JAKARTA. Meski industri pengolahan udang bertumbangan karena kekurangan bahan baku, keran impor udang tidak lantas dibuka. Victor Nikijuluw, Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menuturkan, sampai saat ini pemerintah belum memiliki rencana untuk membuka keran impor udang khususnya jenis vannamae guna menutupi kebutuhan bahan baku industri pengolahan.Pemerintah lebih mengutamakan opsi lain untuk menutupi kekurangan bahan baku. Pertama, KKP akan terus mendorong peningkatan produksi udang nasional. Victor bilang, produksi nasional tetap menjadi ujung tombak dalam menopang kebutuhan industri pengolahan. Di sisi lain, potensi produksi udang di beberapa daerah masih memungkinkan untuk ditingkatkan. Terlebih, serangan virus IMNV yang menyerang sejak tahun 2009 sudah mulai bisa diatasi. "Ini yang harus kita perkuat karena potensinya masih bisa ditingkatkan," ungkap Victor kepada KONTAN, Kamis (30/6).KKP juga akan mendorong industri pengolahan untuk beralih dari mengolah udang vannamae ke jenis udang lain seperti udang windu. Selama ini, industri pengolahan udang memang hampir seluruhnya tergantung pada udang vannamae. Padahal, lanjut Victor, Indonesia memiliki jenis udang lain yang cukup banyak dan dari sisi kualitasnya memungkinkan untuk menjadi bahan baku pengolahan. Diversifikasi bahan baku udang seperti itu diyakini akan meminimalisir kekurangan bahan baku.Tigor Chandrama, Direktur Utama PT Bomar, perusahaan pengolahan udang di Makassar mengungkapkan, perusahaanya memang tidak berharap banyak pada impor udang meski saat ini tengah kekurangan bahan baku. Sejak tahun lalu, utilisasi produksi PT Bomar hanya 50% dari kapasitas produksi yang mencapai 20.000 ton per tahun. Kondisi itu tidak hanya terjadi pada PT Bomar saja, tapi juga industri pengolahan udang di Sulawesi secara keseluruhan. Kapasitas terpasang pengolahan udang di Sulawesi sebenarnya mencapai 60.000 ton per tahun. Namun, sejak tahun lalu, utilisasinya hanya berkisar 30% saja. Hal itu terjadi karena pasokan udang dari penambak di Sulawesi Selatan (Sulsel) terbilang minim.Meski begitu, Tigor bilang, kondisi itu tidak lantas membuat PT Bomar ingin mengimpor udang. PT Bomar lebih memilih untuk membangun instalasi produksi benih udang sendiri seluas 4 hektare. Kapasitas instalasi ini mencapai 1 miliar ekor benih udang per tahun. "Investasi awal instalasi ini sebesar Rp 30 miliar," ungkap Tigor.Tigor bilang, cara pengembangan udang seperti itu diyakini lebih efektif untuk menopang produksi perusahaannya. Ia melihat impor udang justru tidak akan terlalu efektif untuk memenuhi kebutuhan pengolahan. Pasalnya, kalaupun dibuka kembali, izin impor udang itu memerlukan waktu yang lama. Ini diperparah dengan harga udang impor yang biasanya lebih mahal ketimbang udang lokal. "Impor udang, bagi kami, tidak menyelesaikan masalah," tukas Tigor.Sebelumnya, Iwan Sutanto, Ketua Shrimp Clubb Indonesia (SCI) menuturkan, pemerintah memang sebaiknya tidak membuka wacana impor udang karena produksi nasional sedang menunjukkan tren meningkat. Produksi udang di Medan misalnya saat ini sudah mencapai 1.500 ton per bulan. Ini naik dibandingkan produksi di tahun 2010 yang sebanyak 600 ton per bulan. Kondisi yang sama terjadi di Lampung dan Jawa Timur. Produksi udang di 2 daerah itu sudah menembus 2.000 ton per bulan. Ini naik dari produksi tahun 2010 yang secara rata-rata hanya 800 ton per bulan.Impor udang juga bisa berdampak negatif pada produksi udang nasional dan merusak harga udang di pasaran sehingga merugikan penambak lokal. "Perbaiki saja produksi lokal karena potensinya masih tinggi," ungkap Iwan beberapa waktu lalu.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Meski industri udang nasional bertumbangan, pemerintah belum akan impor udang
JAKARTA. Meski industri pengolahan udang bertumbangan karena kekurangan bahan baku, keran impor udang tidak lantas dibuka. Victor Nikijuluw, Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menuturkan, sampai saat ini pemerintah belum memiliki rencana untuk membuka keran impor udang khususnya jenis vannamae guna menutupi kebutuhan bahan baku industri pengolahan.Pemerintah lebih mengutamakan opsi lain untuk menutupi kekurangan bahan baku. Pertama, KKP akan terus mendorong peningkatan produksi udang nasional. Victor bilang, produksi nasional tetap menjadi ujung tombak dalam menopang kebutuhan industri pengolahan. Di sisi lain, potensi produksi udang di beberapa daerah masih memungkinkan untuk ditingkatkan. Terlebih, serangan virus IMNV yang menyerang sejak tahun 2009 sudah mulai bisa diatasi. "Ini yang harus kita perkuat karena potensinya masih bisa ditingkatkan," ungkap Victor kepada KONTAN, Kamis (30/6).KKP juga akan mendorong industri pengolahan untuk beralih dari mengolah udang vannamae ke jenis udang lain seperti udang windu. Selama ini, industri pengolahan udang memang hampir seluruhnya tergantung pada udang vannamae. Padahal, lanjut Victor, Indonesia memiliki jenis udang lain yang cukup banyak dan dari sisi kualitasnya memungkinkan untuk menjadi bahan baku pengolahan. Diversifikasi bahan baku udang seperti itu diyakini akan meminimalisir kekurangan bahan baku.Tigor Chandrama, Direktur Utama PT Bomar, perusahaan pengolahan udang di Makassar mengungkapkan, perusahaanya memang tidak berharap banyak pada impor udang meski saat ini tengah kekurangan bahan baku. Sejak tahun lalu, utilisasi produksi PT Bomar hanya 50% dari kapasitas produksi yang mencapai 20.000 ton per tahun. Kondisi itu tidak hanya terjadi pada PT Bomar saja, tapi juga industri pengolahan udang di Sulawesi secara keseluruhan. Kapasitas terpasang pengolahan udang di Sulawesi sebenarnya mencapai 60.000 ton per tahun. Namun, sejak tahun lalu, utilisasinya hanya berkisar 30% saja. Hal itu terjadi karena pasokan udang dari penambak di Sulawesi Selatan (Sulsel) terbilang minim.Meski begitu, Tigor bilang, kondisi itu tidak lantas membuat PT Bomar ingin mengimpor udang. PT Bomar lebih memilih untuk membangun instalasi produksi benih udang sendiri seluas 4 hektare. Kapasitas instalasi ini mencapai 1 miliar ekor benih udang per tahun. "Investasi awal instalasi ini sebesar Rp 30 miliar," ungkap Tigor.Tigor bilang, cara pengembangan udang seperti itu diyakini lebih efektif untuk menopang produksi perusahaannya. Ia melihat impor udang justru tidak akan terlalu efektif untuk memenuhi kebutuhan pengolahan. Pasalnya, kalaupun dibuka kembali, izin impor udang itu memerlukan waktu yang lama. Ini diperparah dengan harga udang impor yang biasanya lebih mahal ketimbang udang lokal. "Impor udang, bagi kami, tidak menyelesaikan masalah," tukas Tigor.Sebelumnya, Iwan Sutanto, Ketua Shrimp Clubb Indonesia (SCI) menuturkan, pemerintah memang sebaiknya tidak membuka wacana impor udang karena produksi nasional sedang menunjukkan tren meningkat. Produksi udang di Medan misalnya saat ini sudah mencapai 1.500 ton per bulan. Ini naik dibandingkan produksi di tahun 2010 yang sebanyak 600 ton per bulan. Kondisi yang sama terjadi di Lampung dan Jawa Timur. Produksi udang di 2 daerah itu sudah menembus 2.000 ton per bulan. Ini naik dari produksi tahun 2010 yang secara rata-rata hanya 800 ton per bulan.Impor udang juga bisa berdampak negatif pada produksi udang nasional dan merusak harga udang di pasaran sehingga merugikan penambak lokal. "Perbaiki saja produksi lokal karena potensinya masih tinggi," ungkap Iwan beberapa waktu lalu.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News