Mesin ekspor, CPO bakal dikenakan pajak progresif untuk tarif bea keluar tahun depan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah berencana untuk meningkatkan tarif bea keluar minyak sawit atawa crude palm oil (CPO) tahun depan. Ini menjadi peluang pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara saat harga komoditas andalan Indonesia melejit ditambah ekspor yang menggeliat.

Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan tarif bea keluar CPO tahun depan akan menggunakan skema pajak progresif yakni tarif pungutan pajak dengan persentase yang didasarkan pada jumlah atau kuantitas objek pajak dan berdasarkan harga atau nilai objek pajak.

Dengan demikian, hal tersebut menyebabkan tarif pajak akan semakin meningkat apabila jumlah objek pajak semakin banyak dan nilai objek pajak mengalami kenaikan.


Airlangga menyampaikan, tarif bea keluar secara progresif untuk CPO sekitar US$ 12,5 setiap kenaikan harga US$ 25. Sementara untuk produk turunan CPO yang berbentuk liquid dikenakan US$ 10 per US$ 25 kenaikannya.

Baca Juga: Harga logam dan CPO naik daun, berikut saham dua sektor tersebut yang bisa dilirik

Menurut Airlangga, CPO masih menjadi mesin ekspor Indonesia. Apalagi pemulihan ekonomi global digadang-gadang sudah berlangsung di 2021. Dus, dia memprediksi nilai ekspor minyak sawit 2021 sebesar US$ 20 miliar.

Adapun, data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menunjukkan ekspor minyak sawit nasional sepanjang 2019 mencapai 36,17 juta ton dengan nilai sebesar US$ 19 miliar.

“Di tengah pandemi kita punya komoditas yang punya daya tahan sekaligus daya ungkit. Sektor pertanian ini pertumbuhannya selalu positif, sehingga ini adalah pengungkit pertama untuk memulihkan perekonomian nasional dan ini menjadi komoditas yang hilirisasinya sudah berjalan,” kata Airlangga dalam dialog virtual, Selasa (27/10) lalu.

Namun demikian, rencana kebijakan tersebut belum dibahas oleh otoritas fiskal, sebab masih dikaji di tingkat Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian.

“Belum dengan kabar itu, dan belum ada pembahasan,” kata Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan Syarif Hidayat kepada Kontan.co.id, Jumat (30/10).

Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan mengatakan pihaknya setuju dengan rencana pajak progresif CPO. Namun pemerintah harus mempertimbangan secara matang soal dampak kebijakan fiskal tersebut.

Sebab, tahun depan ketidakpastian global akibat dampak pandemi masih berlangsung. Sehingga, demand CPO terutama dari China boleh jadi menyusut.

Baca Juga: Ini tantangan yang harus segera diselesaikan dalam penerapan DMO kelapa sawit

“Pengusaha sudah diajak bertemu, tinggal tunggu keputusan dari Kemenkeu. Kalau sudah berjalan, yang jelas harus ada evaluasi berkala dengan pertimbangan dinamika ekonomi,” kata Paulus kepada Kontan.co.id.

Di sisi lain, Paulus berharap program biodiesel 30% atau B30 yang digagas oleh pemerintah dapat komitmen berjalan dan terus ditingkatkan. Cara ini bisa menyokong demand CPO dari dalam negeri, alhasil menahan harga minyak kelapa sawit agar tidak jatuh.

“Tapi dari sisi pembiayaan harus juga dilihat ketercukupan dana di Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), agar program-program dari pemerintah itu bisa jalan,” ujar Paulus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto