KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Dunia melaporkan, peningkatan upaya dalam memperluas cakupan dan implementasi bantuan sosial telah membantu mengurangi dampak dari pandemi Covid-19. Pasalnya, cakupan program bantuan sosial unggulan Program Keluarga Harapan (PKH) telah mencapai 97,2%. Dalam laporannya bertajuk Poverty & Equity Brief East Asia & Pacific (2022) disebutkan bahwa meskipun ada peningkatan bantuan sosial, ketimpangan di Indonesia telah mengalami stagnasi dengan indeks gini tetap berada di 37,9 sejak Maret 2021. Word Bank menilai, potensi kerugian akibat Covid-19 dapat mempengaruhi ketimpangan dan dapat menyebabkan peningkatan ketimpangan dalam jangka panjang jika tidak dimitigasi.
Baca Juga: Bank Dunia Ingatkan Stagnasi Tingkat Ketimpangan Ekonomi Indonesia Selain itu, kenaikan harga BBM belum lama ini juga diperkirakan akan meningkatkan inflasi dan akan mempengaruhi mata pencaharian masyarakat di dalam negeri. Dengan rumah tangga yang hanya menghabiskan sekitar 3% dari konsumsi bahan bakar di seluruh populasi, dampak langsung terhadap kemiskinan akan terbatas, meskipun dampak tidak langsung akibat kenaikan biaya transportasi perlu dipertimbangkan. Sementara itu, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan bahwa inflasi yang terus meningkat juga berpotensi akan mengerek tingkat kemiskinan hingga di angka 10%. Dengan begitu ketimpangan bisa stagnan bahkan meningkat. "Kemiskinan diprediksi akan meningkat terlebih karena adanya peningkatan inflasi," ujar Huda kepada Kontan.co.id, Senin (10/10). Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebut, naiknya ketimpangan di Indonesia disebabkan oleh booming harga komoditas ditengah penguasaan akses sumber daya alam (SDA) yang belum merata. Selain itu, Bhima melihat bahwa kemampuan kelompok pendapatan atas dalam memitigasi risiko dengan pengalihan portofolio juga merupakan pemicu naiknya ketimpangan pasca pandemi covid-19. "Sementara masih terdapat setidaknya 10 juta pekerja yang terdampak oleh pandemi, di pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga gajinya dipotong," ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Senin (10/10). Menurutnya, dengan inflasi yang meluas diberbagai jenis barang maka tekanan daya beli kelompok miskin dan rentan akan semakin berat. Dengan situasi tersebut, tidak hanya bisa diatasi dengan pemberian bantuan sosial (bansos) saja, tapi perlu adanya kebijakan fiskal yang lebih progresif misalnya pengenalan pajak terhadap kekayaan bukan sekedar pajak pendapatan, dan pengenaan pajak karbon bagi sektor penyumbang emisi.
Baca Juga: Sri Mulyani Sebut Gejolak Ekonomi Tahun Depan Akan Diantisipasi dengan Hati-hati "Walau tidak banyak karena situasi ketimpangan bisa menjadi bom waktu risiko sosial politik," ungkap Bhima.
Di sisi lain, Bhima mengungkapkan, untuk mengurangi kemiskinan maka perlu kombinasi perluasan program pemerintah misalnya soal dukungan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) melalui subsidi bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang diperbesar. "Bahkan kalau bisa suku bunga KUR turun jadi 3% dan plafonnya dinaikkan," kata Bhima kepada Kontan.co.id, Senin (10/10). Bhima menambahkan, dalam menghadapi situasi tekanan disektor formal, secara histori UMKM bisa diandalkan sebagai bantalan dari lonjakan pengangguran. Setidaknya ketika di PHK dari sektor formal seperti industri manufaktur, bisa terjaga pendapatannya sampai menemukan pekerjaan baru seperti di sektor usaha mikro ataupun berjualan melalui platform digital. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi