KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Isu merger antara Gojek dan Grab masih menyita perhatian masyarakat. Selain melibatkan dua perusahaan berlevel decacorn di Asia Tenggara, rumor yang berhembus dari luarnegeri itu justru terjadi disaat fundamental bisnis Gojek semakin sehat. Bahkan bulan lalu, Gojek berhasil menggaet pendanaan baru dari Telkomsel senilai US$ 150 juta. Doddy Ariefianto, Ekonom dari Universitas Bina Nusantara (Binus), menimpali, dalam skema merger atau akuisisi, yang diincar adalah nilai sinergi. Tapi, tidak selalu merger akan menghasilkan value atau nilai tambah. "Dari merger itu, ada yang sukses menghasilkan sinergi, dan ada juga yang gagal," kata Doddy, Senin (7/12). Dengan kata lain, belum tentu juga Gojek yang bisnis dan namanya lebih kuat di Indonesia membutuhkan merger. Apalagi Gojek masih bisa mengoptimalkan Indonesia sebagai pasar terbesar di Asia Tenggara.
Doddy kemudian menyoroti peluang di bisnis keuangan digital. Pangsa pasar layanan jasa keuangan seperti uang elektronik (e-money) atau dompet digital memiliki prospek yang bagus. "Sekarang ini banyak orang di negara kita maupun di luar negeri sudah semakin melek terhadap penggunaan cashless. Ini menjadi indikator yang baik buat pengembangan bisnis perusahaan seperti Gojek," imbuh Doddy yang pernah menjadi Ekonom di Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Sebelumnya, Bhima Yudhistira Adhinegara, Ekonom Indef berpendapat, dengan berbagai tekanan yang dihadapi, merger akan lebih menguntungkan Grab. "Secara bisnis, market share Gojek lebih kuat dan memiliki brand image yang lebih positif di Indonesia," kata Bhima.