JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan pada akhir pekan, Jumat (6/12) terperosok ke zona merah. Indeks acuan Indonesia itu turun 36.11 poin atau melemah 0,86%. Sembilan sektor berkubang ke zona merah, hanya satu sektor yang ada di zona hijau, yakni sektor perkebunan. Sampai penutupan perdagangan, sektor perkebunan menjadi satu-satunya sektor yang mencatat poin positif dengan kenaikan 1,71%. Kenaikan saham-saham yang ada di sektor perkebunan memperpanjang reli yang sudah tertoreh sejak November. Dalam riset KONTAN, sektor perkebunan selama November telah menguat 14,60%. Penguatan saham sektor perkebunan terjadi saat posisi IHSG terperosok 7,31% di bulan yang sama.
Penguatan saham perkebunan disumbang oleh kenaikan saham-saham emiten kelapa sawit, diantaranya; PT PP London Sumatera Tbk (LSIP) yang mencatat kenaikan 14,28% selama November menjadi Rp 1.840. Kemudian, PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) menguat 13,52% selama November menjadi Rp 22.250. Kemudian, ada saham PT BW Plantation Tbk (BWPT) menguat hingga 37,63% selama November menjadi Rp 1.280 per saham. Bahkan, sampai dengan pekan pertama Desember ini, saham perkebunan masih mencatat tren positif. Sejumlah analis sudah memproyeksikan saham perkebunan bersama dengan saham sektor konsumen akan menjadi sektor yang prospektif sampai dengan awal tahun depan. Hal ini disampaikan oleh Andy Ferdinand, Kepala Riset Batavia Prosperindo Sekuritas. Selain Andy, ada John Daniel Rachmat, Kepala Riset Mandiri Sekuritas yang juga merekomendasikan mengoleksi saham emiten perkebunan. Menurut John, secara fundamental saham emiten sektor perkebunan berpotensi menguat karena adanya kenaikan harga minyak kelapa sawit alias
crude palm oil (CPO). Bagi John, ada beberapa saham perkebunan yang layak untuk dicermati investor, yaitu saham-saham perkebunan kelapa sawit yang masuk jajaran saham LQ45, yaitu; BWPT, LSIP dan AALI. Pengaruh Harga CPO Kenaikan kinerja saham emiten kelapa sawit tak lepas dari kenaikan harga komoditas kelapa sawit. Seperti diketahui, harga kelapa sawit belakangan sedang naik daun setelah mencuat kabar turunnya produksi CPO Indonesia tahun ini.
Bloomberg melaporkan, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia memproyeksikan, produksi CPO Indonesia tahun ini turun sebesar 1,9% menjadi 26,5 juta ton. Penurunan produksi CPO terjadi akibat adanya cuaca buruk berupa kemarau di sentra perkebunan Kalimantan dan cuaca hujan di sentra perkebunan di Sumatra. Penurunan produksi CPO itulah yang langsung mempengaruhi harga CPO Indonesia, yang merupakan produsen kelapa sawit terbesar dunia. Selama November, harga kontrak CPO di Malaysia reli 2,3%. Pada akhir November harga CPO pengiriman Februari naik ke posisi US$ 822 per metrik ton. "Ketidakpastian atas produksi minyak sawit di Indonesia memberikan dukungan kepada harga," kata Gnanasekar Thiagarajan , direktur Commtrendz Risk Management Services in Mumbai kepada
Bloomberg baru-baru ini. Kabar kenaikan harga CPO inilah yang lama ditunggu-tunggu investor. Maklum, sejak tiga tahun terakhir harga CPO melorot seiring dengan krisis global yang menghantui ekonomi dunia. Saat harga CPO naik, investor kembali melirik saham emiten komoditas utama Indonesia itu. Selain faktor produksi, kenaikan harga CPO dipengaruhi kebijakan pemerintah Indonesia yang ingin menambah pasokan CPO untuk kebutuhan biodesel di dalam negeri. "Harga CPO naik lebih tinggi karena kenaikan penggunaan CPO untuk biodiesel," kata Ivy Ng, analis CIMB Investment Bank Bhd, Rabu (4/12). Kenaikan harga CPO ini ternyata sudah diproyeksikan pelaku usaha perkebunan. Kelik Irwantono, Direktur Keuangan sekaligus Sekretaris Perusahaan BW Plantation (BWPT) bilang, kenaikan harga CPO seiring kenaikan kebutuhan CPO di domestik dan ekspor. "Saat ini saja harga CPO Rp 9 juta per metrik ton, sama dengan harga 2011. Harga bisa naik karena permintaan CPO naik tiap tahunnya," ungkap Kelik. Menyikapi potensi kenaikan harga, BWPT tak mau menunggu lama. Perusahaan telah menambah lahan perkebunan dari 27.000 hektare (ha) tahun lalu menjadi 41.000 ha tahun ini. Untuk tahun depan, perseroan akan menambah lahan seluas 10.000 ha menjadi 51.000 ha. Selain itu, perseroan juga membangun pabrik kelapa sawit kelima di Kalimantan Tengah dengan investasi US$ 10 juta - US$ 12 juta. Bagaimana peluang harga CPO tahun depan? Kenaikan harga CPO diproyeksikan tak hanya terjadi bulan ini saja. Harga komoditas yang bisa dijadikan minyak goreng, margarin, sabun, biodiesel dan lainnya itu diproyeksikan akan naik harga hingga pertengahan tahun depan. Pendapat ini disampaikan oleh Dorab E. Mistry, analis harga minyak nabati dan juga Direktur Godrej International Ltd. Ia bilang, harga CPO berjangka di Bursa Malaysian Derivatives (BMD) belakangan ini bergerak ke kisaran RM 2.600 - RM 2.900. Pergerakan harga tersebut diperkirakan Mistry terjadi hingga Maret tahun depan. "Harga CPO sudah menuju RM 2.700. Kemungkinan bisa menyentuh angka RM 3.000," jelasnya dalam sesi
price outlook Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) ke-9, di Bandung, Jumat (29/11).
Harga CPO itu bakal berkibar jika Brazil mengimplementasikan mandat penggunaan biodiesel. Jika hal tersebut dilakukan, maka pangsa pasar CPO bakal kian membesar yang bisa mengerek harga jual. Akan tetapi, Mistry tak yakin, harga CPO menguat di sepanjang tahun 2014. "Akan sangat sulit mempertahankan level harga RM 3.000 karena pajak ekspor akan meningkatkan harga FOB (
free on board) CPO," kata dia. Ia menambahkan, harga CPO diproyeksikan turun lagi pada Mei 2014. Hal ini terjadi karena pulihnya produksi CPO. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Asnil Amri