Meski anggaran subsidi membengkak, pemerintah enggan naikkan harga BBM



JAKARTA. Realisasi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam enam bulan pertama tahun ini diperkirakan akan mencapai Rp 41,6 triliun, atau sekitar 43,37% dari total alokasi subsidi BBM dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2011 yang sebesar Rp 95,9 triliun. Jumlah ini lebih besar ketimbang realisasi Semester I tahun 2010 yang sebesar Rp 30,2 triliun dari target Rp 88,9 triliun. Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan, tingginya realisasi belanja subsidi BBM untuk semester I 2011 merupakan implikasi dari kenaikan ICP hingga Mei 2011 yang mencapai US$ 110,4 per barel dari tahun lalu yang sebesar US$ 82,2 per barel.

"Tingginya realisasi belanja subsidi BBM semester I ini juga disebabkan adanya perkiraan peningkatan volume konsumsi BBM bersubsidi hingga Mei yang mencapai 16,5 juta kilo liter atau sekitar 42,8% dari pagu APBN atau naik 7,4% dari periode yang sama tahun lalu," ujarnya saat rapat dengan Badan Anggaran DPR Senin (4/7).Sementara itu, Agus bilang prognosis semester II dana subsidi BBM akan mencapai Rp 79,2 triliun. Alhasil, total dana subsidi BBM tahun ini akan mencapai Rp 120,8 triliun. Jumlah ini membengkak 25,9% ketimbang pagu APBN yang sebesar Rp 95,9 triliun.Meski subsidi BBM membengkak, tapi Agus bilang hingga saat ini pemerintah belum berniat untuk menaikkan harga BBM. "Sampai saat ini kita tidak berencana untuk menaikkan harga BBM, meski tidak akan menutup kemungkinan itu," jelasnya.Sebagai langkah antisipasi, pemerintah berjanji akan berkoordinasi di semua tingkat untuk menjaga agar BBM bersubsidi bisa terkendali. Asal tahu saja, konsumsi BBM bersubsidi diperkirakan membengkak dari 38,6 juta kilo liter menjadi sekitar 38,9 juta kilo liter - 40,4 juta kilo liter.Agus berharap, pengendalian BBM ini akan bisa membuat anggaran BBM bisa terkontrol. Ia bilang, pemerintah telah menyiapkan inisiatif pengendalian BBM subsidi sejak Oktober 2010. "Inisiatif-inisiatif yang telah disiapkan sejak Oktober 2010 ini akan terus dipertajam untuk bisa diimplementasikan agar bisa mengendalikan pos subsidi," katanya.Defisit anggaran 2,1%Membengkaknya alokasi anggaran pemerintah untuk subsidi sudah barang tentu memiliki konsekuensi pembengkakan defisit anggaran. Pemerintah memperkirakan defisit APBN tahun ini akan membengkak Rp 26,4 triliun menjadi Rp 151,1 triliun atau 2,1%. Nilai lebih tinggi ketimbang perkiraan defisit APBN 2011 yang sebesar 1,8%.Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan realisasi APBN semester I 2011 diperkirakan akan mengalami surplus sebesar Rp 38,6 triliun . Tapi, pada semester II tahun ini baru akan terjadi defisit sebesar Rp 187,9 triliun akibat penerimaan negara lebih rendah ketimbang anggaran belanja yang harus dikeluarkan. “Alhasil, outlook 2011 diperkirakan mengalami defisit 2,1% lebih besar dari target defisit APBN yang sebesar 1,8%," jelasnya.Untuk penerimaan negara dari sisi perpajakan hingga semester I tahun ini diperkirakan mencapai Rp 386,7 triliun atau 45,5% dari target APBN yang sebesar Rp 850,3 triliun. Sedangkan pada paruh kedua tahun ini, Agus memperkirakan penerimaan pajak bisa mencapai Rp 490,3 triliun. Dengan begitu, total penerimaan pajak selama tahun 2011 bisa mencapai Rp 877 triliun (103,1% dari target.

"Sementara itu, realisasi PNBP (penerimaan negara bukan pajak) 2011 diperkirakan Rp 280,7 triliun atau 111,9% dari target 2011 karena rata-rata ICP kemungkinan lebih tinggi dari asumsi (APBN US$80 per barel), bisa mencapai US$ 95 per barel,” ujarnya.Sementara itu, untuk realisasi belanja pemerintah pusat, Agus perkiraan pada semester I ini mencapai sebesar Rp 263,3 triliun. Pada semester II, realisasi belanja pemerintah diperkirakan akan naik menjadi Rp 645 triliun. Kenaikan belanja ini terjadi karena pemerintah harus mengeluarkan anggaran tambahan antara lain untuk renumerasi kementerian/lembaga (K/L), pembelian alutsista, program kluster IV, pembangunan perumahan eks pengungsi Timtim, dan PNPM Mandiri. Selain itu, ada tambahan anggaran pendidikan sebesar Rp14,5 triliun, menyesuaikan dengan pembengkakan APBN.Agus bilang beban subsidi juga berpotensi membengkak di semester II, seiring dengan naiknya harga minyak dan meningkatnya konsumsi minyak. Beban subsidi ini diperkirakan meningkat Rp 57 triliun, dari rencana Rp 187,6 triliun di APBN menjadi Rp 244,5 triliun. “Hal itu karena implikasi kenaikan ICP dari US$80/barel menjadi US$95/barel dan volume konsumsi BBM, dari 38,6 juta kl menjadi 38,9-40,5 juta kl,” tuturnya.Melchias Markung Mekeng, Ketua Badan Anggaran DPR, menyayangkan sikap pemerintah yang lebih memilih menambah anggaran belanja subsidi ketimbang belanja modal, yang sebenarnya bisa mendorong produktivitas. Bahkan, "Pemerintah lebih memilih menambah anggaran yang habis dibakar (subsidi BBM), bukan untuk infrastruktur," katanya.Karenanya, ia bilang perhitungan pemerintah mengenai belanja subsidi yang membengkak tersebut akan dibawa ke Tim Perumus untuk dibahas lebih lanjut.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini