KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tiga emiten kuliner sudah merilis laporan keuangan tahun lalu. Hasilnya, pendapatan ketiga emiten rata-rata tumbuh. Adapun laba bersih bervariasi. MAP Boga Adiperkasa (MAPB), misalnya, meraih laba 2017 senilai Rp 94,46 miliar. Realisasi ini menyusut 18,53% dibandingkan laba bersih 2016
(lihat tabel). Maklum, daya beli bukan menjadi satu-satunya sentimen yang mempengaruhi kinerja emiten kuliner. Persaingan ketat, preferensi dan selera masyarakat turut mempengaruhi bisnis kuliner.
Analis Binaartha Parama Sekuritas Muhammad Nafan Aji menyebutkan, persaingan bisnis yang cukup ketat membuat emiten kuliner tergencet. Apalagi, ayam goreng tepung yang menjadi andalan Fast Food Indonesia (FAST) dan Pioneerindo Gourmet International (PTSP) bisa diduplikasi pemain lain, baik perusahaan besar maupun kecil. FAST mengusung
brand Kentucky Fried Chicken (KFC) dan PTSP mengandalkan California Fried Chicken (CFC). "Meski daya beli masyarakat baik, persaingan ketat membuat laba menurun. Dalam hal ini, FAST harus mampu menjaring pelanggan dengan inovasi dan menerapkan
discount price," ujar Nafan. Begitu pula emiten pengelola
franchise besar seperti MAPB yang menyasar kelas menengah atas. Pemilik gerai kopi Starbucks ini hanya mampu berekspansi di beberapa lokasi strategis dan sesuai pangsa pasarnya. Apalagi kini banyak gerai kopi kelas UKM menawarkan harga lebih rendah. Direktur MAPB Fetty Kwartati menyatakan, laba menyusut pada tahun lalu karena Starbucks ekspansi gerai. "Perlu waktu untuk normalisasi pencapaian
sales yang optimal," ujar dia kepada KONTAN, Selasa (3/4).
Vice President Research Department Indosurya Bersinar Sekuritas William Surya Wijaya menilai, peningkatan pendapatan sebenarnya menandakan konsumsi masyarakat baik. Namun laba bersih melorot lantaran disumbangkan faktor internal seperti beban usaha atau pembayaran lisensi
franchise. Dari tiga emiten kuliner, PTSP mencatatkan pertumbuhan laba bersih pada tahun lalu, yakni 208% menjadi Rp 7,88 miliar. Walau pun laba bersihnya tumbuh, saham PTSP stagnan. Nafan mengungkapkan, likuiditas saham emiten kuliner memang rendah. Sebab, kapitalisasi pasarnya rendah, sehingga tak banyak
trader memperdagangkan saham emiten kuliner.
Selain itu, valuasi emiten ini cukup tinggi. Misalnya PTSP punya
price earning ratio (PER) 190,52 kali. Harga PTSP tak bergerak di Rp 7.300 per saham. Saham ini memang tidak likuid. Adapun MAPB memiliki PER 42,38 kali, dengan harga Rp 1.855 per saham. Sedangkan FAST punya PER paling rendah, yaitu 17,37 kali di harga Rp 1.450 per saham. "Secara fundamental, PER FAST masih dikategorikan wajar," ujar Nafan. Dia bilang, dengan PER tinggi dan likuiditas rendah, PTSP belum layak koleksi. Sedangkan dua emiten kuliner lainnya masih bisa dikoleksi dalam jangka panjang atau sekitar satu tahun. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati