Merugi, Bina Buana Raya (BBRM) tuding harga dan produksi komoditas jadi penyebab



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Pelayaran Nasional Bina Buana Raya Tbk (BBRM) masih mencetak kerugian sepanjang tahun 2018 lalu. Direktur Utama BBRM Peter menjelaskan ada beberapa hal yang menjadi sebab dari buruknya kinerja tahun lalu.

Perlambatan produksi minyak dituding menjadi biang kerok yang membuat bisnis perusahaannya lesu. “Secara sektoral, perkembangan di Asia Tenggara juga tak kalah lambat,” kata Peter dalam paparan publik BBRM, Jumat (21/6).

Pada tahun 2018 lalu, produksi minyak mentah domestik berada di angka 803.000 barel per hari. Selama tahun 2018, persentase rerata produksi minyak itu turun sebesar 15,38%. Padahal di tahun 2017 produksi minyak domestik mencapai 949.000 barel per hari.


Penurunan itu turut membuat pendapatan BBRM di sektor kapal penunjang lepas pantai turun secara drastis. Sebagai informasi, pendapatan operasional BBRM pada tahun 2018 hanya US$ 1,8 juta. Tahun 2017, BBRM mencatatkan pendapatan hampir dua kali lebih besar yaitu di angka US$ 3,47 juta. “Kami sampai harus kehilangan 46% pendapatan di sektor itu,” keluh Peter.

Hal itu turut menurunkan utilisasi kapal offshore milik BBRM. Peter mengaku sepanjang tahun 2018, utilisasi kapal offshore perusahaannya hanya sebesar 20% hingga 25%.

Sebab-sebab itu belum juga menghitung kondisi politik dalam negeri jelang pemilihan umum lalu. Kondisi itu membuat tertundanya tender dan penyewaan kapal dari klien.

Sedangkan dari segmen tongkang, BBRM juga mencatat penurunan pendapatan. Dalam laporan keuangan, pendapatan dari segmen kapal tongkang BBRM sepanjang tahun 2018 mencapai US$ 18,81 juta. Jumlah itu turun sebesar 6,64% dari pendapatan di tahun 2017 yang sebesar US$ 20,09 juta.

Untuk segmen tersebut ada beberapa sebab. Pertama, penurunan harga acuan batubara di pasar domestik di akhir tahun 2018 turut menekan pendapatan BBRM. Perang dagang antara China dan Amerika Serikat memperlambat permintaan batubara domestik ke negeri tirai bambu itu. “Harga batubara di bulan Desember berada di titik terendah yaitu US$ 92,51 per ton,” ujar Peter.

Kedua, penurunan itu juga disebabkan oleh pengurangan armada. “Untuk kapal tunda dan kapal tongkang, tahun lalu kami jual masing-masing sejumlah lima set dan tiga set,” kata Peter. Penjualan itu lantaran unit armada itu sudah tua dan justru membebani biaya yang dikeluarkan. Selain itu Peter juga mengungkap, penjualan itu merupakan bagian dari restrukturisasi utang perusahaan terhadap beberapa bank.

Kondisi bisnis yang tidak menguntungkan itu, membuat BBRM pada akhir tahun lalu mesti merugi meski jumlahnya bisa ditekan hingga 79%. Tercatat kerugian BBRM pada 2018 lalu sebesar US$ 8,05 juta. Sedangkan di tahun 2017 kerugiannya mencapai US$ 38,4 juta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati