Meski ongkos tekor, PNS DKI pasrah naik angkot



JAKARTA. Tidak berdaya alias pasrah. Itulah kata yang tepat menggambarkan para pegawai negeri sipil atau PNS di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Mau tak mau dan suka tidak suka, mereka harus mematuhi Instruksi Gubernur Nomor 150 Tahun 2013 tentang penggunaan angkutan umum.Gabriel Obi Pase (27), misalnya. Staf Sekretariat Dinas Energi dan Industri DKI Jakarta yang biasanya menggunakan motor saat berkantor di Jalan Jatibaru, Tanah Abang, mendapat sosialisasi Ingub pada 31 Desember2013 lalu. Mau tak mau, dia harus capek-capek naik transportasi mahal dengan biaya yang mahal."Mau enggak mau memang harus kita lakukan. Sebagai pegawai negeri sipil kan kita memang harus ikut aturan yang ada," ujarnya kepada Kompas.com, sebelum berkantor, Jumat (3/1/2014) pagi.Kamis (2/1/2013) kemarin, ia mengaku mencoba membiasakan diri tidak naik motor dari rumahnya di Cibubur, Jakarta Timur, ke kantornya. Hasilnya, cukup memberatkan fisik dan kantongnya.Biasanya, dengan menaiki motornya yang bertransmisi matik, dia merogoh uang bensin mencapai Rp 10.000 per hari. Tapi kini, dia bisa mengeluarkan ongkos Rp 57.000. Rumahnya memang jauh dari akses angkutan umum. Demi mengatasi cepat sampai kantor, ia menumpang ojek ke Stasiun UI dengan ongkos Rp 50.000 pulang-pergi.Dari sana, ia naik commuter line dengan ongkos Rp 7.000 pulang-pergi. Soal kecepatan, dua skenario tersebut sama-sama dapat ditempuh dengan waktu 1,5 jam."Turun di Stasiun Tanah Abang. Dari sana tinggal jalan kaki saja ke kantor. Ya, lumayan ramai dan berdesak-desakan," ujarnya.Secara garis besar, pria asal Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) tersebut setuju dengan Ingub tersebut selama hanya satu bulan sekali. Perhitungannya, jika jumlah PNS DKI sebanyak 80.000 dan setengahnya menggunakan kendaraan pribadi, bisa terbayang berapa pengurangan kendaraan pribadi di sejumlah jalan Jakarta."Tapi ini aja sudah lumayan ngerepotin buat PNS yang tinggalnya jauh di pelosok Jakarta serta jauh dari akses angkutan umum kayak saya. Tapi, ya secara umum setuju-setuju aja," ucapnya.Senada dengan Obi, Kepala Seksi Tenaga Pendidikan Budi Sulistiyono juga mesti desak-desakan di angkutan umum dari rumahnya di Plumpang, Jakarta Utara ke, kantornya di Wali Kota Jakarta Selatan, dengan ongkos lebih mahal ketimbang sehari-harinya ia menaiki motor pribadi. Tapi, toh ia tetap mematuhinya.Apalagi, Pemerintah Kota Jakarta Selatan, tempat di mana dia bekerja menerapkan peraturan lebih ekstrem lagi, yakni tidak boleh menggunakan kendaraan pribadi, tidak hanya setiap Jumat pertama dalam satu bulannya, namun juga setiap hari selasa."Semestinya ada tahapan-tahapannya, tak langsung kayak gini. Apalagi Wali Kota Jaksel jadi ikut-ikutan latah begini," ujarnya.Seperti diketahui, Instruksi Gubernur Nomor 150 Tahun 2013 menyebut, mulai Jumat, seluruh pegawai negeri sipil Pemprov DKI dilarang menggunakan kendaraan pribadi atau kendaraan dinas. Kebijakan belaku setiap Jumat pertama di tiap bulannya.Kebijakan itu tidak berlaku bagi petugas ambulans, Patroli Jalan Raya, Dinas Pemadam Kebakaran, Satpol PP, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI, petugas Dinas Pertamanan dan Pemakaman, petugas pompa, pengangkut sampah, pengangkut air kotor, petugas perpustakaan keliling, operasi justisi dan bus antarjemput pegawai.Jumat pagi, Jokowi berangkat dari rumah dinasnya ke Balaikota menggunakan sepeda. Sementara wakilnya Basuki, tetap menggunakan mobil dinasnya dengan alasan ia tidak termasuk dalam cakupan Ingub.Beberapa pejabat Pemprov DKI juga mengikuti Jokowi naik sepeda, yakni Pelaksana Tugas Sekretaris Pemprov DKI Wiryatmoko, Kepala Bappeda Sarwo Handayani, Wali Kota Jakarta Selatan Syamsudin Noor, Deputi Gubernur Bidang Kependudukan dan Permukiman Syahrul Efendi, serta beberapa pejabat lainnya. (Fabian Januarius Kuwado)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Barratut Taqiyyah Rafie