KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam rilis indikator likuiditas pertengahan April 2018 mengatakan pertumbuhan kredit perbankan diprediksi lebih deras dibandingkan dana pihak ketiga (DPK) tahun ini. Menurut LPS, pertumbuhan DPK di awal tahun cenderung lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan kredit. Lihat saja, data LPS memperlihatkan per Januari 2018 lalu kredit bank umum hanya naik ke level 7,4% secara year on year (yoy). Sedangkan laju pertumbuhan DPK pada periode yang sama lebih deras mencapai 8,36% di bulan Januari 2018. LPS menilai, kredit baru akan mulai menanjak memasuki kuartal II tahun ini, salah satunya ditopang oleh membaiknya prospek perekonomian dan tingkat bunga kredit yang kompetitif. Di sisi lain, pertumbuhan DPK diproyeksikan tumbuh stabil di tengah masih tingginya likuiditas.
Belum lagi, ada risiko volatilitas di pasar keuangan, terutama nilai tukar, sehingga dapat mempengaruhi kondisi tingkat bunga dan pertumbuhan DPK valuta asing (valas). Dus, sampai akhir tahun 2018 pertumbuhan kredit diprediksi akan ada di kisaran 10% sementara DPK sedikit lebih rendah di 8%. Pertumbuhan kredit yang lebih deras, sebenarnya sudah terjadi pada kuartal I-2018. Data yang diumumkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, per Maret 2018 kredit perbankan meningkat sebesar 8,54% yoy. Sementara DPK tumbuh lebih lambat sebesar 7,66% saja di kuartal pertama tahun ini. Meski diprediksi akan tumbuh lebih lambat, Direktur Keuangan PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur Tbk (Bank Jatim) Ferdian Satyagraha menilai DPK masih bisa tumbuh lebih tinggi dibanding kredit tahun ini. Salah satunya ditopang oleh sentimen bakal naiknya suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) Fed Fund Rate (FFR) "Menurut kami DPK masih tumbuh lebih tinggi dibandingkan kredit, dan dengan potensi kenaikan The Fed, ada potensi deposit rate naik sehingga ada sedikit potensi kenaikan DPK," ujarnya kepada Kontan.co.id, Jumat (27/4) Meski begitu, sampai saat ini bank bersandi emiten BJTM ini belum akan merevisi target pertumbuhan kredit dan DPK sampai akhir 2018. Ferdian mengatakan, tahun ini DPK Bank Jatim diprediksi akan tumbuh di level 10%. Sementara kredit masih akan tumbuh lebih tinggi yaitu di posisi 10,65%. Bila merujuk pada laporan keuangan perseroan, pada kuartal I-2018 pertumbuhan kredit Bank Jatim memang masih lebih lambat. Tercatat di tiga bulan pertama kredit perseroan baru tumbuh 7,22% yoy menjadi Rp 31,4 triliun. Sementara DPK sudah lebih tinggi kenaikannya mencapai 8,48% yoy menjadi Rp 44,99 triliun. Senada dengan Bank Jatim, Direktur Utama PT Bank Mayapada Internasional Tbk Hariyono Tjahjarijadi mengatakan keduanya baik kredit dan DPK masih bisa didorong untuk tumbuh. Asalkan, suasana ekonomi saat ini bisa lebih kondusif. "Supaya produsen dan konsumen bisa sama-sama mendorong pertumbuhan ekonomi karena saat ini mesin penggerak utama masih dari sektor konsumtif," kata Hariyono. Belum lagi, bank yang terafiliasi dengan Mayapada Group ini menilai kondisi fluktuasi rupiah juga bisa berdampak pada kinerja perbankan. Meski bersifat sesaat, Hariyono menilai kondisi fundamental ekonomi Amerika Serikat belum sebaik yang diharapkan, namun dengan menaikkan bunga obligasi pemerintah Amerika Serikat menjadi 3% maka pasar uang atau valas mengalami sedikit guncangan, terutama pada DPK perbankan. Adapun sampai akhir tahun, bank bersandi emiten bursa MAYA ini masih memprediksi kredit dan DPK dapat tumbuh 17% sampai 18%. Sedikit berbeda, Presiden Direktur PT Bank OCBC NISP Tbk Parwati Surjaudaja sepakat bahwa sampai dengan kuartal I-2018 pinjaman cenderung lebih deras dibanding DPK. Hal ini dikarenakan adanya kebutuhan likuditas nasabah untuk pembayaran tahunan seperti pajak, pembayaran dividen dan lain-lain. Di sisi lain, posisi loan to deposit ratio (LDR) perseroan pun sudah cukup tebal di 90%. Artinya, dari segi likuiditas memang belum ada kebutuhan tambahan. Catatan saja, per kuartal I-2018 kenaikan kredit OCBC NISP memang cukup tinggi sebesar 16,8% yoy menjadi Rp 108,09 triliun. Sementara DPK baru tumbuh 11,54% menjadi Rp 119,02 triliun.
Parwati mengisyaratkan di kuartal II pertumbuhan dana dan kredit sudah lebih seimbang dibanding kuartal I-2018. Menurutnya, pertumbuhan DPK tahun ini akan lebih sulit dibanding tahun lalu. Salah satu penyebabnya antara lain tren penanaman investasi oleh nasabah ke produk non perbankan. Salah satu contohnya, produk Obligasi Ritel Indonesia (ORI). "Ini juga akan berdampak ke pertumbuhan dana bank, karena produk bank bukan jadi yang utama lagi sekarang seiring rendahnya suku bunga," tutur Parwati. Sampai akhir tahun bank bersandi saham NISP ini mematok kredit dan DPK akan tumbuh masing-masing di kisaran 10% sampai 15%. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sofyan Hidayat