KONTAN.CO.ID - JAKARTA.
Inverted yield curve kembali terjadi di pasar obligasi Amerika Serikat (AS). Berdasarkan data tradingeconomics.com, obligasi AS dengan tenor tiga tahun (3Y) menawarkan imbal hasil sebesar 4,18%, lebih tinggi dari
return obligasi tenor sepuluh tahun (10Y) yang sebesar 3,88%. Padahal, idealnya,
return obligasi jangka panjang lebih tinggi daripada
return obligasi jangka pendek. Di dalam negeri,
yield obligasi Indonesia tenor 3Y berada di level 6,44%, lebih rendah dari
yield obligasi 10Y yang sebesar 6,90%. Analis Fixed Income Sucorinvest Asset Management Alvaro Ihsan mengatakan,
inverted yield curve di pasar obligasi AS menunjukkan dua hal.
Pertama, adanya potensi pelemahan ekonomi hingga resesi global yang terjadi dalam beberapa kuartal ke depan.
Kedua, kenaikan suku bunga bank sentral AS The Fed diperkirakan akan mencapai puncaknya sehingga ada ekspektasi bahwa suku bunga bakal kembali turun. Konsesus pasar memprediksi, puncak kenaikan suku bunga The Fed akan terjadi pada kuartal pertama 2023.
Baca Juga: Pefindo Menguasai 81,09% Pangsa Pasar Pemeringkat Domestik di Tahun 2022 Suku bunga acuan The Fed kemungkinan akan berada di kisaran 5%-5,5%, dari level saat ini di 4,25%-4,50%. Sementara itu, suku bunga acuan Bank Indonesia diperkirakan akan naik lagi ke 6%-6,25% dari level saat ini di 5,50%. Sementara itu, Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Ramdhan Ario Maruto melihat,
inverted yield curve yang terjadi lebih disebabkan oleh faktor likuiditas. Ada kelompok investor tertentu yang lebih menyukai obligasi bertenor sepuluh tahun sehingga terjadi penurunan
yield. Ramdhan sendiri belum melihat
inverted yield curve ini sebagai tanda resesi di AS. Pasalnya, potensi resesi AS kembali mereda berkat perbaikan sejumlah data makroekonomi. Meski terjadi
inverted yield curve di pasar obligasi AS, Alvaro menilai obligasi Indonesia maupun global sudah menawarkan
yield yang lebih menarik bagi investor. Hal ini membuat minat terhadap obligasi akan kembali meningkat. "Hal yang perlu diwaspadai adalah kemungkinan terjadi resesi di AS maupun negara Eropa dalam beberapa kuartal berikutnya meskipun tidak akan berdampak signifikan bagi Indonesia," kata Alvaro saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (29/12).
Baca Juga: Ada Sinyal Resesi pada US Treasury, Fluktuasi Pasar Obligasi Berlanjut Menurut Alvaro, obligasi berpeluang mencatatkan kinerja yang positif ke depannya ketika masa
inverted yield curve terlewati. Investor mulai akan memburu obligasi tenor panjang seiring dengan ekspektasi suku bunga ke depan akan turun. Saat ini, indeks obligasi (INDObex) sudah menunjukkan penguatan yang lumayan sejak November 2022. Hal ini menjadi sinyal positif bagi investor untuk bisa melakukan diversifikasi ke aset obligasi.
Investor juga bisa mengoleksi obligasi ketika inflasi AS sudah menunjukkan perlambatan yang berkelanjutan. "Karena suku bunga The Fed akan mulai ditahan ketika inflasi AS sudah melambat secara
sustainable dan dapat turun ketika inflasi sudah mengarah ke target inflasi AS yaitu 2%," ucap Alvaro. Ramdhan juga menilai saat ini menjadi waktu yang tepat untuk masuk ke obligasi. Pasalnya masih ada potensi kenaikan suku bunga sehingga harga obligasi masih akan naik lagi. Meskipun begitu, Ramdhan menyarankan untuk masuk secara bertahap. "Pasar cukup dinamis dan masih dibayangi risiko ketidakpastian terutama akibat konflik Rusia-Ukraina yang masih berlanjut. Akan tetapi, dengan stabilnya kondisi makroekonomi Indonesia, pasar obligasi Indonesia tetap memberikan
yield yang menarik," kata Ramdhan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati