JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bakal menelaah rencana rights issue emiten perkebunan PT BW Plantation Tbk (BWPT). Sebab, aksi korporasi ini dinilai merugikan investor retail. "Ini dokumennya baru masuk, akan kami lakukan analisa lebih lanjut," tandas Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Nurhaida, (25/9). Perlu diketahui, pasca pengumuman rights issue tersebut, para pemodal beramai-ramai melepas saham BWPT. Bahkan, kemarin saham BWPT mengalami autoreject dari semula di kisaran Rp 1.000 per saham menjadi Rp 720 per saham.
Penurunan masih berlanjut sampai hari ini. Hingga berita ini diturunkan, saham BWPT kembali mengalami autoreject, tercatat telah mengalami penurunan 180 poin atau sebesar 25% ke level Rp 540 per saham. Analis KDB Daewoo Securities Betrand Raynaldi sebelumnya berpendapat, hal ini lantaran pemodal ingin menghindari efek dilusi akibat aksi korporasi tersebut. Komposisi rights issue yang terlampau besar akan membuat pemegang saham yang tidak melaksanakan haknya terkena dilusi hingga 86%. Harga pelaksanaan rights issue yang ternyata di bawah harga pasar juga membuat investor ritel gigit jari sehingga mereka lebih memilih untuk melepas saham BWPT. Nah, soal harga inilah yang bakal dianalisa lebih lanjut oleh OJK. OJK juga akan mempertimbangkan sejumlah hal lain dalam analisanya supaya rights issue tersebut tidak merugikan investor ritel. Apakah aksi korporasi tersebut merupakan transaksi afiliasi, transaksi material, atau bahkan transaksi benturan kepentingan akan ditelaah lebih lanjut oleh OJK. "Aksi korporasi harus memenuhi ketentuan terkait. Semua dokumen (rights issue BWPT) akan kami analisa untuk menjadi dasar apakah izin efektif bisa kami berikan atau tidak," jelas Nurhaida. Rights issue hanya bisa dieksekusi jika Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) menyetujui rencana rights issue ini. Tapi, RUPSLB untuk membahas rights issue tersebut tidak bisa dilakukan selama OJK tidak memberikan izin efektif rights issue itu. Aksi korporasi tersebut memang berpotensi merugikan investor ritel. Tapi, jika berbicara keabsahan maka rights issue BWPT ini sah-sah saja. Sebab, menurut Nurhaida, pada dasarnya rights issue akan selalu sah selama harga pelaksanaannya tidak di bawah harga nominal. "Di bawah harga pasar boleh, tapi di bawah harga nominal tidak karena nanti akan timbul agio," jelasnya. Dia juga mnambahkan, seharusnya harga pelaksanaan rights issue yang dibawah pasar merupakan saat yang tepat untuk mengakumulasi saham. Sebab, rights issue hanya bisa dilakukan oleh existing pemegang saham. Nah, ketika harga pelaksanaan rights issue berada dibawah harga pasar, maka ini merupakan kesempatan pemegang saham tersebut untuk menggunakan haknya guna memperoleh saham baru, tentunya saham yang lebih banyak dengan harga yang lebih murah. Harga pelaksanaan yang dibawah harga pasar juga sebenarnya bukan menjadi masalah selama trannsaksi yang dilakukan merupakan transaksi afiliasi. Maklum saja, rights issue BWPT dilakukan untuk mengakuisisi afiliasi Grup Rajawali yang selama ini juga telah menggenggam sekitar 21% saham BWPT. "Tapi, mungkin karena ada pertimbangan tertentu, pemegang saham ritel lebih memilih melepas sahamnya untuk kemudian diserap oleh standby buyer rights issue ini," pungkas Nurhaida. Mengingatkan saja, BWPT telah memulai langkah akuisisi salah satu afiliasi Grup Rajawali, yakni Grup Green Eagle (GGE). Emiten perkebunan ini akan menawarkan 27,02 miliar saham atau setara 85,71% dari modal ditempatkan dan disetor penuhnya. Nantinya, setiap satu pemegang saham lama berhak mendapatkan enam HMETD, dengan kata lain rights issue ini memiliki rasio penwaran 1:6. Rights issue ini memberi harga pelaksanaan Rp 390 sampai Rp 411 per saham. Sehingga, BWPT akan mengantungi dana segar sekitar Rp 10,53 triliun sampai Rp 11,1 triliun.
BWPT akan menggunakan Rp 10,53 triliun keseluruhan raihan dana rights issue ini untuk mengakuisisi Grup Green Eagle. Kemudian, sisanya akan dialirkan sebagai modal kerja. Pada 22 September, BWPT telah menandatangani Condition Sale and Purchase Agreement (CSPA) dengan Green Eagle Palm Limited, perusahaan afiliasi PT Rajawali Corpora, untuk mengakuisisi 100% saham di Green Eagle Holdings Pte. Ltd. Pada 11 Agustus, anak usaha Green Eagle Holdings Pte Ltd yakni Papua Sawita Raya mengakuisisi 99,9% modal saham di 9 perusahaan perkebunan kelapa sawit. Pada posisi Juni, perusahaan yang dicaplok tersebut memiliki hak atas tanah dengan luas 128.953 hektar dan lahan tertanam 5.504 hektar. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie