Meski meningkat, kinerja DPR masih ada catatan



JAKARTA. Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Ronald Rofiandri mengakui, kinerja legislasi DPR meningkat pada Masa Sidang IV Tahun Sidang 2012-2K013. Meski demikian, ia memberikan tiga catatan khusus menyangkut kinerja legislasi DPR. Ronald menjelaskan, dalam masa sidang terakhir, DPR bersama pemerintah berhasil menyelesaikan 7 Rancangan Undang-Undang (UU). Jumlah itu naik dibandingkan masa sidang sebelumnya yang hanya mengesahkan 6 RUU. "Tujuh RUU yang disahkan terdiri dari 2 RUU kumulatif terbuka dan 5 RUU non-kumulatif," kata Ronald pada Kontan, Kamis, (18/7).   Namun, Ronald melihat ada tiga hal praktik yang keluar dari aturan Tata Tertib DPR, terutama menyangkut proses pembentukan UU.

Pertama, menyangkut jangka waktu pembahasan RUU. Menurutnya,Pasal 141 ayat (1) Tata Tertib DPR mengatur batasan waktu pembahasan suatu RUU, yaitu selama 2 (dua) kali masa sidang dan dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) kali masa sidang.

Namun, pembatasan waktu yang dimaksud tidak berjalan efektif. Salah satu penyebabnya adalah tidak ada konsekuensi apabila pembahasan RUU melebihi ketentuan tersebut.


"Akibatnya sangat mudah untuk menemukan berbagai RUU yang dibahas lebih dari tiga kali masa sidang. Contohnya tiga RUU yang disahkan pada Masa Sidang IV, yaitu RUU Organisasi Kemasyarakatan (tujuh kali masa sidang), RUU Pendidikan Kedokteran (tujuh kali masa sidang), dan RUU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (delapan kali masa sidang)," jelas Ronald.   Kedua, penambahan RUU pada Prolegnas. Ronald menjelaskan, dalam Rapat Paripurna DPR pada 12 Juli 2013, sempat diwarnai adanya penolakan terhadap penambahan lima RUU (terlampir) ke dalam Prolegnas Prioritas 2013. Alasan penolakan adalah tidak adanya salinan draf yang dibagikan kepada anggota DPR.   Padahal, jika merujuk kepada Pasal 7 ayat (1) Peraturan DPR No. 2 Tahun 2012 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU, ada tiga kegiatan yang harus dilakukan dalam mempersiapkan suatu RUU. Salah satunya adalah penyebarluasan.

Pada ayat (4) pasal yang sama mengatur, bahwa kegiatan penyebarluasan dapat berupa seminar, diskusi, atau kunjungan kerja. "Dengan adanya tahap penyebarluasan itu, seharusnya cukup menjadi ajang bagi suatu RUU diperkenalkan, baik kepada anggota DPR atau bahkan masyarakat luas," kata Ronald.

Sejarah tersendiri

Ketiga, penundaan pengambilan keputusan terhadap pengesahan RUU di Rapat Paripurna. Dua RUU sempat ditunda pengesahannya pada Masa Sidang IV lalu.

RUU yang dimaksud adalah RUU Organisasi Kemasyarakatan (yang kemudian akhirnya disetujui pada 2 Juli 2013) dan RUU Administrasi Kependudukan.

Khusus RUU Organisasi Kemasyarakatan, penundaan terjadi pada 25 Juni 2013 dan merupakan penundaan kedua kali setelah pertama kali ditunda 12 April 2013 (Masa Sidang III).

"Penundaan RUU Ormas pada Rapat Paripurna DPR sebanyak dua kali. Ini merupakan sejarah tersendiri, karena memang belum pernah ada preseden yang sejenis. Dua kali penundaan itu mengindikasikan suatu proses tidak berjalan seperti biasa, karena ada muatan RUU yang masih bermasalah," terang Ronald.   Oleh sebab itu, Ronald mendesak DPR segera mendesain ulang perencanaan legislasi. Dia bilang, dalam kondisi akuntabilitas legislasi yang rendah, perbaikan tidak bisa dilakukan secara parsial.

Desain perencanaan legislasi perlu ditinjau ulang. Perubahan yang dilakukan bukan hanya pada tata tertib DPR, tetapi juga pada level UU, yaitu UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Porsi terbesar yang perlu dibenahi dalam desain legislasi berada pada tahap perencanaan. "Prolegnas sebagai alat perencanaan tidak boleh disusun sekadar sebagai daftar harapan (wish list),  tetapi merupakan suatu program yang komprehensif dan terukur," tegas Ronald.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan