KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pekan lalu memang telah menegaskan, berdasarkan berbagai indikator kesehatan perbankan, saat ini kondisi perbankan Indonesia secara umum masih sehat-sehat saja Paling tidak OJK melihat tingkat stabilitas sektor jasa keuangan, termasuk perbankan, masih terjaga hingga September 2022 dan diperkirakan kondisi yang sama masih akan berlanjut sampai akhir tahun. Namun, tantangan tahun 2023 akan lebih berat. OJK mengingatkan bahwa meningkatnya risiko pemburukan ekonomi global perlu diwaspadai dampaknya.
Pengetatan kebijakan moneter global yang agresif, tekanan inflasi, serta fenomena penguatan dollar berpotensi menaikkan
cost of fund dan mempengaruhi ketersediaan likuiditas yang pada gilirannya akan mempengaruhi pertumbuhan konsumsi dan investasi nasional. Pergerakan suku bunga dan pelemahan nilai tukar berpotensi meningkatkan risiko pasar yang berpengaruh pada portfolio Lembaga Jasa Keuangan (LJK). Selain itu, risiko kredit juga berpotensi meningkat seiring dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga: OJK Perkirakan Kredit Perbankan Tahun 2023 Bisa Tumbuh di Atas 1,5 Kali PDB "Dalam upaya memitigasi
downside risks tersebut, OJK mengambil langkah-langkah proaktif untuk memastikan terjaganya stabilitas sektor jasa keuangan dengan tetap menjaga momentum pertumbuhan ekonomi," kata Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Mirza Adityaswara, Kamis (3/11). Salah satunya, OJK akan menyiapkan respon kebijakan yang bersifat
targeted dan
sectoral. Namun, regulator ini akan tetap terus melakukan penyelarasan kebijakan dengan mempertimbangkan dinamika perekonomian global dan domestik yang diperkirakan akan masih terus berubah terutama di tahun 2023. Meskipun OJK menegaskan saat ini industri keuangan dan perbankan sedang baik-baik saja, saat ini masih ada 18 bank Bank bermodal cekak harus segera memenuhi aturan kewajiban modal inti minimum Rp 3 triliun di penghujung 2022. Berdasarkan laporan keuangan per September 2022, masih terdapat 18 bank yang memiliki modal inti di bawah ketentuan regulator. Berikut daftar 18 bank yang masih belum memiliki modal inti Rp 3 triliun hingga saat ini:
- 1. Bank Bumi Arta (BNBA) bermodal inti Rp 2,23 triliun per September 2022
- 2. Bank Jtrust Indonesia (BCIC) bermodal inti Rp 2,76 triliun per September 2022
- 3. Bank Ganesha (BGTG) bermodal inti Rp 2,15 triliun per September 2022
- 4.Bank Ina Perdana (BINA) bermodal inti Rp 2,32 triliun per September 2022
- 5. Bank Capital (BACA) bermodal inti Rp 2,08 triliun per September 2022
- 6. Bank Maspion (BMAS) bermodal inti Rp 1,34 triliun per September 2022
- 7. Bank Bisnis Internasional (BBSI) bermodal inti Rp 2,13 triliun per September 2022
- 8. Bank Aladin Indonesia (BANK) bermodal inti Rp 2,00 triliun per September 2022
- 9. Bank Neo Commerce (BBYB) bermodal inti Rp 2,22 triliun per September 2022
- 10. Bank Victoria Internasional (BVIC) bermodal inti Rp 2,50 triliun per September 2022
- 11. Bank Oke Indonesia (DNAR) bermodal inti Rp 2,96 triliun per September 2022
- 12. Bank of India Indonesia (BSWD) bermodal inti Rp 2,00 triliun per September 2022
- 13. Bank Indeks Selindo bermodal inti Rp 2,09 triliun per September 2022
- 14. Bank SBI Indonesia bermodal inti Rp 2,21 triliun per September 2022
- 15. Prima Master Bank (Bank Prima) bermodal inti Rp 227 miliar per Juni 2022
- 16. Bank Amar Indonesia (AMAR) bermodal inti Rp 18,97 triliun per Juni 2022
- 17. Bank MNC Internasional (BABP) bermodal inti Rp 2,23 triliun per Juni 2022
- 18. Bank Nationalnobu (NOBU) bermodal inti Rp 1,60 triliun per Juni 2022
Baca Juga:
Dua Bank yang Belum Penuhi Ketentuan Modal Inti Rupanya Milik BUMN India Sebagian besar dari bank tersebut telah mengumumkan langkah pemenuhan modal inti tersebut melalui aksi rights issue. Adapun rights issue yang paling besar akan digelar oleh Bank Neo Commerce (BNC) di sisa tahun ini dengan target dana segar hingga Rp 5 triliun. Bank digital yang dimiliki oleh Akulaku ini telah memiliki modal inti Rp 2,11 triliun per September 2022. Direktur Utama BNC Tjandra Gunawan menyatakan komitmen untuk memenuhi kewajiban pemenuhan modal inti. Ia mengatakan tengah menjalankan proses pelaksanaan
right issue yang akan rampung di Kuartal IV tahun ini. Sebelumnya ia menyatakan dengan aksi korporasi ini, BNC akan memiliki modal inti hingga Rp 7 triliun guna memacu pertumbuhan bisnis. PT Bank Oke Indonesia Tbk misalnya telah mengantongi modal inti Rp 2,96 triliun per September 2022. Bank Dinar telah menawarkan 2,94 miliar saham baru dengan harga Rp 170 per saham. Wakil Direktur Utama Bank Oke Hendra Lie menyatakan aksi korporasi ini sudah dilakukan pada akhir bulan lalu. “Penambahan modal ini sesuai komitmen untuk mendukung bisnis khususnya penyaluran kredit. Dengan ini, kami sudah memenuhi ketentuan modal inti minimum,” ujar Hendra kepada Kontan.co.id pada Rabu (2/11).
