungkan namanya di Semanan. “Saya bisa merugi hingga Rp 15.000 per hari jika tetap berproduksi,” tuturnya.Dasim punya hitungan. Dari 10 kg kedelai, dia bisa mencetak 300 tahu kuning ukuran 4 centimeter (cm) seharga Rp 350 per buah. Omzet yang diperoleh dari penjualan produksinya Rp 105.000. Setelah harga kedelai melambung hingga Rp 8.200 per kg, harga jual sekarang jelas tidak menutup biaya produksi.Saat ini, kebutuhan untuk memproduksi 300 tahu adalah 10 kg kedelai senilai Rp 80.000, seikat besar kayu bakar seharga Rp 10.000, dan bumbu pelengkap seperti kunyit dan garam senilai Rp 10.000. Dasim masih harus mengeluarkan Rp 10.000 untuk biaya tenaga kerja dan Rp 10.000 untuk kebutuhan lain seperti transportasi pemasaran tahu, air, dan listrik.Suharto, perajin lain, juga punya hitungan sendiri. Keuntungan berbisnis tahu baru dapat diperoleh saat harga kedelai berkisar di antara Rp 5.500–Rp 6.700 per kg. Untuk pembuatan tahu dengan skala kecil, perlu 100 kg kedelai seharga Rp 670.000. Agar tahu yang diproduksi tidak hambar, perajin menambahkan bumbu pembantu yang nilai belanjanya sebesar Rp 125.000 per 100 kg.Perajin juga perlu mengeluarkan dana Rp 150.000 untuk biaya upah pekerja. Komponen biaya terakhir adalah transportasi pemasaran Rp 50.000. Total biaya produksi 100 kg kedelai ternyata mencapai Rp 995.000. Sedangkan omzet yang diperoleh mencapai Rp 1,07 juta dari penjualan 2.800 tahu seharga Rp 375 per buah dan Rp 20.000 penjualan ampas untuk pakan ternak. Jika omzet dikurangi biaya produksi, margin yang diperoleh hanya Rp 75.000 per 100 kg. “Kalau harga kedelai mencapai Rp 8.000 per kg tentu perajin tidak dapat untung lagi, bahkan rugi,” keluh Suharto.Langkah menghentikan produksi juga bukan tanpa biaya. Meski usaha tidak berjalan, pengusaha dan perajin tetap harus mengurus pekerjanya, minimal memberi uang makan. “Tetap saya kasih makan. Mereka menjadi tanggungjawab saya,” ujar Subari, perajin tempe di Semanan. Para pekerja itu terpaksa kehilangan upah harian yang sekitar Rp 50.000. “Abis gimana, wong bos saja tidak kerja,” kata Supeno, seorang buruh pabrik tempe.Memilih gulung tikarSupeno termasuk yang beruntung karena masih bisa terus bekerja sampai hari terakhir sebelum pemogokan. Kawan-kawannya lebih dulu mengalami pemutusan hubungan kerja ketika harga kedelai terus naik. Sebab, pembengkakan biaya produksi memaksa sebagian perajin tahu dan tempe mengecilkan volume produksinya. Walhasil, mereka juga memangkas jumlah tenaga kerja.Dasim, misalnya, sebelumnya memiliki 20 pekerja untuk produksi tahu. Sejak awal bulan, ia terpaksa merumahkan sembilan anak buahnya. Itu imbas pengurangan produksi tahu di pabriknya dari 600 kg per hari menjadi 250 kg per hari. Pengurangan produksi itu sudah dilakukan secara bertahap dan mencapai puncaknya saat kedelai mencapai Rp 8.200 per kg. “Meski merugi, saya memilih tetap membuat tahu untuk menjaga pelanggan. Soalnya mencari pelanggan itu tidak mudah,” ujarnya.Selain mengurangi karyawan, pria yang akrab dipanggil Dodo ini juga punya siasat lain untuk mengurangi ongkos produksi. Dodo sempat mengecilkan ukuran tahu meski tetap menjual dengan harga tetap.Cuma, akibat aksinya itu, Dodo malah mendapat kecaman dari pedagang dan pelanggan. Lantaran takut pelanggan setianya kabur, dia kembali mengubah ukuran tahu sesuai ukuran standar. Pelanggan baru menyadari bahwa ia tercekik harga kedelai setelah ada aksi mogok massal.Dodo dan Subari termasuk perajin yang beruntung karena mampu mempertahankan usaha. Sebagian perajin tempe dengan skala produksi