Baca Juga: Hingga September 2022, Sebanyak 18 Bank Belum Miliki Modal Inti Minimum Rp 3 Triliun Ada juga Bank Amar yang akan melakukan
rights issue dengan mengincar dana segar senilai Rp 1,28 triliun. Guna mencapai target itu, Bank Amar menerbitkan 4,56 miliar saham baru dengan harga pelaksanaan; Rp 280 pe saham. "Dana ini akan digunakan untuk memperkuat struktur permodalan perusahaan dalam rangka memenuhi modal inti minimum bank sebagaimana yang diatur dalam Peraturan OJK No.12/POJK.03/2020," kata manajemen Bank Amar. Bila rencana ini berjalan sesuai rencana, maka Bank Amar bisa memenuhi ketentuan OJK tepat waktu. Sebab bank yang sebagian kecil sahamnya dimiliki oleh Investree ini baru memiliki modal inti Rp 1,89 triliun hingga Juni 2022. Upaya lebih ekstra harus dilakukan oleh Bank Prima Master karena masih memiliki modal inti Rp 227 miliar hingga Juni 2022. Sempat beredar rumor bank cilik ini akan diakuisisi oleh PT Bank Mandiri (Persero) Tbk untuk dijadikan bank digital. Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri Rudi As Aturridha mengatakan, hingga saat ini, Bank Mandiri belum memiliki rencana untuk melakukan aksi korporasi berupa akuisisi bank. Namun, ia bilang, bank pelat merah tersebut akan mengkaji seluruh opsi atau strategi yang mungkin dilakukan dalam pengembangan bisnis, serta peluang apapun yang terbuka di pasar. "Tentunya yang sesuai dengan tujuan atau objektif dengan ekspektasi target
market serta sejalan dengan strategi transformasi Bank Mandiri secara jangka panjang," kata Rudi. Adapun
Vice President Infovesta Utama Wawan Hendrayana menyatakan investor perlu mencermati tiga hal sebelum membeli saham emiten yang akan menggelar
rights issue. Tiga hal tersebut diantaranya, kondisi fundamental perusahaan, prospek bisnis dan tujuan penggunaan dana. Baca Juga:
Terancam Dimerger Paksa, Ini 23 Daftar Bank dengan Modal Inti di Bawah Rp 3 Triliun Biasanya, penggunaan dana untuk ekspansi akan jauh lebih diminati ketimbang dipakai buat pembayaran utang. Dalam hal ini, perlu diperhatikan ekspansi yang akan dilakukan emiten apakah bersifat organik atau anorganik. Sebab, mesti dipahami bahwa
rights issue tidak secara otomatis bisa memberikan tambahan profit bagi emiten, walau asetnya akan bertambah. Di sisi lain, ekspansi bisnis yang direncanakan perusahaan juga butuh waktu untuk berkembang. Selain itu, ada faktor lain yang perlu dicermati yakni keberadaan
standby buyer atau investor yang siap membeli saham baru. Rekam jejak bisnis dan kapasitas modal dari
standby buyer akan melengkapi kesuksesan
rights issue. Industri Perbankan Meskipun masih ada 18 bank yang gencar mencari tambahan modal agar bisa memenuhi aturan modal minimum, secara umum perbankan Indonesia masih lebih sehat dibandingkan dengan krisis-krisis sebelumnya yakni krisis 1998, ataupun krisis 2008. Direktur Eksekutif Setara Institute Piter Abdullah memandang kondisi perbankan saat ini masih sangat sehat dan stabil yang ditunjukkan oleh indikator permodalan, likuiditas, keuntungan, serta kualitas asset (NPL). Kondisi tersebut menurutnya didukung oleh perekonomian yang masih terus menunjukkan pemulihan. Pertumbuhan ekonomi triwulan III bahkan diprediksi akan tumbuh lebih tinggi lagi. "Tahun depan meskipun global diprediksikan suram, Indonesia diyakini akan bertahan melanjutkan pemulihan ekonominya. Seiring dengan itu perbankan diperkirakan akan juga tetap stabil dan sehat," kata Piter. Ia mengakui memang ada risiko atau potensi tekanan perbankan tahun depan, terutama terkait kualitas asset. Namun, perbankan menurutnya sudah membentuk cadangan yang cukup untuk mengantisipasi resiko itu dan proses pemulihan ekonomi akan membantu secara bertahap mengurangi risiko tersebut. Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan melihat bahwa ancaman resesi, inflasi dan kenaikan suku bunga masih akan menjadi kekhawatiran bagi industri perbankan karena itu berpotensi meningkatkan kredit macet. Oleh karena itu, bank menurutnya perlu melakukan identifikasi sejak dini risiko kredit macet tersebut bila ingin tetap bisa bertahan ditengah gejolak risiko tahun 2023.
Terlepas dari itu, ia memandang bahwa perbankan di Indonesia masih memiliki peluang untuk bertahan lebih baik dibanding negara lain karena pasar konsumsi di Indonesia masih tinggi.
Baca Juga: OJK akan Perpanjang Restrukturisasi Covid-19, Sektornya Masih Dikaji Lebih Lanjut "Sepanjang ekonomi masih bisa terus bergerak, bank juga akan tetap bisa bertumbuh apalagi didukung stimulus dari pemerintah dan adanya kolaborasi dalam bentuk kelompok usaha bank yang akan saling mendukung dan menguatkan satu sama lain," kata Trioksa. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Syamsul Azhar