yang lebih kecil malah memilih menggulung tikar usahanya. Meski tidak mengetahui jumlah pastinya, Subari bilang, beberapa tetangganya di Semanan memilih menutup usaha dan pulang kampung. “Sambil menunggu harga kedelai turun, mereka bekerja di kampung,” katanya.Hipertindo memiliki data yang lebih menyedihkan. Berdasarkan survei dan tinjauan di lapangan sejak Maret 2012, mereka memperkirakan 4.000 perajin tempe tahu dengan skala produksi 300 kg ke bawah di area Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi telah gulung tikar. Kebanyakan dari mereka berubah status menjadi buruh tempe dan tahu. “Perajin tempe yang hilang paling banyak. Kalau pengusaha tahu paling sekitar 500 orang,” kata Johanda.Adapun sebagian perajin yang masih punya modal memilih banting setir berjualan bakso, otak-otak, nuget, dan ikan kering. Upaya itu dilakukan perajin agar tetap bertahan. Mereka melakukannya bukan cuma untuk menjaga hubungan dengan pelanggan, tapi lebih merupakan tanggungjawab menjaga nafkah anak buahnya.Pasalnya, selain rumahtangga perajin, belasan hingga puluhan buruh menggantungkan hidup pada satu perajin. Pengusaha tahu dengan skala produksi 100 kg, misalnya, minimal memiliki lima orang buruh. Sekitar 60% perajin yang mogok produksi tahu tempe saat ini beralih menjadi penjual berbagai makanan.Alasan mempertahankan produksi juga membuat perajin dan pengusaha mengail masalah baru. Menurut Johanda, perajin mulai tertarik meminjam uang pada rentenir untuk menambah modal. Padahal, bunga yang ditetapkan mencekik leher. Meminjam uang pada rentenir menjadi pilihan bagi perajin skala kecil. Pasalnya, skala bisnis yang kerdil dan kondisi bisnis yang sedang gamang membuat mereka sulit memperoleh dana pada lembaga keuangan konvensional.Opsi harga naik Tuntutan perajin tempe tahu agar pemerintah campur tangan dan menurunkan harga kedelai bukan gertak sambal. Jika harga kedelai tidak turun ke harga normal, perajin berencana menaikkan harga jual sebesar 30%-35%. Berdasarkan pemberitahuan kenaikan harga yang dirilis Puskopti, tempe dengan berat 1 kg yang semula dijual seharga Rp 4.000 akan dijual Rp 8.000. Sedangkan tempe ukuran lebih kecil seharga Rp 3.000 akan dijual senilai Rp 4.000.Lain lagi dengan tahu. Dasim yang masih menjual tahu kuning ukuran 4 sentimeter seharga Rp 350 per buah berencana menaikkan harga jual hingga Rp 400 per buah. “Saya berharap pelanggan juga mengerti kalau kami terpaksa menaikkan harga karena harga kedelai sedang tinggi,” sambungnya.Cuma, keinginan perajin menaikkan harga tetap memunculkan kekhawatiran. Meski memiliki pelanggan tetap, Dasim dan Subari mengaku waswas jika pelanggan tidak menerima harga dan beralih mengonsumsi produk pengganti lain.Maka, selain menetapkan harga, Hipertindo selaku organisasi induk perajin dan pengusaha berencana menetapkan ukuran baku tempe dan tahu yang diproduksi. Hal itu dilakukan agar persaingan usaha tetap berjalan sehat. “Respons perajin terhadap rencana pengaturan positif,” ujar Johanda.Meski mampu mengatasi persoalan sementara, para pengusaha tempe tahu sepakat bahwa menaikkan harga tidak jadi solusi bijak. Karena itu, Johanda lebih berharap pemerintah mengaktifkan kembali Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk mengurusi tata niaga bahan makanan, termasuk kedelai dan tempe-tahu. Dengan kembalinya fungsi Bulog, para pengusaha berharap, pemerintah mampu mengontrol harga dan mengawasi jalur distribusi kedelai yang selama ini dikuasai perusahaan swasta.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News